Penguatan Kedaulatan Negara di Udara: Refleksi Kasus Natuna - Minsk

Ridha Aditya Nugraha
Oleh Ridha Aditya Nugraha
27 Mei 2021, 10:25
Ridha Aditya Nugraha
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Kai Pfaffenbach /WSJ/ Pesawat mendarat di bandara saat matahari terbenam dimana para wisatawan yang kembali diwajibkan memiliki hasil uji COVID-19 negatif dengan penyebaran penyakit akibat virus corona masih berlanjut di Frankfurt, Jerman, Senin (29/3/2021).

Upaya penegakan kedaulatan sendiri memang tidak didasarkan pada hitungan untung-rugi semata. Namun, setiap sen uang rakyat dalam bentuk anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan baik.

Pemerintah dapat mempelajari Act on Treatments against Aircraft Committing Unlawful Acts yang diberlakukan Thailand sejak 2010. Section 22 mengatur perihal biaya intersepsi dan/atau  operasi penghancuran pesawat yang mencakup biaya operasional untuk, i.) pemeriksaan dan identifikasi; ii.) intersepsi; iii.) pemindahan pesawat; iv.) penyimpanan pesawat beserta segala benda dan alat bukti terkait; v.) penggunaan senjata untuk menghancurkan pesawat; dan vi.) biaya lain sesuai peraturan menteri terkait.

Singkat kata seluruh biaya operasional wajib dibayar pelanggar, jika tidak penyitaan hingga lelang pesawat menanti (https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthapatrika/article/view/66701/39337).

Kedepannya, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, beserta para pemangku kepentingan terkait perlu duduk bersama guna menyempurnakan hukum positif. Ini secara khusus mengacu kepada sinkronisasi Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 78/2017 dan PP Pamwilud.

Hal itu terkait, (i) pembagian kewenangan serta hak TNI AU, inspektur penerbangan, dan PPNS; (ii) perhitungan mendetail biaya intersepsi dan pendaratan paksa; dan (iii) denda administratif secara lebih detail berdasarkan tingkat kesalahan. Operator bandara perlu dilibatkan sehubungan potensi kehilangan pemasukan dengan dialihkannya pendaratan beberapa maskapai ke bandara lain.

Perihal lain tidak kalah penting ialah menanamkan pemahaman bahwa penguatan kedaulatan negara tidak hanya berbicara modernisasi dan penambahan alutsista, tetapi juga urgensi penguasaan hukum udara bagi penerbang TNI Angkatan Udara. Pemahaman akan esensi Pasal 3bis the Chicago Convention of 1944 yang mengharamkan penembakan terhadap penerbangan sipil perlu diperdalam melalui lokakarya (teori) maupun latihan tempur (praktik).

Jangan sampai penerbang TNI Angkatan Udara mengulang tragedi kemanusiaan penembakan pesawat sipil Korean Air Lines 007 (1983) yang dilakukan pesawat tempur Uni Soviet dengan memakan sekitar 250 korban jiwa. Potensi serupa dapat tercipta seandainya konflik Laut Cina Selatan terbawa sampai ke ruang udara - dengan skenario menjumpai pesawat sipil yang tersesat hingga pesawat tempur atau patroli maritim asing tidak bersenjata.

Pada Juli 2020, pesawat tempur F-15 Amerika Serikat mengintersepsi penerbangan sipil Mahan Air Flight 1152. Pesawat tersebut kemudian melakukan drop sejauh 2.000 kaki dalam waktu kurang dari semenit. Akibatnya sejumlah penumpang terluka sehingga mendorong Pemerintah Iran mengajukan protes kepada International Civil Aviation Organization (ICAO).

Pihak Amerika Serikat menanggapi bahwa jarak kisaran 1.000 kaki antara F-15 dengan Mahan Air dianggap cukup untuk bermanuver dengan aman. Namun, tergolong dekat bagi pesawat sipil komersial sehingga memicu alarm pada cockpit Mahan Air. Perbedaan perspektif penerbangan sipil-militer perlu digarisbawahi berkaca pada insiden ini.

Ujian terakhir terhadap lingkup Pasal 3bis the Chicago Convention of 1944 atas nama kedaulatan negara di udara terjadi pada Mei 2021 di langit Belarusia. Upaya pengangkapan jurnalis oposisi dengan dalih ancaman bom berujung kepada intersepsi pesawat Ryanair Flight 4978 rute Athena-Vilnius.

Penerbangan sipil tersebut dipaksa berbelok oleh pesawat tempur bersenjata lengkap sesaat sebelum meninggalkan ruang udara Belarusia kemudian dipaksa mendarat di Bandara Minsk. Menjadi pengandaian apa yang akan dilakukan pesawat tempur tersebut seandainya pilot Ryanair tidak menuruti perintah karena paham isu politik. Pasal 3bis dipergunakan dalam konteks terdapat potensi ancaman fisik - umumnya bukan kepada penerbangan sipil berjadwal (non-scheduled flight), dan bukan isu politik.

Terlepas rontoknya bisnis penerbangan global akibat pagebluk Covid-19, tidak dipungkiri abad ini merupakan era penerbangan sipil. Kasus intersepsi penerbangan Mahan Air dan Ryanair perlu menjadi bahan evaluasi TNI Angkatan Udara, terutama pemisahan tegas antara isu pertahanan dan keamanan dengan politik.

Akhir kata, upaya pengamanan wilayah udara nasional erat bersinggungan dengan norma dan hukum internasional. Urgensi sinergi TNI Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan, Kementerian Perhubungan, dan operator bandara dengan akademisi berkeahlian spesifik hukum udara sungguh nyata dan perlu segera ditingkatkan.

Halaman:
Ridha Aditya Nugraha
Ridha Aditya Nugraha
Ketua Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...