Segudang Tantangan Hilirisasi Nikel
Pemerintah mengklaim bahwa program larangan ekspor nikel mentah, yang mulai berlaku sejak Januari 2021, sukses karena adanya kenaikan investasi pertambangan dan ekspor produk turunan nikel. Akan tetapi, klaim ini masih prematur karena belum ada transparansi data yang relevan untuk mendukung argumen pemerintah tersebut.
Pemerintah Indonesia telah lama menginginkan nilai tambah domestik yang tinggi melalui hilirisasi produk pertambangan, terutama nikel.
Nikel merupakan komponen dominan dalam baterai listrik. Saat ini, baterai menjadi barang yang semakin penting dengan munculnya beragam perangkat digital hingga mobil listrik, yang memerlukan piranti penyimpanan energi ini.
Sebagai produsen dan pemilik cadangan bijih nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran penting dalam perdagangan nikel. Indonesia memproduksi 1 juta metrik ton nikel, atau 37% dari total produksi nikel dunia yang berkisar di angka 2,7 juta metrik ton.
Untuk memanfaatkan keuntungan ini, pemerintah melakukan larangan ekspor barang mentah demi memberi nilai tambah pada produk nikel domestik.
Pada umumnya, ekonom tidak menganjurkan intervensi pasar seperti larangan ekspor karena berpotensi mengurangi efisiensi ekonomi. Selain itu, larangan ekspor nikel mengganggu pasokan nikel global dan dapat menimbulkan konflik dagang. Akibat larangan ekspor nikel, Uni Eropa melayangkan gugatan terhadap kebijakan Indonesia ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Indonesia kini tengah menghadapi gugatan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, betulkah kebijakan larangan ekspor berdampak positif pada perkembangan hilirisasi produk nikel?
Melonjaknya investasi dan ekspor barang turunan
Proses pelaksanaan kebijakan larangan ekspor ini tidak bisa dibilang berjalan mulus. Pemerintah sebenarnya telah melarang ekspor hasil tambang pada tahun 2014. Namun, pemerintah mencabut larangan ini pada tahun 2017 karena penurunan produksi nikel, lambatnya pembangunan smelter, dan defisit neraca perdagangan.
Dengan beroperasinya sejumlah smelter di tanah air, pemerintah kembali melarang ekspor mineral khusus untuk bijih nikel kadar rendah pada tahun 2020.
Pemerintah mengklaim bahwa pelarangan ekspor bijih nikel sukses meningkatkan investasi di industri logam dasar, terutama pada smelter nikel.
Nilai investasi industri pertambangan menurun pada 2014 ketika pemerintah pertama kali melarang ekspor bijih nikel. Berkurangnya investasi di tambang adalah konsekuensi atas turunnya insentif pada sektor tersebut karena tidak dapat melakukan ekspor ke luar negeri.
Namun, angka 2021 menunjukkan bahwa investasi di industri pertambangan kembali meningkat dibandingkan tahun 2020, yang menunjukkan bahwa larangan ekspor tidak menghambat alur investasi karena pasokan yang ada tetap terserap oleh kebutuhan di dalam negeri.
Pemerintah juga mengklaim bahwa terjadi ekspor barang turunan pertambangan, khususnya nikel, seperti baja tahan karat atau stainless steel.
Seiring dengan peningkatan investasi di industri logam dasar, produksi barang-barang turunan nikel juga melesat. Naik turun penambahan kapasitas produksi barang turunan nikel mengikuti larangan di 2014, relaksasi pada 2017, dan penetapan kembali larangan ekspor nikel mentah pada 2020.
Kedua indikator ini, yaitu meningkatnya investasi dan ekspor industri hilir pertambangan, meyakinkan pemerintah untuk memperluas larangan ekspor mineral ke produk lain, seperti timah dan tembaga.
Namun, benarkah investasi dan ekspor dapat menjadi indikator yang tepat untuk menyimpulkan kesuksesan strategi larangan ekspor?
Menghitung Dinamika Nilai Tambah
Benar bahwa ekspor produk turunan nikel jauh lebih tinggi daripada ekspor bijih nikel yang hilang. Namun, jika tujuan pemerintah adalah meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, maka pengukuran dengan menggunakan nilai ekspor produk turunan adalah kurang tepat.
Perhitungan perpindahan rantai nilai perlu dilakukan dengan lebih detail, terutama jika melibatkan kebijakan intervensionis atau campur tangan negara seperti larangan ekspor.
Permasalahan pertama adalah potensi pajak yang hilang. Melarang ekspor nikel berarti siap kehilangan pemasukan dari pajak korporat tambang nikel dan juga bea keluar komoditas ini. Karena itu, pemasukan negara dari industri hilir nikel harus mampu menutup kehilangan tersebut.
Namun, mengundang investor smelter memerlukan tidak hanya larangan ekspor nikel, tapi juga insentif pajak. Perusahaan smelter mendapatkan tax holiday atau pengurangan hingga pembebasan pajak penghasilan. Selain itu, produk yang dihasilkan juga mendapatkan keringanan berupa bebas bea keluar.
Permasalahan kedua adalah transfer nilai tambah dari penambang ke smelter. Larangan ekspor memaksa penambang untuk menjual bijih nikel ke smelter domestik. Penambang harus menerima harga yang jauh di bawah harga pasar global, terutama di tengah tingginya harga nikel di pasar dunia saat ini.
Artinya, ada nilai yang hilang dari sektor pertambangan akibat larangan ekspor bijih nikel. Proses penentuan harga beli nikel domestik maupun penentuan kadar nikel yang masih bermasalah turut memperparah kondisi ini.
Permasalahan ketiga adalah tenaga kerja. Pemerintah berargumen bahwa nilai tambah yang tinggi akan meningkatkan permintaan tenaga kerja Indonesia.
Tentunya, di samping bertambahnya tenaga kerja di sektor smelter, pemerintah juga harus menghitung kemungkinan berkurangnya tenaga kerja di sektor pertambangan akibat restriksi ekspor nikel.
Sayangnya, data tenaga kerja sektor pertambangan masih sulit dicari. Sementara itu, proporsi tenaga kerja sektor industri logam dasar belum terlihat mengalami peningkatan. Ketiga hal di atas menunjukkan sulitnya menghitung peningkatan nilai tambah berbasis larangan dan insentif pajak.
Pemerintah juga perlu mempertanyakan kesesuaian visi program larangan ekspor ini kepada pihak-pihak yang menikmati transfer nilai tersebut.
Contohnya, perusahaan-perusahaan asing yang berbasis di Cina memilih untuk berinvestasi di Indonesia demi mendapatkan tax holiday dan akses nikel murah di Indonesia, lalu mengekspor hasilnya kembali ke negaranya. Gambar di bawah mengilustrasikan hal ini untuk produk feronikel, komoditas setengah jadi yang berasal dari peleburan bijih nikel oksida.
Tax holiday dan jaminan bijih nikel murah mendistorsi perhitungan nilai ekonomis smelter. Patut dipertanyakan apakah smelter masih tetap ekonomis seandainya pemerintah mencabut insentif pajak dan mengenakan bea keluar produk turunan nikel demi menambah pemasukan negara.
Hal ini belum memperhitungkan masalah lain seperti maladministrasi perizinan, naiknya kebutuhan energi, dan isu-isu lingkungan seperti kontaminasi air yang semakin penting bagi investor global.
Tidak tanggung-tanggung, operasi smelter nikel diperkirakan dapat menyerap 4,8 gigawatt listrik per tahunnya. Hal ini bertabrakan dengan semangat Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.
Larangan ekspor nikel Indonesia juga mengundang Uni Eropa untuk melayangkan gugatan ke WTO. Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan G20 tahun ini. Memulai presidensi G20 dengan gugatan WTO tentunya bukan hal yang ideal.
Di samping itu, jika banyak negara mendukung gugatan ini, Indonesia memiliki risiko terkena retaliasi perdagangan dan kesulitan mengakses pasar ekspor global atas produk turunan nikel. Tanpa akses pasar global, daya tarik Indonesia sebagai sentra produksi baterai akan berkurang.
Di sisi lain, Indonesia juga kehilangan momentum untuk mendapatkan perolehan dari kenaikan harga nikel, yang sempat melambung hingga hampir lima kali lipat pada Februari dan awal Maret silam. Kenaikan harga ini merupakan imbas dari konflik Rusia-Ukraina sebagai dua negara yang juga merupakan pemasok nikel dunia.
Saya melihat bahwa data yang digunakan pemerintah untuk mendukung klaim atas kesuksesan program larangan ekspor nikel tidak cukup kuat untuk menjadi bukti keberhasilan kebijakan ini. Potensi kehilangan pemasukan pajak, kemungkinan retaliasi dagang dari negara importir, hingga berkurangnya pemasukan penambang karena harus menjual ke smelter domestik dengan harga murah menjadi penghalang untuk menghitung nilai tambah dari hilirisasi nikel berbasis larangan ekspor.
Terkait hal ini, pemerintah perlu menghitung nilai tambah program hilirisasi ini dengan lebih serius ketimbang hanya menggunakan data ekspor. Pemerintah harus memadukan perhitungan tersebut dengan peta jalan hilirisasi yang diinginkan untuk menyusun gambaran kesuksesan jangka panjang. Jika dibarengi transparansi data, maka program ini berpotensi menjadi salah satu kesuksesan program pemerintah.
Dengan skema yang berlaku saat ini, ada baiknya kita tetap skeptis terhadap keuntungan hilirisasi produk nikel berbasis larangan ekspor.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.