Hentikan Tambang di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil!

La Ode M. Aslan
Oleh La Ode M. Aslan
27 Februari 2025, 07:45
La Ode M. Aslan
Katadata/ Bintan Insani

Ringkasan

  • Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.000, tersebar dari Sabang sampai Merauke. Keindahan alam, keanekaragaman hayati, serta keragaman budaya menjadi ciri khas Nusantara.
  • Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, salah satu dari sekian banyak pulau kecil di Indonesia, terancam oleh aktivitas pertambangan nikel. Aktivitas ini menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan terumbu karang.
  • Pertambangan di pulau-pulau kecil menimbulkan berbagai masalah, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik sosial. Penegakan hukum yang tegas dan pengawasan yang ketat diperlukan untuk melindungi pulau-pulau kecil dari kerusakan lebih lanjut.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Tak heran jika Indonesia disebut sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Ada pulau-pulau besar dikelilingi pulau-pulau kecil. Menurut data BPS tahun 2023, terdapat 17.001 pulau di seluruh Indonesia. Sementara, Badan Informasi Geospasial merilis jumlahnya lebih banyak lagi, yakni 17.380 pulau pada 2024.

Lokasinya tersebar dari ujung barat Sabang dan ujung timur Merauke. Adapun titik terluar bagian utara wilayah Indonesia adalah Miangas, sedangkan titik terluar bagian selatan adalah Pulau Rote. Dari ujung barat ke timur, dari ujung utara ke selatan banyak keindahan, keanekaragaman hayati, kekayaan alam, dan keragaman suku bangsa dan masyarakat adat.  

Sulawesi Tenggara memiliki cukup banyak pulau-pulau kecil dan sedang. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah pulau di  provinsi ini sebanyak 590 pulau pada 2023. Salah satunya adalah Pulau Wawonii. Pulau Wawonii  masuk kategori pulau kecil menurut UU No 27 Tahun 2007 junc. UU No.1 Tahun 2014, di mana dalam peraturan perundang-undangan tersebut, definisi pulau kecil adalah “pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² beserta kesatuan ekosistemnya.” 

Pulau Wawonii secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara dan luasnya 867,58 km². Pulau ini dikenal sebagai pulau yang indah, subur, asri, beragam flora fauna, ekosistemnya terjaga dengan baik, secara ekologis, lautan dan daratannya terjaga.

Namun, kondisi tersebut bisa berubah secara cepat, ketika industri ekstraktif pertambangan mulai ekspansif ke Sulawesi Tenggara sejak awal 2000-an dengan berbagai komoditas seperti nikel, jenis batuan dan pasir, aspal, emas, kalsit, dolomit, tanah urug, dan andesit. Mengutip data Forest Watch Indonesia, total konsesi yang ada di Sulawesi Tenggara mencapai 323.493,20 ha dengan 195.661,89 ha berada dalam kawasan hutan serta 4.668,44 ha berada dalam zona kawasan konservasi. 

Dari studi kasus di Pulau Wawonii terbukti pertambangan nikel mengancam kelangsungan hidup seluruh ekosistem. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perairan terdapat tujuh IUP pertambangan yang dimiliki enam perusahaan. Yang baru melakukan kegiatan hanya PT Gema Kreasi Perdana (GKP) dengan komoditas nikel. Namun kerusakan lingkungan yang terjadi pada rentang 2017-2023 telah menyebabkan deforestasi tutupan hutan, kerusakan mata air, pencemaran berat di ekosistem perairan sungai dan pesisir serta hancurnya terumbu karang akibat aktivitas kapal tongkang di Pulau Wawonii. 

Dapat dibayangkan kerusakan serupa secara masif di berbagai pulau kecil lainnya di Nusantara, mengingat selain di Sulawesi Tenggara, FWI mencatat ada 245 ribu konsesi tambang yang tersebar di 242 pulau-pulau kecil. Sejumlah pulau-pulau kecil lainnya yang terancam ekstraksi tambang adalah Pulau Sangihe (Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara), Pulau Bunyu (Bulungan, Kalimantan Utara), Pulau Pakal (Halmahera Selatan, Maluku Utara), Pulau Doi (Halmahera Utara, Maluku Utara), Pulau Gag (Raja Ampat, Papua Barat Daya).

Jika diidentifikasi lebih jauh kegiatan pertambangan di pulau-pulau akan memunculkan beberapa masalah. Masalah yang sangat nyata adalah kerusakan lingkungan di darat dan laut. Tak ada cerita kalau lingkungan daratan rusak, lingkungan di perairan bisa tetap baik. Contoh kecilnya, limbah dari daratan akan dibuang ke perairan. Daratan sudah rusak dan perairan tercemar, maka ini akan berdampak pada sisi sosial ekonomi masyarakat yang mendiami pulau tersebut.

Bagi masyarakat yang bermata pencaharian di sektor pertanian atau perkebunan, maka panen tidak maksimal atau bahkan gagal panen akan selalu membayangi. Bagi masyarakat yang bermata pencaharian sebagai nelayan, maka kesulitan mencari ikan. Mereka bahkan biasanya mencari ke perairan yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Itupun akan membutuhkan waktu penangkapan yang lebih lama dan hasil tangkapannya pun jelas sudah sangat berkurang akibat limbah pencemaran  khususnya sedimen dari pengerukan tambang di darat yang telah menyebar di wilayah pesisir. 

Masalah berikutnya adalah kerusakan keanekaragaman hayati. Spesies endemik, baik flora maupun fauna aslinya akan punah. Ekosistem tidak lagi seimbang. Habitat satwa akan terus berkurang. Hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut akan lenyap, yang menyebabkan terganggunya keseimbangan alam.

Masalah lainnya yang muncul adalah rawan praktik korupsi, khususnya dalam hal perizinan di pulau tersebut. Apalagi kita tahu, perputaran uang di bisnis pertambangan sangat besar. "Kongkalikong" antara otoritas dan pelaku bisnis tambang sudah biasa terjadi. 

Di sinilah kerap muncul konflik agraria akibat penyerobotan lahan secara ilegal dan konflik sosial antarmasyarakat. Masyarakat setempat akan terusir dari ruang hidupnya. Apalagi hadirnya aktor-aktor yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin. Akan ada kerentanan konflik sosial dan budaya. Kriminalitas rentan terjadi, serta rusaknya keseimbangan budaya lokal.

Masalah berikutnya, terjadinya perubahan iklim mikro maupun regional. Masyarakat sudah tidak bisa memprediksi lagi waktu musim kemarau maupun penghujan. Potensi bencana ekologis akan semakin nyata terjadi.

Sebenarnya muncul harapan masyarakat Pulau Wawonii ketika Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menyatakan menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil juncto UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

Uji materi diajukan PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Perusahaan inilah yang melakukan penambangan nikel di Pulau Wawonii. Mereka mengajukan uji materi karena UU Nomor 27 Tahun 2007 melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Artinya, mereka terbentur aturan yang jelas telah melarang melakukan aktivitas tambang di Pulau Wawonii.

Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebetulnya sudah jelas PT GKP atau perusahaan-perusahaan tambang lain tidak bisa melakukan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil. Tapi, kenyataannya, kegiatan penambangan tetap dijalankan di sana, yang mana seharusnya mereka berhenti. Tidak adanya penegakan hukum pada kasus ini membuat harapan masyarakat di Pulau Wawonii meredup.

Dengan kondisi yang terjadi, dalam hal ini kasus di Pulau Wawonii, secara umum berlaku juga di pulau-pulau lainnya di Indonesia. Ada beberapa hal yang terkait satu sama lain yang bisa dilakukan pemerintah, khususnya pemerintah pusat.

Pertama, penegakan hukum yang adil dan tegas. Mahkamah Konstitusi sudah dengan tegas melarang perusahaan tambang untuk melakukan ekspansi bisnisnya ke pulau-pulau kecil melalui Putusan Nomor 35/PUU-XXI/2023.

Payung hukum sudah tersedia melalui UU Nomor 27 Tahun 2007. Bahkan dalam salah satu pertimbangannya, undang-undang ini mengamanatkan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Aparat penegak hukum maupun instansi terkait hanya perlu menegakkan apa yang sudah diatur undang-undang tersebut. 

Kedua, pengawasan dan monitoring yang ketat. Perlu sistem untuk mengawasi dan memonitor ada tidaknya kegiatan tambang di pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Dengan begitu kegiatan penambangan di pelosok negeri bisa dikendalikan.

Dalam meningkatkan perekonomian dan pendapatan negara, kita tidak bisa hanya melulu mengandalkan sektor pertambangan karena merasa kekayaan alam yang dimiliki negeri ini melimpah ruah. Saat ini, industri ekstraktif ini sangat masif dan ekspansif beroperasi bahkan sampai ke pulau-pulau kecil. 

Apakah yang terpikir hanya soal keuntungan, tetapi masa bodoh dengan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Padahal, ketika pertambangan masif apalagi di pulau-pulau kecil, maka yang terjadi adalah menanti punahnya kehidupan di pulau-pulau kecil tersebut, baik manusia maupun ekosistemnya. Tidak ada lagi kelestarian, tidak ada lagi keberlanjutan. Jangan sampai itu terjadi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
La Ode M. Aslan
La Ode M. Aslan
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...