Pasar Aset Kripto dan Kesenjangan
Kecepatan perkembangan pasar aset kripto perlu diwaspadai, terutama dari aspek potensi ancamannya terhadap sistem keuangan. Meskipun pangsa pasar aset kripto masih relatif kecil jika dibandingkan dengan aset keuangan global, kapitalisasi pasar aset kripto telah melonjak 3,5 kali lipat menjadi US$2,6 triliun sepanjang 2021.
Keterhubungan antara pasar aset kripto dan sistem keuangan memiliki risiko sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan. Volatilitas harga aset kripto yang tinggi meningkatkan efek rembetan dari risiko pasar kepada sektor keuangan dan sektor ekonomi lainnya.
Sulitnya pasar mengevaluasi nilai fundamental aset kripto menyebabkan pembentukan serta pergerakan harga yang terjadi semata-mata akibat dari spekulasi. Akibatnya, volatilitas harga aset digital tersebut ekstrem. Ini merupakan konsekuensi alami dari karakteristik bawaan aset kripto yang tidak memiliki nilai intrinsik, nihil aspek fungsionalitas serta aset acuan (underlying asset).
Dari sisi yang lain, derasnya aliran dana menuju pasar kripto mendorong inefisiensi alokasi sumber daya dengan menambah alternatif instrumen yang tersedia di pasar, yang patut diduga memiliki daya ungkit (leverage) rendah terhadap produktifitas perekonomian yang merupakan elemen penting yang diperlukan untuk mewujudkan kesejahteraan jangka panjang.
Di Indonesia, jumlah pemegang aset kripto telah mencapai lebih dari 11 juta investor pada 2021 atau tumbuh lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Investor aset kripto didominasi oleh kelompok usia milenial dan generasi Z. Jumlah tersebut cukup mencengangkan karena jumlah investor di pasar modal saja hanya sekitar 7,5 juta pada 2021. Perkembangan ini diduga didorong oleh kesenjangan (gaps) fundamental yang diperparah oleh dampak pandemi Covid-19 yang secara bersamaan menciptakan ladang subur bagi perkembangan pasar aset kripto.
Kesenjangan pertama adalah kesenjangan kinerja antara sektor riil dan sektor keuangan. Dampak pandemi Covid-19 tidak merata antarsektor ekonomi. Langkah-langkah kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19 sangat berdampak pada sektor-sektor yang banyak melakukan kontak fisik, seperti ritel, restoran dan hotel, transportasi, dan infrastruktur. Diskoneksi antara sektor riil dan keuangan kian parah.
Kinerja sektor riil yang buruk menyebabkan premi risiko lebih tinggi dan menghambat investasi di sektor ini. Sementara itu, dukungan kebijakan moneter yang masif untuk mengatasi dampak pandemi melalui penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) telah mendorong harga aset keuangan naik.
Kebijakan moneter ini memperlebar perbedaan antara imbal hasil dari aset keuangan dan investasi sektor riil yang menarik investor mengalihkan portofolio mereka ke instrumen keuangan serta aset lain, yaitu komoditas dan aset tidak berwujud lainnya seperti aset kripto, sebagai akibat efek limpahan (spillover effect) dari sektor keuangan.
Lebih lanjut, paket stimulus pemerintah untuk menjaga daya beli yang disertai dengan kecenderungan belanja rumah tangga yang lebih rendah selama masa pandemi, ekses likuiditas akibat kebijakan moneter, dan kecenderungan menahan keputusan investasi pada masa penuh ketidakpastian selama krisis akibat pandemi menyebabkan likuiditas yang disimpan pada sistem perbankan melonjak.
Secara global, dana pihak ketiga (DPK) pada perbankan melonjak tajam selama pandemi. Di Indonesia, DPK naik hampir 25% sejak terjadinya pandemi Covid-19 di awal 2020 hingga akhir 2021.
Kelebihan likuiditas rumah tangga mendorong peningkatan permintaan instrumen investasi untuk menyalurkan ekses dana sebagai upaya optimalisasi neraca sektor rumah tangga. Hal ini menyebabkan kesenjangan kedua, yaitu meningkatnya permintaan instrumen investasi versus sistem keuangan yang dangkal. Instrumen keuangan yang tersedia di pasar terbatas dan relatif sulit diakses oleh investor ritel pemula dan awam.
Aset kripto muncul sebagai instrumen investasi. Ia menggabungkan inovasi digital dan kemudahan akses, serta memberikan opsi alternatif investasi bagi mereka yang secara tradisional tidak terlayani dengan baik oleh pasar keuangan konvensional.
Kesenjangan berikutnya adalah antara literasi keuangan dan inklusi keuangan. Literasi keuangan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan tingkat inklusinya dari sisi penggunaan produk atau layanan keuangan (masing-masing 38,03% dan 76,18%, berdasarkan Survei OJK pada 2019). Ini berarti secara umum masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang kurang memadai tentang konsep dasar keuangan.
Pemahaman tentang risiko terkait produk atau layanan yang disediakan oleh lembaga keuangan pun rendah. Sementara itu, keterlibatan mereka dalam transaksi keuangan jauh lebih tinggi. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang diperlukan untuk membuat penilaian keuangan yang penting mengakibatkan kecenderungan perilaku keuangan berisiko yang lebih tinggi dan mendorong terjadinya praktek-praktek keuangan curang serta penipuan.
Kombinasi antara meningkatnya kesadaran dan kebutuhan instrumen investasi, terutama pada kaum muda, dan kurangnya literasi tentang produk dan layanan keuangan meningkatkan risiko terjebak pada perilaku keuangan berisiko seperti investasi berbasis kripto. Studi empiris juga mengkonfirmasi tingginya literasi keuangan mengurangi keterlibatan pada pasar aset kripto (Panos et al., 2021).
Kesenjangan selanjutnya adalah antara kemajuan teknologi digital dan literasi digital. Teknologi digital berkembang pesat. Di sisi lain, literasi digital masih rendah. Ini terlihat dari rendahnya indeks literasi digital. Perkembangan teknologi seperti blockchain mampu meningkatkan efisiensi bisnis proses yang mendukung sistem pembayaran yang lebih murah dan aman. Namun, jika tidak diimbangi dengan literasi digital yang mumpuni akan menimbulkan risiko yang merugikan.
Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan untuk menggunakan peralatan atau platform digital, tetapi juga kemampuan memahami informasi yang memandu membuat keputusan terkait keterlibatannya pada instrumen digital. Literasi digital yang buruk meningkatkan peluang terlibat dalam aktivitas digital yang berisiko seperti perdagangan aset kripto.
Terakhir, kurangnya pemahaman tentang lanskap peluang dan ancaman teknologi digital membuat pemerintah sulit untuk membuat respons kebijakan yang tepat dan berimbang. Pemerintah dituntut menjaga keseimbangan kebijakan. Pemerintah berkewajiban menyediakan ekosistem yang ramah bagi kemajuan teknologi keuangan digital. Di sisi lain, pemerintah harus menciptakan sistem pencegahan dan skema mitigasi risiko dari dampak buruk yang ditimbulkan dari penyalahgunaan teknologi digital. Kondisi ini akhirnya memunculkan kesenjangan kebijakan (policy gap) yang memberikan ruang pasar aset kripto tumbuh dan berkembang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.