Memahami Merdeka Belajar Kampus Merdeka
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Meskipun mengalami bonus demografi, tetapi kualitas SDM tidak memadai.
Akibatnya, Indonesia tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara maksimal. Pertumbuhan ekonominya terus berkutat di kisaran 5%. Sedangkan syarat untuk bisa melakukan lompatan menjadi negara maju adalah adanya periode panjang pertumbuhan diatas 8% atau bahkan double digit.
Untuk memaksimalkan pemanfaatan bonus demografi, kualitas SDM mutlak harus ditingkatkan. Sistem pendidikan khususnya di tingkat perguruan tinggi harus dikembangkan untuk bisa mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak hanya siap bersaing di dunia kerja tetapi juga memiliki inovasi dan kreativitas untuk berwirausaha atau membuka lapangan kerja sendiri.
Ironisnya, lulusan perguruan tinggi saat ini justru yang terbesar menyumbang pengangguran. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022 menunjukkan, dari 208,54 juta penduduk Indonesia usia kerja, 5,83% menganggur. Sebanyak 35,2 juta orang atau 14% dari angka pengangguran tersebut adalah lulusan perguruan tinggi, jenjang diploma, dan sarjana (S1).
Tingginya angka lulusan perguruan tinggi yang menganggur terutama disebabkan oleh adanya kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja. Kualitas lulusannya banyak yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Masalah lainnya, ketidakmampuan lulusan perguruan tinggi dalam beradaptasi dengan cepatnya perkembangan teknologi.
Dalam upaya memperkecil kesenjangan tersebut, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menginisiasi kebijakan atau program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini dimaksudkan untuk mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, fleksibel, kreatif, dan dinamis dengan cara memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat terutama melalui pengalaman terjun langsung ke dunia kerja.
Tetapi selama hampir tiga tahun pelaksanaannya Program MBKM tidak pernah sepi dari kritik atau bahkan hujatan. Terakhir adalah kritik yang ditulis oleh Agus Suwignyo dalam rubrik opini Harian Kompas tanggal 10 Januari 2023 yang berjudul Guncangan Kampus Merdeka.
Dalam tulisannya, Agus Suwigno menggugat kebijakan MBKM yang telah mengguncang praktik pendidikan formal, khususnya di perguruan tinggi. Program MBKM yang sesungguhnya bertujuan memperbaiki model lama perkuliahan yang terlalu teoretis, bertumpu pada buku teks dan kurang memberikan pengalaman lapangan, menurut dia, justru menciptakan kebingungan dan ambivalensi.
Paradigma Perguruan Tinggi
Kebingungan pertama menurut Agus Suwigno adalah terkait paradigma pendidikan perguruan tinggi. Dalam skema Kampus Merdeka, makna ”belajar” dibatasi secara pragmatis menjadi ”berlatih bekerja” pada lingkungan kerja yang senyatanya. Program-program MBKM mengubah makna ”pendidikan tinggi” menjadi ”pelatihan kerja” dan ”nyantrik” semata.
Klaim kebingungan ini lebih bermakna akan adanya pelaku pendidikan di perguruan tinggi yang belum sepenuhnya memahami program MBKM dan semua faktor yang melatarbelakanginya. Program ini bukanlah faktor yang mengubah paradigma pendidikan di perguruan tinggi. Program MBKM justru adalah upaya mendukung perguruan tinggi yang mengalami perubahan karena lingkungan yang sudah berubah.
Perubahan paradigma pendidikan di perguruan tinggi sudah dan akan terus terjadi, didorong oleh perubahan sosial ekonomi dan kemajuan teknologi. Mahasiswa sekarang berbeda dengan zaman dulu yang tidak mengenal internet dan YouTube. Perubahan tersebut menuntut institusi pendidikan untuk bisa bertransformasi jika ingin tetap relevan dan tidak dikalahkan oleh globalisasi.
Kebijakan atau program MBKM mendukung keberlangsungan praktik pendidikan formal di perguruan tinggi untuk bisa bertahan dan tetap unggul dalam arus perubahan global. Dengan mendorong transformasi pendidikan tinggi dan merombak cara belajar mengajar konvensional yang tadinya satu arah menjadi kolaboratif.
Program MBKM memang mendorong perguruan tinggi untuk lebih sadar akan kebutuhan dunia kerja, tetapi tidak membuat perguruan tinggi meninggalkan dunia akademik. Program MBKM tidak hanya sekedar “pelatihan kerja” atau “nyatrik”. Pelatihan kerja hanya sebagian kecil dari aktivitas mahasiswa yang secara umum masih sangat akademik, bergulat dengan teori dan riset.
Masih terkait paradigma perguruan tinggi, Agus Suwigno hanya menyoroti sebagian program dari sekian banyak program MBKM. Ada program-program unggulan MBKM yang luput dari ulasan Agus Suwigno. Sebut saja misalnya pertukaran mahasiswa internasional (IISMA) dan pertukaran mahasiswa nasional (PMM).
Program pertukaran mahasiswa internasional jauh dari apa yang disebutkan Agus Suwigno hanya bersifat vokasi. Melalui pertukaran mahasiwa internasional mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk menjadi bagian dari masyarakat global, berpartisipasi dalam ragam kegiatan belajar mengajar di luar negeri, serta beradaptasi pada lingkungan yang benar-benar baru.
Wawasan Interdisiplin
Agus Suwigno mengklaim bahwa Program MBKM yang mengarahkan mahasiswa untuk memiliki wawasan interdisiplin telah mengacaukan batas ontologis yang menjadi pembeda keahlian pada suatu bidang ilmu. Menurut dia, akan terjadi kekacauan keilmuan ketika mahasiswa bidang sastra diperbolehkan mengambil mata kuliah kedokteran atau teknik mesin. Ketiadaan rambu-rambu transfer antarprodi membuat skema interdisiplin menjadi absurd.
Selintas pandangan Agus Suwigno cukup argumentatif. Tetapi sesungguhnya Program MBKM memiliki rambu-rambu yang cukup tegas dalam menjaga keselarasan antara keilmuan dalam prodi asal dengan program yang akan diambil, dengan turut mempertimbangkan minat mahasiswa. Jadi sangat tidak mungkin terjadi mahasiswa sastra mengambil mata kuliah kedokteran.
Program MBKM memang berupaya melatih kemampuan mahasiswa melakukan sintesis interdisplin untuk memecahkan masalah. Tidak lagi menggunakan pendekatan analisis dengan satu sudut pandang disiplin yang cenderung silo.
Kebingungan lainnya
Guncangan terdahsyat kebijakan Kampus Merdeka menurut Agus Suwigno dialami oleh ”universitas riset” dan perguruan tinggi yang berkategori lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Program MBKM dituding telah mengubah universitas riset menjadi lebih pragmatis dan vokasional dan secara fundamental menyingkirkan penelitian ilmu-ilmu dasar dan penelitian bidang-bidang klasik sosial humaniora.
Program MBKM, melalui program Praktisi Mengajar bahkan dituding melanggar Undang-undang Guru dan Dosen karena mengizinkan seseorang mengajar hanya berdasarkan pengalaman kerja tanpa perlu memiliki lisensi sertifikasi.
Argumentasi Agus Suwigno disini tidak cukup kuat. Penggunaan terminologi ”hilirisasi” dan ”tingkat kesiapterapan teknologi (TKT)” sebagai tolok untuk potensi keberhasilan dan kelayakan pendanaan rencana riset bukan argumentasi yang kuat bahwa program MBKM secara fundamental telah menyingkirkan penelitian ilmu-ilmu dasar dan penelitian bidang-bidang klasik sosial humaniora. Pandangan Agus Suwigno dalam hal ini lebih mendekati “buruk muka cermin dibelah”.
Demikian juga dengan program Praktisi Mengajar. Program ini jauh dari melanggar Undang-undang Guru dan Dosen. Program Praktisi Mengajar justru bertujuan membantu guru dan dosen dengan menciptakan ruang kolaborasi antara praktisi ahli dengan guru atau dosen agar tercipta pertukaran ilmu dan keahlian yang mendalam dan bermakna antara sivitas akademika di perguruan tinggi dan profesional di dunia kerja.
Praktisi dalam program ini tidak semerta-merta mendapat “wewenang” mengajar karena mereka tidak mengajar sendiri, tapi harus berkolaborasi dengan dosen. Kolaborasi ini memperkaya pengalaman belajar mengajar di kelas, dimana dosen / pengajar bisa mendapatkan afirmasi langsung bahwa ilmu yang diajarkan kepada mahasiswanya jelas sangat signifikan untuk diterapkan ketika mereka lulus dan terjun ke masyarakat nanti.
Penutup
Artikel Guncangan Kampus Merdeka yang ditulis oleh Agus Suwignyo mengingatkan kita tidak ada kebijakan atau program pendidikan yang sempurna. Semuanya tercipta dan dilaksanakan dengan semua kekurangannya. Tetapi ketidaksempurnaan tersebut bukan alasan untuk mencampakkannya.
Ketidaksempurnaan kebijakan atau program pendidikan seringkali lebih disebabkan oleh keterbatasan dalam memahami dan memaknai. Bukan kebijakan atau programnya yang salah tetapi kita yang salah memaknainya.
Karena itu, sebuah kebijakan atau program pendidikan seharusnya diberikan ruang dan waktu untuk berproses. Di satu sisi, kita berproses memahami seutuhnya sehingga bisa berkontribusi melengkapi dan menyempurnakan. Di sisi lain, program diberi kesempatan untuk berjalan dengan semua kelemahannya, untuk kemudian secara bertahap dilengkapi, disempurnakan hingga mendekati kesempurnaan yang diharapkan.
Mari kita beri ruang dan waktu kepada program MBKM untuk berproses menjadi lebih baik. Adalah kewajiban kita mengkritisi dan kemudian memperbaiki program MBKM agar benar-benar bisa menciptakan SDM Indonesia yang berkualitas.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.