Membedah Naik-Turun Biaya Cost Recovery dan Dampaknya Terhadap Lifting Migas
Pengendalian biaya pada bisnis umum, seperti pada usaha dagang atau pabrikan (manufacturing), berbeda dengan pengendalian biaya di bisnis hulu migas. Investasi, pengeluaran uang yang menjadi biaya dan cost recovery untuk menghasilkan produksi, lifting, dan penerimaan, berbeda antara bisnis umum dan bisnis hulu migas.
Sehingga, seringkali tidak pas tatkala pendekatan bisnis umum digunakan untuk menakar atau mengevaluasi bisnis hulu migas. Setidaknya, terkadang cenderung menimbulkan kesalahpahaman.
Strategi dan cara-cara mengelola bisnis hulu migas juga berbeda dengan bisnis umum. Pengelolaan bisnis hulu migas wajib memperhatikan perilaku biaya dan perilaku lifting. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor hulu migas yang perannya masih besar sebagai sumber energi, sekaligus mendukung ketahanan energi nasional.
Pada bisnis hulu migas, hubungan dari kedua variabel tersebut tidak paralel. Tidak serta merta ketika biaya ditambah, karena kegiatan operasional ditingkatkan, tidak dengan segera lifting total akan naik. Demikian juga sebaliknya, tidak selalu penurunan produksi dan lifting migas merupakan akibat dari pengurangan biaya.
Karakteristik Bisnis Migas
Untuk memahami hal tersebut, sangat penting untuk ‘mengerti’ karakteristik bisnis hulu migas.
Kegiatan hulu migas dibagi dalam dua tahapan, yaitu eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi adalah tahap mencari cadangan dan upaya menemukan migas, serta membuktikan keberadaannya.
Pada tahapan ini ada dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Bila eksplorasi berhasil, ini berarti ditemukan cadangan migas dalam jumlah yang ekonomis. Perusahaan minyak akan melanjutkan ke tahapan berikutnya, yaitu eksploitasi dan produksi.
Pada tahap produksi ada tiga fase. Fase awal menuju puncak produksi, yang sering disebut dengan fase kenaikan produksi atau incline production phase. Setelah fase kenaikan produksi dilewati, perusahaan akan memasuki puncak produksi. Puncak produksi hanya sekali, namun bila puncak produksi relatif flate dan terjadi pada beberapa tahun, disebut dengan plateau production phase. Fase berikutnya adalah fase penurunan produksi atau declining production phase.
‘Cerita’ ini dijabarkan dalam Hubbert’s peak Theory.
Praktiknya sama dengan teorinya. Pola produksi seperti ini berlaku untuk satu lapangan, satu wilayah kerja migas (WK Migas), dan juga pada satu negara.
Indonesia saat ini ada di posisi declining production phase. Artinya, Indonesia berada pada fase produksi yang cenderung turun dari tahun ke tahun. Ini seperti ‘takdir’, tidak bisa dihindari, dan memang harus dialami. Lalu apakah tidak perlu diusahakan dan diupayakan untuk meningkat produksi?
Jawabannya, tetap perlu dilakukan. Meski harus disadari bahwa upaya tersebut sangat berat dalam bentuk kenaikan produksi total (kumulatif), sebab pada fase declining sudah pasti produksi cenderung turun.
Karena itu, tolok ukurnya bukan total produksi, namun slope atau kemiringan atau tren produksi. Keberhasilan ditunjukan dengan memperlihatkan perubahan slope. Disebut berhasil bila kegiatan dan biaya yang dikeluarkan mengakibatkan slope produksinya semakin landai, lebih landai dibandingkan jika tidak melakukan apa-apa.
Jeda Waktu
Karena bisnis hulu migas memiliki karakteristik yang unik, sehingga terdapat jeda waktu antara realisasi biaya dan realisasi produksi.
Masa eksplorasi migas itu bervariasi, tiga sampai 12 tahun. Namun kebanyakan penemuan cadangan migas di Indonesia terjadi di periode tahun keenam sampai menjelang tahun ke-10. Namun terlihat upaya untuk melakukan terobosan bagaimana upaya mendorong percepatan dari penemuan ke produksi (Baca: https://katadata.co.id/indepth/opini/6718652e3f2b1/pelajaran-dari-geng-north-percepatan-proyek-migas-di-era-transisi-energi).
Pada masa eksplorasi perusahaan melakukan investasi dan pengeluaran biaya operasional. Namun pada periode tersebut tidak ada penjualan. Jadi laporan keuangan perusahaan posisinya rugi. Kondisi ini terus berjalan, dan akan tetap rugi apabila eksplorasi gagal, alias tidak ditemukan cadangan migas.
Namun, apabila eksplorasi berhasil dan menemukan cadangan migas, seluruh biaya yang dikeluarkan pada masa eksplorasi dapat dibebankan sebagai biaya, sebagai cost recovery. Sehingga pada awal produksi beban biaya atau cost recovery melonjak tajam.
Cost recovery nampak tidak paralel dengan produksi migas. Sebab memang biasanya pada awal masa produksi, volume migas yang dapat diangkat ke permukaan masih kecil. Lalu sebagian besar hasil penjualan migas digunakan untuk recovery atau memulihkan pengeluaran yang sudah terjadi di masa eksplorasi.
Pada masa operasi ‘normal’, biaya operasional utama, yang berkaitan dengan produksi juga memiliki jeda waktu. Misalnya, kegiatan sumuran (well services dan work over), pengeboran sumur sisipan, dan sumur pengembangan (development well), demikian juga biaya perbaikan fasilitas produksi, biasanya realisasi biayanya sudah terjadi, sementara terkadang produksinya di tahun berikutnya.
Kondisi itu tampaknya potensial terjadi di tahun 2024, yaitu cost recovery akan nampak besar dan trennya (slop) positif, sementara hasilnya atau produksiny secara kumulatif tidak terlalu nampak.
Hal ini terjadi, seiring dengan investasi eksplorasi, kegiatan sumuran dan pengeboran yang masif, dengan menargetkan pengeboran 932 sumur. Sehingga cost recovery tahun 2024 sedikit di atas tahun sebelumnya, yaitu di kisaran US$ 8 miliar. Tahun lalu, cost recovery Indonesia sebesar US$ 7,7 miliar.
Meski demikian, sebenarnya tidak bisa dibilang bahwa pengeluaran tersebut tidak efisien. Karena, bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka tersebut masih jauh lebih rendah. Cost recovery pada 2018 dan 2019 berturut-turut US$ 12,1 miliar dan US$ 10,9 miliar. Sementara cost recovery tahun 2020 dan 2021 kurang ‘proper’ menjadi pembanding karena Indonesia berada di masa pandemi Covid-19.
Selain itu, karena cost recovery tersebut untuk minyak dan gas bumi, maka keberhasilan dari usaha migas dilihat slop produksi minyak dan gas bumi dalam bentuk barrel oil equivalent. Atau supaya tidak misleading, cost recovery dan kegiatannya dipisahkan untuk minyak dan gasbumi, demikian juga tren atau slope dibuat untuk minyak dan gas bumi secara terpisah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.