Potensi Produksi Baterai Domestik dan Kesiapan BUMN
Salah satu alasan tingginya harga jual mobil listik karena dipengaruhi oleh komponen yang sangat penting yaitu baterai. Untuk satu unit mobil listrik, Indonesia Battery Corporation (IBC) menyebut harga baterainya sekitar 30% sampai 40% dari harga jual kendaraan.
Guna mendorong minat publik terhadap kendaraan listrik, Indonesia wajib memproduksi baterai secara domestik. Tujuaannya jelas, demi memangkas harga jual dan mencapai target 187 ribu unit mobil listrik pada 2030.
Jika berkaca pada bisnis kendaran electric vehicle (EV) di Korea Selatan, harga jual mobil tidak terlampau mahal dibandingkan pasar dalam negeri. Sebut saja LG Chem Ltd, salah satu industri raksasa baterai kebanggaan Korea Selatan, menjadi penyokong ekosistem kendaraan listrik bersama pabrikan Hyundai.
Secara ketersediaan sumber daya alam (SDA), negara ini lebih unggul dibanding Korea Selatan. Berdasarkan data Survei Geologi Amerika Serikat, Indonesia berada pada urutan pertama penghasil nikel dunia.
Sedangkan Korea Selatan, sebagai produsen baterai, jutru mengimpor nikel dari Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut negara tujuan ekspor nikel terbesar Indonesia di kuartal awal 2022 lalu adalah Tiongkok, dengan volume mencapai 73,9 juta kg dan nilai total US$ 520,98 juta.
Diikuti Jepang dengan volume sebesar 16,89 juta kg (US$236,2 juta) dan Korea Selatan sebanyak 14,1 juta kg (US$71,06 juta). Kemudian ekspor nikel ke Malaysia sebanyak 10,52 juta kg (US$69,9 juta) dan Hongkong 49,45 ribu kg (US$78,87 ribu).
UU Minerba
Guna mendorong percepatan pembangunan pabrik baterai skala lokal, pemerintah telah menerbitkan regulasi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batubara (Minerba). Pasal 102-104 UU tersebut terdapat dua ketentuan yang dapat mendorong percepatan pembangunan pabrik baterai.
Pertama, kewajiban untuk melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian. Kedua, dibolehkannya pengusaha minerba untuk bekerja sama dengan pemegang IUP/IUPK yang memiliki fasilitas smelter dalam kegiatan peningkatan nilai tambah tersebut.
Undang-undang tersebut menetapkan bahwa kendaraan listrik yang dijual di Indonesia harus memiliki persentase baterai lokal yang diproduksi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mendorong produksi baterai kendaraan listrik dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor baterai dari luar negeri.
Selain kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong percepatan produksi, Indonesia juga memiliki keuntungan kompetitif. Biaya tenaga kerja dalam negeri lebih kompetitif dan bisa bersaing dengan pekerja asing. Tentu ini menjadi variabel yang membuat biaya produksi baterai kendaraan listrik di Indonesia lebih terjangkau dibanding negara-negara lain.
Potensi industri baterai untuk kendaraan listrik di Indonesia juga didukung oleh pertumbuhan pasar kendaraan listrik yang sangat cepat dengan catatan yang menunjukkan tren positif. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebut volume penjualan battery electric vehicle (BEV) di pasar domestik pada Desember 2022 berjumlah 2.404 unit. Data itu merupakan pencapaian tertinggi sepanjang tahun.
Jika diakumulasikan, total volume penjualan wholesale mobil listrik BEV di Indonesia periode Januari-Desember 2022 mencapai 10.327 unit. Mobil listrik terlaris sepanjang 2022 adalah Wuling Air EV Long Range dengan angka wholesale 6.859 unit, diikuti Hyundai Ioniq 5 Signature Extended 1.517 unit, dan Wuling Air EV Standard Range 1.194 unit.
Limpahan Sumber Daya Alam
Salah satu faktor yang memengaruhi perkembangan industri baterai di Indonesia adalah ketersediaan SDA yang melimpah. Indonesia memiliki cadangan nikel dan kobalt terbesar di dunia, dua bahan yang sangat penting dalam produksi baterai. Hal ini memberikan keuntungan kompetitif bagi Indonesia dalam pengembangan industri baterai.
Indonesia diketahui mempunyai 93% sumber daya alam (SDA) bahan baku baterai mobil listrik, seperti nikel, mangan, dan kobalt. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia diperkirakan memiliki cadangan nikel hingga 24 juta metrik ton (MT). Di tahun 2021, produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton naik 2,17% dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia kini sedang menggenjot hilirisasi di dalam negeri. Hal tersebut dibarengi dengan digenjotnya sejumlah infrastruktur baik fasilitas pengolahan serta pemurnian (smelter) kini tengah dibangun di dalam negeri.
Dengan gambaran tersebut, produksi nikel saat ini akan berefek pada konsumsi bijih nikel di dalam negeri akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang. Kemungkinan, konsumsi bijih nikel Indonesia pada 2025 diperkirakan bisa mencapai 400 juta ton.
Sementara, sumber daya alam jenis kobalt juga termasuk bahan baku yang keberadaannya cukup melimpah. Dengan jumlah cadangan 600 ribu metrik ton menempatkan Indonesia pada urutan ketiga setelah Kongo dan Australia sebagai penghasil kobalt terbesar dunia yang umumnya digunakan sebagai bahan katoda dalam baterai Li-ion.
Dengan limpahan SDA sebagai bahan baku baterai, produksi baterai tidak hanya untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Potensi pasar ekspor juga tidak boleh diabaikan. Indonesia dapat memproduksi baterai untuk kendaraan listrik dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara- negara lain. Hal ini akan memberikan keuntungan kompetitif bagi Indonesia dalam menjual baterai kendaraan listrik ke negara lain.
Kesiapan BUMN Indonesia
Komisaris Utama PT. Pertamina (Persero), Basuki Tjahaya Purnama atau biasa disapa Ahok memberikan dukungan pemerintah dalam memproduksi baterai kendaraan listrik, apalagi dengan sumber daya nikel yang dimiliki. Sebagai langkah konkret, Pertamina melalui Direktur Utama Nicke Widyawati menyampaikan keyakinannya sebagai sebuah “power house” yang siap mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik.
Pada ajang dalam World Economic Forum, di Davos, Swiss belum lama ini, Nicke yakin Pertamina mampu memproduksi baterai sekaligus meningkatkan penetrasi EV di pasar global. Apa yang diyakini Nicke tentu berdasarkan pada track record Pertamina yang telah lama menjadi pemain besar dalam industri minyak dan gas di Indonesia dan ditunjang infrastruktur memadai.
Lantas, apa saja yang menjadi keunggulan Pertamina sebagai produsen baterai? Yang mendasar, perusahaan energi ini telah memiliki pengalaman dalam mengelola cadangan energi fosil guna memenuhi kebutuhan energi dalam negeri.
Untuk mengembangkan baterai EV diperlukan rangkaian riset dan pengembangan. Tapi dengan latar pengalaman yang sudah ada, diyakini Pertamina bisa melakukannya secara maksimal. Itu karena kemampuan teknologi dan sumber daya manusia yang terlatih dalam bidang energi. Dengan demikian, Pertamina memiliki keahlian yang diperlukan untuk memproduksi baterai kendaraan listrik dengan standar yang tinggi.
Dalam rangka pengembangan ekosistem dan pembangunan EV battery di Indonesia, Pertamina bersama beberapa perusahaan di bawah BUMN akan menjalankan tujuh tahapan penting. Antara lain mining, refining, precursor plant, cathode plant, battery cell, battery pack, dan recycling.
Pertamina akan bergerak pada empat lini tengah yakni, precursor, cathode, battery cell, dan battery pack. Sementara pada tahap recycling, Pertamina akan bersinergi dengan PLN. Adapun di hulu, akan menjadi lingkup kerja PT Antam bersama Inalum.
Pertamina akan memastikan tahapan dan langkah dalam pengembangan baterai EV berpores kearah yang lebih baik. Tahun 2021 lalu, Pertamina beserta tiga BUMN lainnya akan membentuk perusahaan patungan (joint venture) Indonesia Battery Corporation (IBC). Pertamina juga sudah bekerja sama dengan dua perusahaan global dan sedang menjajaki kerja sama dengan perusahaan lainnya.
Tantangan Pertamina
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, Pertamina masih memiliki beberapa tantangan yang perlu diatasi. Pertama, teknologi baterai kendaraan listrik terus berkembang dengan cepat, dan Pertamina harus terus mengikuti perkembangan tersebut agar dapat memproduksi baterai yang lebih efisien dan terjangkau.
Selain itu, persaingan di industri baterai kendaraan listrik semakin ketat, dengan produsen baterai terkemuka seperti LG Chem, Panasonic, dan Tesla, bersaing untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar.
Tak hanya itu, Pertamina juga perlu memperhatikan aspek lingkungan dalam produksi baterai kendaraan listrik. Produksi baterai membutuhkan bahan-bahan yang berpotensi merusak lingkungan seperti logam berat dan bahan kimia berbahaya. Oleh karena itu, Pertamina perlu memastikan produksi baterai dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan dan mematuhi standar internasional dalam hal pengelolaan limbah dan perlindungan lingkungan.
Namun, jika Pertamina berhasil memproduksi baterai kendaraan listrik secara efektif, hal ini dapat memiliki dampak positif bagi industri mobil listrik di Indonesia. Produksi baterai kendaraan listrik yang lebih murah dan terjangkau dapat membantu mempercepat adopsi mobil listrik di Indonesia, yang saat ini masih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.