Jalan Pembuat Kendaraan Listrik Lokal
Setelah membaca “Masa Depan Pembuat Kendaraan Listrik Lokal” pada artikel sebelumnya, mari lihat performa pembuat lokal yang sudah memproduksi motor listrik. Inilah skenario awal yang sudah terjadi. Masih di tahap introduksi, pembuat motor listrik lokal sudah kesulitan dalam kinerja penjualan meski ada subsidi pembelian dari pemerintah.
Mengikuti aturan kompleksitas, belum berhasilnya mencapai performa perusahaan akan menyulitkan dalam meningkatkan kemampuan, membangun jejaring bisnis yang kuat, dan akhirnya berdampak negatif terhadap masa depan persusahan tersebut. Jika masa depan tidak berpihak pada mereka, hal itu akan semakin menyulitkan pembuat untuk meningkatkan kemampuan, membangun jejaring bisnis yang kuat, dan meningkatkan performa perusahaan.
Ada semacam reinforcing loop atau kausalitas saling menguatkan antara performa perusahaan, masa depan perusahaan, kemampuan perusahaan, dan jejaring bisnis. Melihat pola seperti ini, sepertinya akan sulit bagi pembuat lokal atau pendatang baru siapa pun untuk mewujudkan masa depannya.
Masih ada persoalan dalam problem-solution fit yang belum terselesaikan oleh motor listrik atau EV pada umumnya. Apakah EV tersebut membantu menyelesaikan pekerjaan komuter lebih baik? Apakah kendaraan listrik mampu mengatasi customer pains berupa antrean panjang di SPBU saat mengisi bensin; pembengkakan biaya BBM ketika harga naik; tingginya biaya servis dan harga atau cicilan kendaraan?
Selain itu, adopsi EV terjadi jika memenuhi customer gains seperti kemudahan dalam mobilitas, kenyamanan, keamanan, prestise, keandalan dan serviceability.
Quick win dari kendaraan listrik yang langsung dirasakan penggunanya yaitu turunnya biaya energi secara signifikan dibandingkan kendaraan ber-BBM untuk penggunaan kendaran dengan jarak tempuh yang sama. Quick win lainnya datang dari biaya servis dan perawatan yang lebih rendah dari kendaraan ber-BBM.
Meski beberapa studi empiris menunjukkan total cost of ownership kendaraan listrik lebih rendah dari kendaraan ber-BBM, namun keunggulan biaya ini juga ada biayanya, yaitu harga EV itu sendiri yang lebih tinggi. Sementara untuk urusan mobilitas, kenyamanan, keamanan, keandalan, serviceability, kendaraan BBM sudah mampu memuaskan penggunanya. Bisa saja dalam urusan prestise, pengguna EV akan mendapatkan emotional benefit berupa identitas sosial yang berbeda karena sudah merangkul nilai-nilai hijau dalam berkendara.
Menelisik Skenario pada Pembuat Kendaraan Listrik Lokal
Meski demikian bukan berarti pintu-pintu oportunitas tertutup bagi pembuat EV lokal untuk bisa sukses di industri kendaraan listrik. Berikut beberapa skenario yang bisa terjadi pada pembuat EV lokal, baik untuk pembuat motor dan mobil listrik.
Pertama, adanya pembuat kendaraan listrik lokal dengan EV price parity with gasoline vehicles. Pada skenario ini, pemain lokal mampu membuat kendaraan listrik dengan harga yang sama dengan kendaraan ber-BBM yang sekelas tanpa disubsidi pemerintah. Demikan pula dalam mendapatkan margin profit yang sama dengan kendaraan ber-BBM. Ketika paritas harga EV tercapai, EV menjadi terjangkau bagi masyarakat banyak.
Dengan harga yang relatif sama dan benefit yang lebih tinggi dalam mengatasi pains dan gains dibandingkan kendaraan ber-BBM, rasio benefit terhadap harga dari EV jauh lebih tinggi ketimbang kendaraan ber-BBM. Ketika ini terjadi, efek tsunami dalam berinovasi pun terjadi, pengguna kendaraan ber-BBM berbondong pindah ke EV.
Inilah skenario paling optimistis sekaligus hampir mustahil bagi setiap pembuat EV di mana pun, paling tidak untuk kurun 10 tahun ke depan. Yang terjadi sekarang ini, harga EV masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan ber-BBM dikarenakan biaya EV per unitnya masih tinggi.
Skenario ini menjadi elusif bagi pembuat EV lokal mengingat baterai masih menjadi komponen mahal. Harga baterai masih menjadi ketidakpastian karena kelangkaan bahan bakunya. Demikian pula dengan ukuran pasar pembuat lokal yang masih kecil dan segala sumber daya, kemampuan, dan dukungan jejaring bisnis yang masih terbatas.
Skenario di atas masih dapat terjadi. Syaratnya, pertama, pembuat lokal memiliki segala kemampuan dalam desain, engineering, produksi, dan keuangan baik dari internal perusahaan dan/atau jejaring bisnisnya. Kedua, ada keberpihakan pemerintah lewat kebijakan purchase subsidy atau tax credit untuk membuat EV jadi lebih terjangkau bagi masyarakat banyak serta kebijakan tarif dan non-tarif yang membantu pembuat lokal jadi kompetitif dalam persaingan.
Skenario kedua adalah pembuat EV lokal dengan technology epiphany. Menyadari paritas harga masih sulit terjadi dalam jangka singkat, pembuat lokal bisa memproduksi EV yang berbeda dari kerumunan kendaraan listrik yang diminati mayoritas penggunanya. EV yang dibuat mempertemukan teknologi maju dan desain penuh makna atau disebut technology epiphany (Verganti, 2009).
Manfaat fungsional dan emosional yang ditawarkan EV penuh makna ini memang akan memberikan peningkatan rasio benefit terhadap harga yang lebih tinggi. Namun adopsinya diperkirakan rendah karena harga EV ini menjadi mahal dibandingkan kendaraan ber-BBM. Kalaupun ada, jumlah penggunanya hanya segelintir.
Membuat kendaraan listrik yang bernilai tinggi dan ditujukan kepada segelintir pengguna bisa saja jadi pilihan bunuh diri bagi pembuat lokal. Dalam industri yang sudah terisi pemain dan nama besar, ditambah mentalitas underdog masyarakat yang mengutamakan merek luar, skenario ini bisa elusif, sulit terjadi.
Namun pembuat lokal tetap bisa mewujudkan skenario ini. Syaratnya, pertama, mereka memiliki kemampuan dalam memadukan desain dan teknologi terkini untuk menghadirkan kemaknaan baru dari sebuah EV. Kedua, target customer dapat secara objektif mengapresiasi kelebihan nilai dari EV lokal tersebut. Selain itu, sama seperti di skenario sebelumnya, skenario ini menuntut pembuat lokal memiliki segala kemampuan baik dari internal perusahaan maupun dukungan jejaring bisnisnya.
Kedua skenario di atas memang terlihat sulit diwujudkan pembuat lokal mengingat infeasibility dari sumber daya dan proses yang dimiliki belum mampu membuat produk berteknologi tinggi. Kultur membuat, penguasaan teknologi dan R&D yang belum kuat di kalangan pelaku usaha di Tanah Air, menjadi semacam inersia bagi hadirnya pembuat-pembuat lokal yang hebat.
Memang ada beberapa pembuat motor listrik yang sudah memasarkan produknya, namun difusi inovasi dari motor listrik, termasuk yang dari luar, masih lambat. Hal ini menunjukkan bahwa motor listrik memperlihatkan jobs to be done (JTBD) masyarakat dalam berpergian sudah masuk kategori served right. Dengan demikian, masih rendahnya adopsi mobil dan motor listrik menunjukkan kendaraaan ber-BBM sudah membantu JTBD masyarakat; belum ada urgensi untuk pindah ke EV.
Meski jalan membuat bagi pembuat EV lokal tidak mudah, selalu ada kesempatan dari arah tak terduga selama terus menguatkan segala kemampuan dan menjalin kemitraan yang kokoh dalam jejaring bisnisnya. Salah satu pencapaian yang harus diraih adalah penemuan (discovery) konsep produk EV yang benar-benar fit dengan JTBD yang underserved atau unfulfilled di custemer-nya. Bagi pembuat EV lokal, kendaraan yang dibuat tidak harus motor atau mobil listrik untuk penumpang, tapi justru peluangnya ada dari kendaaran listrik niaga untuk perusahaan.
Skenario ketiga adalah hadirnya pembuat kendaraan listrik untuk commercial EV for business. Kendaraan listrik di sini bisa electric van, bus, atau special purpose vehicle. Di sinilah bisa ditemukan unserved atau non-consumer, dalam hal ini pelaku bisnis yang membutuhkan kendaraan yang lebih fit dalam menyelesaikan JTBD mereka dalam mengirimkan barang, misalnya.
Berbeda yang dengan pemilik/pengguna kendaraan penumpang yang mengharapkan manfaat emosional selain fungsional, perusahaan lebih mengharapkan manfaat fungsional dari kendaraan niaga. Dalam menyelesaikan pekerjaan logistik, perusahaan memiliki objektif utama yaitu meminimalkan biaya pengiriman dengan tuntutan pengiriman tepat waktu dan tepat kualitas.
Jadi, meski dengan harga perolehan (cost of acquisition) yang lebih tinggi dari kendaraan ber-BBM, secara empiris total cost of ownership kendaraan EV bisa lebih rendah dari kendaraan ber-BBM. Inilah manfaat fungsional dari EV yang bernilai bagi pelanggan perusahaan.
Ini peluang nyata untuk para pembuat lokal. Yang mampu menawarkan kendaraan listrik niaga pertama kali, tentu akan mendapatkan first mover advantage. Ada reinforcing loop dari performa pasar yang diraih. Kemampuan perusahaan akan menguat; jejaring bisnis akan kokoh dan masa depan akan berpihak kepada pembuat lokal.
Jika pembuat lokal terus tumbuh bersama produsen dari luar, industri pembuat EV akan semakin atraktif. Atraktifnya industri pembuat kendaraan listrik akan memberikan kesempatan kepada pabrikan-pabrikan termasuk pembuat lokal untuk tumbuh.
Dengan struktur produk EV yang modular, demokratisasi dalam membuat kendaraan listrik semakin terbuka. Di sisi suplai dari ekosistem bisnis EV akan ada penyedia platform EV yang merupakan kerangka utama dari sebuah kendaraan. Dengan platform ini, pembuat kendaraan listrik akan mendesain tampilan dan engineering-nya yang fit dengan platform tersebut.
Jadi ke depan, sebuah platform bisa digunakan untuk membuat produk EV yang berbeda. Selanjutnya seperti pabrikan otomotif sekarang ini, pembuat EV menyiapkan fasilitas asembli kendaraanya.
Tersedianya platform EV dapat membantu pembuat lokal menekan biaya pengembangan dan manufaktur. Yang harus disiapkan adalah kemampuan desain, engineering, production, supply management (pengadaan barang), dan keuangan. Kemampuan keuangan menjadi penentu untuk dapat membangun kemitraan yang kokoh dalam jejaring bisnisnya.
Kalaupun pembuat EV lokal belum memiliki segala kemampuan di atas, selagi masih memiliki kemampuan keuangan, segala sesuatu bisa terjadi. Beberapa perusahaan di luar yang tadinya bukan pembuat di industri otomotif tetap bisa menjadi pembuat.
Dengan kekuatan keuangan, desain dan teknologi mereka beli dari luar perusahaan. Urusan membuat diserahkan ke perusahaan yang memang khusus membuat atau pabrikan lain yang memiliki kapasitas lebih. Melihat jalan membuat seperti ini sepertinya yang punya potensi membuat EV di Indonesia adalah korporat yang sudah mapan secara keuangan.
Namun bukan berarti dengan memiliki kekuatan keuangan lantas perusahaan bisa langsung jadi pembuat. Eksekutif puncak di perusahaan itu harus memiliki kepemimpinan dalam berinovasi. Kepemimpinan ini diikuti dengan kemampuan mengorkestrasi jejaring bisnis yang memungkinkan korporat yang awalnya non-producer bisa menjadi producer without producing.
Apalagi kalau dalam ekosistem bisnis EV di Tanah Air ada keberpihakan pemerintah terhadap penguatan pabrikan lokal. Lewat kebijakan untuk mempercepat pengembangan ekosistem bisnis EV, universitas/lembaga riset bahkan perusahaan pembuat mendapat research grant dari pemerintah untuk meriset dan mengembangkan invensi-invensi yang bisa langsung diaplikasikan oleh produsen lokal.
Program percepatan pengembangan ekosistem bisnis EV juga dilakukan lewat pemberian subsidi pembelian agar kendaraan listrik bisa lebih terjangkau oleh masyarakat luas. Dengan terciptanya penjualan EV lokal, akan membangun optimisme dalam mengembangkan produk-produk EV berikutnya. Apalagi kalau program percepatan pengembangan ekosistem bisnis kendaraan listrik juga diikuti dengan kebijakan tarif/non-tarif untuk meningkatkan daya saing pembuat lokal.
Masa depan pembuat lokal memang tidak bisa sekadar memproyeksikan dari yang ada sekarang ke depan. Kalau ini dilakukan, hampir dipastikan tidak akan ada pembuat EV lokal, bahkan hingga jadi kelas dunia. Masa depan pembuat lokal harus dimulai dari gambaran pencapaian apa yang diinginkan di kemudian hari. Dari sana, barulah dibangun jalan-jalannya yang bisa terjadi sekaligus masuk akal untuk dilakukan.
Dan yang bisa terjadi dan masuk akal hanya terwujud jika ada pembuat lokal memiliki dukungan keuangan, pengetahuan dan teknologi dan orkestrasi jejaring bisnis yang digerakkan oleh kepemimpinan perusahaan dalam inovasi yang kuat. Masa depan berpihak kepada mereka yang sungguh-sungguh menyiapkan diri. Be prepared!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.