Gerakan Pangan Lokal untuk Kedaulatan Pangan

Angga Dwiartama
Oleh Angga Dwiartama
18 Januari 2024, 07:20
Angga Dwiartama
Katadata/Bintan Insani
Angga Dwiartama, Dosen Biomanajemen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Topik ketahanan pangan menjadi pembicaraan menarik masyarakat selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2024. Hal yang paling banyak diperdebatkan adalah masalah food estate atau lumbung pangan. Sebuah kebijakan untuk menyiapkan lahan superluas untuk memproduksi bahan pangan pokok. Di sini persoalan krusialnya adalah bagaimana menyiapkan lahan superluas itu, tidakkah itu akan mengganggu lingkungan?

Isu pangan memang menjadi soal serius untuk negara dengan jumlah penduduk banyak dan terus bertambah seperti Indonesia. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan ketersediaan dan ketahanan pangan menjadi tantangan. Sektor pertanian nasional dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tantangan ini semakin meningkat di tengah ancaman perubahan iklim.

Achmad Suryana dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, menyebut bahwa ketahanan pangan merupakan isu multidimensi dan sangat kompleks, karena meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Aspek politik seringkali menjadi faktor dominan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan pangan.

Suryana, sebagaimana dikutip dari jurnalnya di Forum Penelitian Agro Ekonomi Oktober 2014, "Menuju Ketahanan Pangan Indonesia Berkelanjutan 2025: Tantangan dan Penanganannya", menyebut bahwa pada periode 2015-2025 negara-negara berkembang termasuk Indonesia menghadapi keadaan yang semakin sulit untuk mencapai, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas keberlanjutan ketahanan pangan. Tantangan muncul dari dua sisi sekaligus, yaitu dari sisi supply (penawaran, pasokan) dan sisi demand (permintaan, kebutuhan) yang berperilaku sangat dinamis.

Bertahun-tahun Indonesia mengenal kredo swasembada pangan. Pengertiannya, negara bisa memproduksi cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya sendiri tanpa perlu mengimpor.

Faktanya, Indonesia hingga saat ini belum bisa mencapai swasembada pangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), untuk pemenuhan kebutuhan makanan pokok masyarakat Indonesia saja, yaitu beras, pemerintah masih tetap perlu impor sebanyak 1,79 juta ton sepanjang Januari-September 2023.

Suplai atau pasokan juga bermasalah dengan berkurangnya jumlah lahan baku sawah nasional. Menurut BPS, luasan sawah kian menyusut, dari 8,07 juta hektare pada 2008 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019. Bahkan, pada 2023 luas panen padi kebanyakan hanya terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera.

Oleh karena itu, dalam pemilihan presiden kali ini mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan menjadi salah satu isu dan agenda prioritas. Visi para calon presiden soal kebijakan pangan mendapat penekanan.

Persoalan ketahanan pangan di Indonesia pada dasarnya ada dua. Pertama, masalah urbanisasi yang menyebabkan kebutuhan pangan terpusat di kota-kota di mana di sana tidak ada alat produksi (lahan). Kedua, lahan pertanian di desa terus berkurang karena alih fungsi lahan. Akibatnya, kebutuhan dan pemenuhan tidak seimbang.

Aspek kebutuhan pangan ada tiga. Pertama, soal produksi, yakni seberapa besar kita mampu memproduksi (bahan) pangan. Ini tantangannya pada jumlah lahan yang terus menyempit dan varietas yang dikembangkan.

Kedua, aksesibilitas rakyat terhadap pangan. Di kota semakin banyak lapisan masyarakat yang tidak bisa mengakses pangan karena miskin. Ketiga adalah soal utilitas pangan di mana kebutuhan dan ketersediaan tidak "nyambung". Misalnya, masyarakat membutuhkan beras varietas kelas tertentu tetapi yang tersedia jenis lain.

Food Estate Bukan Jawaban

Lalu, perlukah pemerintah mencetak lahan luas untuk produksi pangan? Lumbung pangan atau food estate bukan solusi tepat untuk menjawab soal ketahanan pangan. Food estate membutuhkan lahan yang besar dan masif, ini kemungkinan akan melahirkan gesekan peruntukan lahan.

Kebanyakan lahan yang luas adanya di Kalimantan dan Papua, umumnya lahan tersebut adalah lahan gambut. Prosesnya, lahan gambut dikeringkan, ini bisa mengakibatkan lahan gampang terbakar. Pengalihan lahan juga harus melihat pemetaan lahan yang ada, agar tidak terjadi lahan pangan mengambil lahan untuk hutan atau wilayah konservasi.

Persoalan lain yang dihadapi tanaman padi adalah pemanasan global. Padi ideal dicocoktanamkan di suhu 30 derajat Celcius. Dengan berkurangnya hutan karena peralihan peruntukan ikut mendorong pemanasan suhu global, akibatnya produktivitas padi umumnya turun.

Persoalan sektor cocok tanam padi juga terkait dengan kondisi kesehatan tanah. Banyak produktivitas padi yang digenjot dengan pupuk. Akan tetapi, strategi ini ada batasnya. Penggunaan pupuk berlebih justru menyebabkan kerusakan tanah. Artinya, ini menimbulkan pekerjaan rumah lagi.

Terlepas dari upaya-upaya tersebut, hanya sedikit pakar yang mampu mengaitkan kedaulatan pangan dengan permasalahan yang terjadi di sisi lain rantai pasok, khususnya permasalahan masyarakat miskin perkotaan. Kelompok terakhir ini adalah konsumen yang tidak memiliki akses terhadap lahan subur dan memiliki keterampilan, sumber daya, dan sarana yang terbatas untuk memproduksi makanan mereka sendiri.

Gerakan Pangan Lokal, Bukan Lumbung Pangan

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyatakan dalam Nawa Cita mengenai pentingnya meraih ketahanan pangan bagi masyarakat Indonesia. Ini dituangkan pemerintah Indonesia sebagai amanah ketahanan, kedaulatan, dan kemandirian pangan dalam Undang-Undang Nomor tahun 2012 tentang Pangan.

Meskipun demikian, ketahanan pangan tidak bisa diartikan sebagai kecukupan atas pangan saja. Menurut Michael Carolan (2012), seorang sosiolog pertanian dan pangan di Amerika Serikat, definisi yang lebih luas dari ketahanan pangan adalah terbangunnya ketahanan masyarakat. Hal ini mencakup kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan hidup melalui pangan, yang dalam hal ini juga merujuk pada ketahanan pangan berbasis komunitas (community food security).

Atas dasar logika tersebut, daripada membangun potensi pangan dengan mengembangkan lumbung pangan yang masif, potensi sistem pangan lokal bisa menjadi bentuk ekonomi alternatif yang lebih masuk akal. Sistem ini digerakkan oleh masyarakat sipil dan komunitas di tingkat lokal.

Contoh kasus di metropolitan Bandung (Kota Bandung dan kabupaten/kota di sekitarnya). Seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan pangan lokal di berbagai kota besar di negara maju, Kota Bandung sedang mengalami proses pertumbuhan serupa. Berbagai gerakan akar rumput, bisnis-bisnis sosial, serta komunitas minat dan hobi yang terkait dengan penyediaan pangan sehat, lokal, dan ramah lingkungan tumbuh subur di Kota Bandung.

Kota Bandung bisa dilabeli kota kreatif yang dapat menjadi model dalam pemenuhan ketahanan pangan di tingkat perkotaan di Indonesia, bahkan di dunia. Meskipun, gerakan-gerakan yang ada masih tumbuh sporadis dan tidak bersinergi satu sama lain.

Sejumlah literatur telah mengindikasikan bahwa sistem pangan lokal merupakan salah satu solusi untuk memitigasi dampak dari sistem pangan global. Alih-alih mendorong petani untuk menanam produk-produk ekspor bernilai tinggi untuk bersaing dengan produk impor. Sistem pangan lokal mengisyaratkan dikuatkannya ekonomi lokal melalui produksi pangan yang berkualitas untuk masyarakat itu sendiri.

Penting untuk dicatat bahwa dalam kondisi ekonomi pasar bebas saat ini, produksi pangan lokal, khususnya di daerah perkotaan (urban agriculture), mungkin tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pangan di Indonesia. Meskipun demikian, sistem pangan lokal perlu diposisikan sebagai alternatif dan komplemen dalam mengawal dampak-dampak negatif dari sistem pangan global dan perdagangan bebas, serta membangun ketahanan melalui pangan bagi masyarakat.

Beberapa Bentuk Inisiatif Pangan Lokal dan Alternatif

Di banyak kota dan desa di belahan dunia, sistem pangan alternatif/lokal tumbuh dalam berbagai bentuk. Beberapa contoh aktivitas pangan lokal tersebut meliputi: pasar petani (farmers’ market), pertanian berbasis komunitas (community-supported agriculture), dan kebun komunitas (community gardens). Selain itu, ada pertanian kota, skema kotak sayur (vegetable box scheme), permakultur, pertanian organik, dan lain sebagainya.

Beberapa bentuk gerakan pangan alternatif yang mendunia mencakup gerakan organik yang diusung oleh IFOAM (Gerakan Pertanian Organik Dunia) sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan akibat Revolusi Hijau. Di luar itu, dikenal pula gerakan perdagangan berkeadilan (fair trade movement) sebagai bentuk alternatif dari jalur distribusi global yang bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan petani di tingkat lokal.

Kemudian, Slow Food Movement yang bertujuan melestarikan makanan tradisional, mengembalikan rasa kebersamaan (conviviality) di dalam memproduksi dan mengkonsumsi makanan lokal dan sehat, serta mendorong petani untuk mempraktekkan pertanian yang lebih sesuai dengan karakteristik sosio-ekologis lokal.

Farmers’ market merupakan alternatif terhadap pasar modern yang memutus hubungan antara produsen dan konsumen sedangkan permakultur mengedepankan desain lansekap pertanian yang sifatnya lebih permanen dan sesuai dengan karakteristik ekosistem lokal. Adapun Community-supported Agriculture (CSA) mendorong konsumen membeli pangannya langsung dari petani dengan membayar di awal musim tanam untuk produk yang ingin mereka pesan.

Gerakan-gerakan tersebut tumbuh dan bersinergi satu sama lain sehingga titik tempat beberapa kota di dunia mengadopsi gerakan-gerakan ini sebagai bagian dari kebijakan kota. Misalnya, di kota-kota seperti Bristol (Inggris), Cardiff (Inggris), Roma (Italia), Vancouver (Kanada), dan Santa Barbara (Amerika Serikat).

Di Indonesia, dan Bandung khususnya, belum terlihat upaya yang terintegrasi untuk mewujudkan sistem pangan lokal tersebut. Meskipun demikian, langkah-langkah proaktif telah dilakukan oleh pemerintah kota, pengusaha dan wirausahawan sosial (social entrepreneurs), serta masyarakat melalui gerakan akar rumput untuk mempersiapkan hal ini.

Kebun organik umumnya tumbuh di kawasan penyangga Kota Bandung, khususnya di daerah subur dataran tinggi seperti Lembang, Parongpong, dan Ciburial (di utara Bandung) atau Banjaran, Ciwidey, dan Pangalengan (di selatan Bandung). Setiap kebun memiliki cerita yang unik dan ini mendasari bagaimana gerakan pangan lokal ini dibangun.

Dari sejumlah pemilik kebun organik, hampir seluruhnya adalah masyarakat kota yang tidak memiliki pengalaman bertani sama sekali. Di satu sisi, para petani ini harus belajar ekstra untuk bisa mencapai hasil pertanian yang baik, terkadang melalui proses jatuh bangun dan berbagai pengalaman pahit.

Di sisi lain, para petani ini layaknya kertas putih yang belum ‘dikotori’ oleh cara bertani konvensional gaya Revolusi Hijau yang menerapkan pupuk dan pestisida secara intensif. Mereka belajar dari berbagai sumber: buku, internet, YouTube, atau berguru ke petani organik lain yang lebih berpengalaman.

Salah satu petani organik besar di daerah Cikalong Wetan, Bandung Barat, menjadi rujukan bagi banyak petani organik lainnya di sekitar Bandung. Pak Nahum, petani organik tersebut, semula adalah manajer di sebuah perusahaan multinasional, yang sudah bekerja selama puluhan tahun.

Ia lantas memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan memulai hidup baru sebagai petani organik. Hal ini juga dilandasi kesadaran bahwa pangan yang diperoleh dari pertanian konvensional di Indonesia dipenuhi oleh racun (pestisida dan lainnya) yang membuat keluarga dan teman-temannya menderita banyak penyakit.

Menurut Nahum, cara bertani saat ini layaknya meracuni tanah dengan narkotika, membuat tanah pertanian menjadi sangat bergantung pada pupuk sintetis dan sedikit demi sedikit ‘membunuh’ tanah tersebut.

Nahum dan kelompoknya kemudian merevolusi cara bertani di Cikalong Wetan melalui konsep pertanian organik. Nahum dan kelompoknya kini memasok sayur-mayur kepada banyak konsumen di daerah Jakarta dan sekitarnya. Jika ada banyak “Nahum” di Indonesia dan kerja mereka dikoordinasikan secara tepat dan utuh, ini akan dapat membangun ketahanan pangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Keuntungan lainnya, bumi dan lingkungan akan tetap lestari.

Angga Dwiartama
Angga Dwiartama
Dosen

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...