Inklusi Keuangan Perempuan: Bukan Seberapa Banyak, tapi Kualitasnya

Agnes Salyanty
Oleh Agnes Salyanty
22 Januari 2024, 15:32
Agnes Salyanty
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pemerintah Indonesia berkomitmen mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan, sebagai salah satu penopang dari pembangunan yang inklusif. Komitmen ini akan diuji mengingat kita tengah dipacu waktu untuk mencapai target 90% inklusi keuangan pada 2024. Kendati Otoritas Jasa Keuangan mencatat peningkatan inklusi dari 76,19% (2019) menjadi 85,10% (2022), namun realitanya masih ada ketimpangan inklusi antara kelompok perempuan dan laki-laki. Bagaimana kita dapat memastikan pemenuhan target inklusi selaras dengan pemberdayaan perempuan yang bermakna?

Perempuan Ekonomi Kreatif di Tengah Tantangan

Inklusi keuangan perempuan adalah katalis bagi pemberdayaan ekonomi perempuan, yang dapat bermuara pada kesetaraan gender. Perempuan yang memiliki akses terhadap produk dan layanan keuangan, dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi dan mendapatkan manfaat langsung. Saat ini kelompok perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam hal akses terhadap layanan keuangan, sebagaimana hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2022.

Perbandingan Indeks Literasi
(Katadata/ Agnes Salyanty)

Riset Women’s World Banking (WWB) berjudul “Memberdayakan Ekonomi Perempuan Pekerja Ekonomi Kreatif: Wawasan Inklusi Keuangan” (2024) menemukan bahwa inklusi keuangan berkorelasi positif terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan, bahkan jika digabungkan dengan pendapatan. Kombinasi inklusi keuangan dan pendapatan menjadi prediktor yang lebih kuat jika dibandingkan dengan pendapatan saja. Hal ini menjadi argumen bahwa capaian inklusi keuangan harus diselaraskan dengan pemberdayaan ekonomi perempuan.

Hasil ini didapat dari analisis hasil wawancara mendalam terhadap 20 perempuan pekerja ekonomi kreatif (ekraf), 20 laki-laki yang pasangannya bekerja di sektor ekraf, tujuh informan kunci dari perwakilan pemerintah dan penyedia jasa keuangan; diskusi kelompok dengan tiga belas lembaga perempuan; serta survei yang melibatkan 1.009 perempuan ekraf di lima daerah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). 

Perempuan ekonomi kreatif dipilih menjadi fokus penelitian karena sektor kreatif didominasi oleh pekerja perempuan dengan persentase 58%. Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja terbanyak ketiga (21,9 juta tenaga kerja) setelah pertanian (37 juta) dan ritel (25 juta). Dilihat dari kontribusi, pemerintah memberikan perhatian lebih setelah sektor ini mampu menunjukkan tren positif dan signifikan terhadap  terhadap perekonomian Indonesia, dengan sumbangan sebesar 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 

Dari lensa kebijakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menempatkan perempuan sebagai kelompok sasaran prioritas inklusi keuangan. Sementara Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 menekankan peran sektor kreatif sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Atas dasar ini, menjadi strategis dan logis untuk menelaah kelompok perempuan di sektor kreatif untuk membantu kita menajamkan strategi inklusi keuangan ke depan. 

Tantangan yang dihadapi perempuan di sektor ekonomi kreatif serupa dengan yang dihadapi oleh perempuan di sektor lainnya. Salah satunya kepungan norma sosial yang dapat membatasi akses mereka terhadap sumber daya keuangan dan ekonomi. Secara spesifik, mayoritas perempuan di sektor ekraf cenderung menjadi pekerja informal tanpa kontrak kerja dan skema perlindungan sosial yang jelas. 

Selain itu, mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah sebagaimana temuan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Tingkat pendidikan yang lebih rendah ini dapat menjadi hambatan besar bagi perempuan di industri kreatif ke depannya untuk memasuki sektor formal.

Perempuan Ekraf Sedikit yang Lulusan Universitas
(Katadata/ Agnes Salyanty)

Tantangan lain menyangkut persepsi yang dipengaruhi oleh norma sosial terkait peran gender tradisional. Hal ini memengaruhi pembagian peran dalam pengelolaan keuangan rumah tangga dan akses terhadap layanan keuangan. Masih ada persepsi bahwa perempuan yang sudah menikah sebaiknya tidak bekerja dan fokus pada urusan domestik rumah tangga. 

Perempuan Cenderung Menjadi Pekerja Informal
(Katadata/ Agnes Salyanty)

Perempuan ekraf juga cenderung menggunakan rekening atas nama pasangan atau anggota keluarganya. Bisa jadi, ini salah satu alasan kenapa angka kepemilikan rekening perempuan ekraf cenderung rendah, yakni 53%, dibandingkan rata-rata kepemilikan rekening secara nasional sebesar 65,4% (OJK, 2022). Penggunaan rekening pasangan berpotensi menutupi tingkat kemandirian finansial dan partisipasi yang sebenarnya dilakukan perempuan.

Selain itu, perempuan ekraf juga menghadapi tantangan terkait literasi yang memengaruhi perilaku keuangan mereka. Misalnya, dalam menggunakan layanan keuangan digital seperti dompet digital sebagai salah satu metode pembayaran.

Perempuan Ekraf
(Katadata/ Agnes Salyanty)

Riset WWB menemukan dari 86% perempuan ekraf yang memiliki ponsel cerdas, hanya 15% yang menggunakannya untuk mengelola keuangan, menerima dan melakukan pembayaran, serta melacak transaksi usaha. Hal ini dikarenakan masih rendahnya literasi terhadap keuangan dan layanan digital yang membuat perempuan ragu dan kurang percaya diri menggunakan produk digital. 

Mewujudkan Inklusi Keuangan yang Bermakna 

Tantangan yang dikemukakan di atas dapat memacu kita untuk mendorong strategi pencapaian inklusi keuangan yang bermakna. Yang bermakna dalam hal ini adalah, yang sepenuhnya mendorong perempuan untuk memiliki relasi positif terhadap dirinya dan lingkungannya. Dalam riset ini, indikator pemberdayaan ekonomi perempuan ditunjukkan oleh empat faktor yakni persepsi diri, kemampuan menentukan pilihan, daya tawar, dan kemandirian finansial.

Dari sampel perempuan di sektor ekonomi kreatif, kita dapat melihat bahwa pendapatan mampu meningkatkan hubungan antara inklusi keuangan dan indikator pemberdayaan ekonomi perempuan. Studi ini tidak hanya melihat kekuatan hubungan antara inklusi keuangan, pendapatan, dan masing-masing indikator pemberdayaan perempuan secara terpisah, tetapi juga melihat efek ketiganya secara bersama-sama. 

Hasilnya menunjukkan bahwa betapa pentingnya fokus pada peningkatan pendapatan perempuan bersamaan dengan akses mereka terhadap layanan keuangan, terutama yang diperlukan untuk pengelolaan pendapatan. Sekitar 86% responden perempuan ekraf terlibat dalam proses pengambilan keputusan keuangan di rumah tangga dan usaha, seperti ketika ingin mengakses pinjaman atau membuka tabungan. 

Dengan perempuan berpenghasilan dan memiliki akses ke layanan keuangan, mereka mampu menentukan preferensi keuangan. Mereka semakin banyak berkontribusi pada keluarga, sehingga makin tinggi pula persepsi dan kepercayaan diri mereka. 

Dari hubungan antara inklusi keuangan dan pendapatan, penggunaan layanan keuangan terbukti mampu meningkatkan pendapatan perempuan ekraf. Baik dengan menggunakan produk keuangan maupun akses pinjaman ke lembaga keuangan. Perempuan ekraf, misalnya, telah menyadari adanya kemudahan dan keamanan bertransaksi menggunakan keuangan digital. 

Dengan akses pembiayaan formal, perkembangan bisnis mulai lebih tersokong. Tidak hanya itu, mereka yang melakukan pemasaran secara daring dan menerima pembayaran melalui transfer terbukti mampu meningkatkan penjualan ketimbang hanya berjualan dengan cara tradisional, seperti pembeli yang harus datang ke tempat usaha.

Namun, kita tidak bisa menutup mata dengan peluang yang ada. Nyatanya, kesenjangan masih teridentifikasi untuk peningkatan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui inklusi keuangan. Berbagai peluang untuk menghilangkan kesenjangan akses perempuan pada layanan keuangan dapat ditingkatkan, seperti literasi keuangan yang masih rendah, hambatan akses pembiayaan, serta penetrasi keuangan digital. 

Untuk mencapai inklusi keuangan yang substantif, kita harus memastikan terintegrasinya lensa gender dalam semua pendekatan dan aksi kita. Kita perlu menyadari tantangan berlapis yang dihadapi perempuan ekraf, terutama yang berpendapatan rendah, baik dari sisi kebijakan, sosial maupun budaya. 

Kegiatan literasi keuangan perlu dirancang dengan pendekatan yang berperspektif gender. Caranya dengan membangun kesadaran akan ketimpangan gender dan upaya mendorong pembagian peran yang adil, termasuk dalam urusan keuangan. Hal ini harus diadopsi oleh seluruh pihak baik pemerintah, penyedia jasa keuangan, lembaga pembangunan, dan organisasi masyarakat sipil. 

Sebagai contoh, kolaborasi antara komunitas dan penyedia jasa keuangan. Kolaborasi ini termasuk pengenalan beragam produk dan fitur keuangan digital, serta pelatihan pengembangan usaha yang disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari perempuan ekraf. Lalu, perlu integrasi kegiatan edukasi keuangan dalam produk pinjaman untuk pengusaha mikro, kecil, dan menengah. 

Selain itu, kita perlu semakin mempromosikan talenta-talenta perempuan ekraf di media dan forum bisnis untuk membantu mereka menjangkau pasar yang lebih luas. Tanpa terkecuali, pemahaman dan pengenalan produk layanan keuangan harus dibangun dengan pemahaman bahwa perempuan ekraf tidaklah homogen. Ada perempuan ekraf di perdesaan, perkotaan, ada perempuan dengan disabilitas, dan dengan jenjang pendidikan yang perlu dirangkul. 

Pada akhirnya, menggenapi target 90% inklusi keuangan pada 2024 bukan hanya capaian kuantitatif, tetapi juga substantif. Artinya, setiap perempuan memiliki akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat dari layanan keuangan. Itulah perempuan yang berdaya.

Agnes Salyanty
Agnes Salyanty
Senior Research Lead Women’s World Banking

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran publik, Katadata.co.id bersama Koalisi Inklusi Keuangan Digital Perempuan (IKDP), yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Women's World Banking, menyajikan edisi khusus Inklusi Keuangan Perempuan. Setiap bulan, tulisan terkait isu tersebut kami sajikan dalam bentuk artikel panjang dan mendalam.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...