Optimalisasi Retribusi Budaya dari Wisatawan Mancanegara di Bali

Made Handijaya Dewantara
Oleh Made Handijaya Dewantara
1 Februari 2024, 07:00
Made Handijaya Dewantara
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Dosen Universitas Prasetiya Mulya; Mahasiswa S3 - Griffith University – Australia

Apabila melihat dari makna pariwisata yang berkualitas dengan menitikberatkan pada wisatawan yang berkualitas, sejumlah negara ternyata menerapkan retribusi maupun pajak bagi wisatawannya. Bahkan, beberapa di antaranya menagih pajak wisata di atas US$ 10 bagi wisatawan.

Menurut harian Kompas, sejumlah negara Asia seperti Bhutan, Jepang, dan Thailand telah menerapkan kebijakan ini. Di Eropa, sejumlah negara gabungan Uni Eropa seperti Prancis, Italia, Spanyol, Belgia, dan Swiss juga menerapkan hal serupa. Terbukti saat ini destinasi di negara-negara tersebut berada dalam progres yang baik dalam menjamin pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

Paradigma yang harus dibawa saat ini adalah mencoba memposisikan Bali dalam tempat terhormat setara dengan destinasi-destinasi di negara-negara tersebut. Kebijakan retribusi tidak harus dimaknai sebagai lemahnya posisi Bali melainkan menyetarakan posisi Pulau Dewata dengan destinasi-destinasi terkenal lainnya di dunia. Bali tampaknya harus lebih percaya diri dibandingkan destinasi tersebut mengingat kekayaan budaya dan atraksi yang ditawarkan lebih menarik dan pantas dihargai dalam value yang lebih premium.

Wajar apabila ada masyarakat yang skeptis pada optimalisasi pelaksanaan kebijakan retribusi ini. Untuk itu, sejumlah rekomendasi diberikan demi menjaga kepercayaan wisatawan dan khalayak internasional dan sekaligus yang terpenting menjaga kepercayaan masyarakat Bali bahwa retribusi ini untuk mereka.

Pertama dari sisi pemasukan, yaitu melalui transparansi pelaksanaan retribusi. Hal ini bisa dijalankan dengan membuat laporan berkala (mingguan dan bulanan) tentang besaran retribusi yang terkumpul dengan melihat jumlah wisatawan yang datang. Mengingat proses pembayaran dilakukan secara online, hal ini bukanlah menjadi sesuatu yang rumit. Masyarakat Bali juga bisa memantau dengan mudah dengan mengalikan jumlah kedatangan wisatawan asing dikali Rp 150.000.

Kedua dari sisi pengeluaran, yaitu menyampaikan laporan secara berkala terkait tingkat penyaluran dan keberhasilan penggunaan dana retribusi yang terkumpul. Layaknya iuran di tingkat kelurahan, hal ini juga tergolong mudah untuk dilakukan. Pemerintah Bali perlu menyampaikan berapa persentase dana yang digunakan untuk pelestarian budaya maupun konservasi lingkungan, berikut kegiatan yang dilakukan.

Ketiga dari sisi pembayar pajak, yaitu wisatawan asing. Transparansi ini bisa dilakukan dengan mempublikasi secara berkala setiap kemajuan preservasi budaya maupun pelestarian lingkungan yang dijalankan. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga masyarakat independen maupun media dalam menyampaikan setiap perkembangan.

Tahun 2024 adalah momentum baik untuk menerapkan kebijakan ini. Tampaknya memang lebih baik kebijakan ini dijalankan sebelum tingkat kedatangan wisatawan kembali membludak seperti sebelum pandemi terjadi. Jika mengacu pada data tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik (BPS), apabila Bali mampu mendatangkan wisatawan mancanegara dengan angka yang sama yaitu sebanyak 6,3 juta orang, maka paling tidak kebijakan ini akan berpeluang memberikan dana tambahan sebesar Rp 945 miliar.

Kebijakan ini pastinya akan menuai banyak perhatian, pujian, maupun bisa jadi keluhan, baik dari wisatawan maupun dari praktisi. Pekerjaan berat berada di pundak pemerintah Provinsi Bali dan Kementerian Pariwisata untuk meyakinkan dampak positif yang bisa dinikmati oleh insan Pulau Dewata dalam beberapa tahun ke depan. Tanpa adanya komunikasi aktif, tentu masyarakat akan bertanya-tanya bayar Rp 150 ribu sebenarnya untuk apa?



Halaman:
Made Handijaya Dewantara
Made Handijaya Dewantara
Dosen Pariwisata Universitas Prasetiya Mulya; Ph.D. Candidate Griffith University – Australia
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...