Jalan Panjang Penataan Regulasi Hutan Gambut untuk Keberlanjutan
Tiga belas tahun lalu pemerintah mengeluarkan beleid mengenai penghentian penerbitan izin baru pada hutan alam primer dan lahan gambut. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Presiden atau Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Peningkatan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Di sana tertuang Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB) sebagai implementasi aturan tersebut. Namun peta indikatif ini tidak berlaku bagi lokasi yang telah mendapat izin atau sertifikat dari pejabat berwenang yang diterbitkan sebelum Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.323/ Menhut-II/2011.
Termasuk dalam hal ini, inpres tersebut tidak bisa diterapkan pada proyek yang sudah memiliki izin perkebunan kelapa sawit. Dengan kata lain, moratorium sawit tidak berlaku. Dalam konteks ini, inpres merupakan instrumen hukum yang lemah, dan moratorium tidak mengikat secara hukum saat dihadapkan pada perkebunan kelapa sawit yang telah dikembangkan di kawasan peta indikatif.
Pada 2017, Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Peraturan Menteri No. P14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. Aturan ini mengelompokkan ekosistem lahan gambut menjadi dua, yakni fungsi budi daya dan fungsi lindung. Kawasan yang kedalaman gambutnya di atas tiga meter masuk dalam fungsi lindung (Pasal 10), sedangkan lahan yang kedalaman gambutnya kurang dari tiga meter masuk dalam fungsi budidaya (Pasal 11).
Kemudian pada 2019, Kementerian Pertanian melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (BBPSDLP) menerbitkan peta kedalaman gambut nasional. Peta tersebut meliputi sejumlah wilayah, yakni Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan skala 1:50.000.
Peta Indikatif tidak bersifat statis dan direvisi setiap semester. Masyarakat bisa mengajukan revisi kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk dihapuskan dari Peta Indikatif. Peta kedalaman gambut yang dikeluarkan BBPSDLP dapat dijadikan acuan oleh pihak swasta yang berencana mengembangkan kelapa sawit atau komoditas pertanian lainnya untuk meminta penghapusan dari Peta Indikatif. Oleh karena itu, besar kemungkinan area yang tumpang tindih dengan Peta Indikatif akan dikeluarkan dan selanjutnya diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Fakta bahwa peta tersebut bersifat indikatif dan terbuka untuk direvisi menunjukkan bahwa tidak ada perlindungan secara permanen terhadap lahan gambut dan hutan alam primer pada masa depan. Selain itu, kebijakan tersebut tidak menerapkan tindakan apa pun untuk melindungi kawasan Peta Indikatif dari deforestasi dan degradasi hutan di lapangan.
Moratorium pengembangan lahan gambut dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung.
Putusan Uji Materiil Nomor 49 P/ HUM/ 2017 tanggal 2 Oktober 2017 mengabulkan tuntutan penggugat. Dalam perspektif Mahkamah Agung, jika pemanfaatan lahan gambut dilarang maka perlu memperhatikan bahwa sebagian besar provinsi di wilayahnya terdiri atas gambut.
Mahkamah Agung memberi contoh Provinsi Kepulauan Riau yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lahan gambut. Jika lahan yang telah diusahakan dilarang maka menjadi tidak ada kepastian hukum dalam berinvestasi. Hal ini berpotensi menciptakan kerugian ekonomi yang besar di seluruh wilayah Indonesia.
Kemudian, persoalan sosial akan menyertainya, seperti pemutusan hubungan kerja secara masif, pengangguran, dan kriminalitas terkait lahan yang terbuka tanpa penanggung jawab (open access). Meskipun, dalam pengelolaannya, lahan gambut tetap harus mempedomani aspek konservasi lahan gambut sebagaimana sebelumnya telah diatur dalam peraturan menteri pertanian dan hingga saat ini belum dicabut.
Setahun kemudian keluar Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit terbit. Aturan tersebut tidak diperpanjang pada 2021 setelah berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang).
Selanjutnya, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja.
Upaya pembukaan areal di dalam kawasan hutan gambut dapat dilakukan melalui mekanisme Pasal 271 huruf (a) dan (b) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2021, yakni dengan mengubah peruntukan maupun fungsi kawasan hutan secara parsial. Upaya ini dapat dilanjutkan dengan Pasal 272 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan perubahan peruntukan kawasan hutan dapat melalui persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan berusaha maupun non-berusaha.
Runtutan peraturan di atas diharapkan mampu menciptakan kepastian hukum guna menyambut era keberlanjutan atau sustainability di Indonesia.
Penulis merupakan seorang Associate Professor bidang Hukum dan pakar Sustainability
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.