Gen Z di Tengah Keterpurukan Dunia Kerja
Siapa sangka jika lowongan kerja di warung seblak dan toko handphone dipenuhi ribuan pelamar oleh mayoritas Generasi Z atau yang akrab disapa “Gen Z”. Menurut BPS, terdapat 9,9 juta (22,5%) penduduk Gen Z Indonesia, lahir 1997-2012, yang sedang menganggur dan tidak mengenyam pendidikan tinggi per Agustus 2023.
Selama ini, Gen Z kerap menerima stigma sebagai generasi yang pemalas. Benarkah anggapan itu? Menurut GWI, lembaga riset pasar yang berpusat di London, Inggris, mencatat 72% Gen Z sangat membatasi diri dalam urusan kehidupan dan pekerjaan.
Mereka menolak hustle culture, tetapi menganut the soft life, yakni gaya hidup nyaman dan santai yang diidentikkan dengan kemalasan dan kurang mampu bekerja dalam tim. Sebanyak 29% Gen Z mengaku dirinya sangat rentan mengalami kecemasan. Istilah anak muda zaman kini “baperan”.
Namun IDN Research Institute menunjukkan fakta sebaliknya. Di Indonesia, 67% Gen Z bersedia bekerja dan tidak keberatan mendapat beban kerja tambahan seperti lembur. Namun, 64% menganggap jenjang karier sangat penting, sehingga dianggap pemilih dalam pekerjaan.
Kemampuan Gen Z yang multitasking dan paham teknologi digital menjadi nilai plus. Gen Z yang dilabeli sebagai generasi minim batasan atau boundaryless generation memang memiliki keunikan karena cenderung pragmatis dan lebih condong ke arah security dan money.
Gen Z yang hidup dengan beragam perangkat teknologi digital, seperti ponsel cerdas, tablet, laptop tentu dapat menjadi pencipta, inovator, dan entrepreneur yang hebat. Sayangnya, tidak semua keistimewaan itu dimiliki Gen Z Indonesia. Lantas bagaimana akan membuka peluang connectivity dan engagement jika ada 22,5% Gen Z yang pengangguran dan tidak memiliki pendidikan tinggi?
Salah satu analisis market research menyebutkan bahwa 40% perusahaan menilai Gen Z tidak siap bekerja. Mereka dianggap memiliki etos kerja yang buruk dan kemampuan komunikasi di bawah standar, seperti ditulis Insider.
Namun di sisi lain, ada ancaman akibat disrupsi pasar. Fenomena ini berdampak cukup besar di Indonesia karena populasi anak muda yang lebih banyak. Teknologi informasi dan digital telah berkembang sangat cepat dan mengubah semua lanskap bisnis. Banyak sektor usaha yang tutup akibat disrupsi ini.
Prediksi ke depan juga perlu diwaspadai dengan hilangnya beberapa pekerjaan yang digantikan oleh kecerdasan buatan (AI) dan sistem robotik di berbagai sektor. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun telah terjadi di Tanah Air.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, sebanyak 27.793 orang mengalami PHK sepanjang Januari-Juni 2024. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah. Menurut catatan Apindo Jawa Barat, setidaknya 22 perusahaan sektor padat karya di Jawa Barat telah tutup.
Tak ayal, Gen Z, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah, bisa terkena imbasnya. Pendidikan yang relatif lebih rendah dan minim keterampilan membuat daya saing mereka dalam berebut pekerjaan semakin sempit. Tak heran jika lowongan pekerjaan yang ditawarkan bisnis-bisnis kecil, seperti warung seblak dan toko handphone, membeludak diserbu pelamar.
Ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mengantisipasi krisis dunia kerja, yang gejalanya sudah mulai terasa saat ini. Pemerintah semestinya dapat menyediakan lapangan kerja tanpa diskriminasi usia, gender, status sosial, hingga fisik. Seharusnya semua peluang kerja itu setara bagi semua angkatan kerja yang membutuhkan dan berfokus pada kemampuan dan kompetensi pelamar kerja.
Namun, di sisi lain, Gen Z perlu meningkatkan kapasitas dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas atau sekadar pelatihan, terutama di bidang teknologi. Meskipun, itu membutuhkan biaya yang tidak murah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.