Negara Rugi dari Praktik Biomassa Transisi Energi
Awal Desember 2024 lalu koalisi masyarakat sipil meluncurkan film “horor” berjudul Big Bad Biomass untuk publik. Sejatinya ini sebuah film dokumenter hasil kerja bersama Forest Watch Indonesia, Indonesia Nature Film Society (INFIS), dan beberapa lembaga lain yang bercerita tentang dampak buruk hutan tanaman energi.
Big Bad Biomass memperlihatkan ancaman nyata bagi hutan alam dan hutan adat dari proses transisi energi. Ancaman itu muncul dari pemanfaatan wood pellet (pelet kayu) untuk co-firing di PLTU – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (batubara) yang mestinya dari hutan tanaman energi, namun malah merambah hutan alam.
Riset Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2023 menyebutkan, pembangunan hutan tanaman energi (HTE) mengakibatkan hilangnya hutan alam di Jambi seluas 55 ribu hektare serta 420 ribu hektare hutan alam lainnya terancam dirusak atau mengalami deforestasi. Riset Trend Asia (2023) juga menyebut transisi energi akan menimbulkan ”utang emisi” karena pembakaran biomassa.
Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan energi terbarukan, terutama bioenergi, semakin menjadi sorotan di Indonesia. Salah satu bentuk bioenergi yang banyak dibahas adalah penggunaan biomassa, yang pengakuannya dihasilkan dari hutan tanaman energi, seperti kayu yang diolah menjadi wood pellet.
Konsep ini sebenarnya bertujuan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mendukung transisi ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Namun, dalam praktiknya, bioenergi berbasis biomassa di Indonesia justru menimbulkan berbagai masalah serius yang mengancam kelestarian hutan, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat adat.
Salah satu klaim yang sering didengungkan para pelaku industri biomassa adalah produksi bioenergi ini berasal dari upaya rehabilitasi hutan yang rusak. Namun, setelah ditelusuri, klaim ini terbukti tidak sesuai kenyataan.
Banyak pihak yang menemukan bahwa bahan baku untuk produksi wood pellet justru berasal dari hutan alam yang ditebang secara ilegal. Praktik ini mengarah pada deforestasi, yang jelas-jelas bertentangan dengan tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Investigasi FWI dan sejumlah organisasi lain yang dilakukan di Jambi dan Gorontalo, misalnya. Di dua provinsi itu sudah ada sejumlah perusahaan yang beroperasi. Di Jambi ada satu dan di Gorontalo ada empat. Umumnya investasi dari pengusaha Korea dan Jepang.
Di Jambi perusahaan bernama Hijau Antar Nusa dengan investor pengusaha Korea mendapat izin mengelola HTE. Temuan FWI, mereka baru menanam sekitar 65 hektare di lahan konsesi, tapi ternyata sudah membabat hutan alam seluas 4.000 hektare di wilayah hutan alam. Di Gorontalo lingkupnya lebih besar lagi. Saat ini sudah ada 280 ribuan hektare HTE yang digarap. Ada empat perusahaan yang mendapat konsesi di perusahaan ini. Adakah hutan alam yang ikut digaruk?
Salah satu aspek yang paling kontroversial dalam industri biomassa adalah rantai pasok ekspor yang mengarah pada, kami menyebutnya, kolonialisme iklim. Alasannya, atas dasar pertimbangan energi hijau, negara lain mengambil bahannya dari Indonesia dan merusak hutan alamnya. Kita dijajah untuk energi hijau mereka.
Banyak pihak mengungkapkan bahwa pelet kayu yang dihasilkan dari hutan-hutan Indonesia tidak hanya digunakan untuk kebutuhan domestik, melainkan diekspor ke negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, di mana bahan bakar biomassa ini digunakan untuk menggantikan batu bara.
Di Gorontalo, Agustus lalu misalnya, FWI menemukan pelet kayu yang dihasilkan di sini justru mau diekspor ke luar negeri. Alasan perusahaan yang mendapat konsesi sangat klise: biaya angkut ke PLTU sangat mahal dan harga jual ke mereka sangat rendah dibandingkan jika dijual ke luar negeri.
Seiring meningkatnya permintaan untuk biomassa di pasar internasional, potensi kerugian negara semakin besar. Negara seharusnya memperhatikan kerugian ini, karena kelalaian dalam pengawasan dapat menyebabkan aliran sumber daya alam Indonesia yang melimpah keluar dari negara, sementara masyarakat dan pemerintah yang seharusnya mendapatkan manfaatnya tidak dapat menikmatinya.
Kerugian negara juga berasal dari ekspor ilegal kayu dan biomassa yang tidak tercatat dengan benar oleh pihak berwenang. Salah satu kasus yang mencuat adalah penggelapan jenis kayu untuk pelet yang diekspor tanpa tercatat oleh KLHK. Sebagai catatan, setiap jenis kayu memiliki perhitungan nilai jual dan pajaknya sendiri-sendiri. Hal ini berimplikasi langsung pada berkurangnya pendapatan negara dari sektor kehutanan, baik melalui PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) maupun dana reboisasi.
Tentu saja, untuk memenuhi permintaan ekspor ini, perusahaan-perusahaan besar melakukan perluasan konsesi lahan hutan tanaman energi dengan menebang hutan alam. Ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat adat yang telah bergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan mereka. Masyarakat adat, seperti suku Anak Dalam di Jambi, misalnya, harus kehilangan ruang hidup mereka untuk kepentingan perusahaan-perusahaan yang berfokus pada ekspor biomassa.
Selain dampak ekologis yang merugikan, industri biomassa di Indonesia juga berkontribusi pada kerugian negara.
Investigasi FWI, menemukan praktik curang yang melibatkan supplier atau pemasok biomassa ke PLN dalam proses co-firing (pembakaran biomassa di PLTU). Salah satu contohnya adalah praktik basah, misalnya di wilayah Sukabumi dan Cirebon, di mana truk yang membawa material biomassa disiram dengan air dengan tujuan untuk memenuhi target tonase penjualan mereka ke PLTU. Celakanya praktik basah itu, meskipun dilakukan di luar wilayah PLTU, namun disaksikan petugas keamanan perusahaan listrik itu.
Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip efisiensi energi dan keberlanjutan bioenergi itu sendiri. Praktik tersebut menyebabkan pembakaran yang tidak efektif, menghasilkan polusi yang lebih pekat, dan memperburuk kualitas udara. Selain itu, tindakan ini juga merugikan negara, selain perusahaan harus membayar lebih mahal untuk kualitas bahan yang buruk, bahan bakar yang digunakan tidak sesuai dengan standar yang seharusnya.
Isu lain yang perlu diperhatikan dalam konteks biomassa adalah kebijakan perhutanan sosial, yang seharusnya berfokus pada pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan dan memperbaiki kesejahteraan mereka. Sayangnya, kebijakan ini sering kali disalahgunakan oleh perusahaan besar yang melihat perhutanan sosial sebagai peluang untuk mengembangkan hutan tanaman energi.
Sejumlah besar lahan yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat justru digunakan untuk produksi biomassa, yang lebih menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan tersebut, baik untuk pasokan domestik maupun ekspor. Hal ini semakin memperburuk ketimpangan sosial dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.
Menghadapi semua permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat lebih serius dalam mengawasi praktik industri biomassa. Ini bukan hanya masalah tentang transisi energi, tetapi juga tentang mempertahankan kelestarian hutan dan memastikan bahwa hutan Indonesia tidak hanya memberikan manfaat bagi segelintir korporasi, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pengawasan yang lebih ketat, penerapan hukum yang lebih tegas, serta transparansi dalam perizinan dan ekspor menjadi kunci untuk mencegah kerugian negara yang semakin besar dan memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi korban dalam industri bioenergi ini.
Praktik bioenergi berbasis biomassa di Indonesia menunjukkan berbagai paradoks yang sangat merugikan. Klaim tentang rehabilitasi hutan ternyata hanya kamuflase untuk mengeksploitasi hutan alam, sementara kerugian negara semakin besar akibat praktik ilegal dalam rantai pasok biomassa.
Ekspansi hutan tanaman energi juga semakin mengancam ruang hidup masyarakat adat, serta memperburuk ketimpangan sosial. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah yang lebih konkret dan transparan untuk memastikan bahwa industri biomassa tidak menjadi kedok bagi perusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam yang lebih besar di masa depan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.