Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Negara Nuklir dan Anarki Dunia

Ahmad Nurcholis
Oleh Ahmad Nurcholis
9 Juni 2025, 07:05
Ahmad Nurcholis
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

‎Tensi geopolitik global semakin panas. Belum usai konflik Rusia-Ukraina dan invasi Israel ke Palestina, kita disuguhkan dengan perang baru di kawasan Asia Selatan antara India dan Pakistan. Semuanya merupakan perang konvensional. Jika memasukkan konflik non-konvensional seperti perang tarif Trump terhadap Cina, tentu akan menambah daftar sumber ketegangan geopolitik global yang dapat mengarah pada katastrofi perang dunia baru. 

Sialnya, semua negara yang terlibat peperangan merupakan negara pemilik nuklir, kecuali Palestina dan Ukraina. Indonesia harus terus waspada akan meluasnya perang ke kawasan Asia Tenggara yang juga rawan konflik akibat banyaknya sengketa wilayah dan perebutan pengaruh antarnegara besar.  

Kewaspadaan ini harus terus menerus diperhatikan karena perang akan terus menghantui dunia. Di tengah dunia yang anarki, tidak ada yang dapat menolong dan menjamin kelangsungan hidup sebuah negara kecuali dirinya sendiri. Kira-kira begitulah tafsiran frasa self-help yang diuraikan panjang lebar oleh Kenneth N. Waltz (1979), dalam bab khusus soal “Anarchic Structures and Balances of Power” pada bukunya Theory of International Politics

Memahami Konsep Anarki

‎Anarki, lanjut Waltz, merupakan sebuah keadaan di mana sistem dunia beroperasi tanpa adanya otoritas sah yang dapat memaksakan hukum dan sanksi kepada unit-unit yang menyusunnya. Anarki adalah situasi absennya pemerintahan tertinggi; tiadanya otoritas puncak, yang dengan segala haknya, memiliki wewenang untuk menegakkan ketertiban. Kondisi anarki seperti itu hanya terjadi dalam sistem politik global. Sebab di level internasional, tidak ada pemerintahan dunia yang tunggal. Kekuasaan di antara unit yang menyusunnya, yakni negara, terpencar-pencar. Negara tidak menyatu dalam satu unit pemerintahan global yang terintegrasi. Kekuasaan dalam struktur internasional tersebar ke setiap unit-negara dengan hak kedaulatan masing-masing untuk bertindak sesuai kepentingannya sendiri-sendiri. 

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bukanlah unit pemerintahan global. Keputusannya tidak benar-benar mengikat dan kedaulatan negara tidak terlucuti dengan hadirnya PBB. Negara masih bebas untuk bertindak dan berperilaku sesuai kepentingannya. Bahkan, negara masih sering tampak mengabaikan resolusi yang ditetapkan PBB. Makanya, meski PBB eksis, perang tetap terjadi. Perang terjadi di sana-sini. Ketertiban di level global sulit diwujudkan. Itulah dampak dari kondisi anarki. 

Beda halnya dengan politik domestik. Waltz menyinggung bahwa gambaran kondisi domestik 100% bertolak belakang dengan kondisi global. Dalam politik domestik, ketertiban lebih gampang dibangun sebab kondisinya bukan anarki, tapi hierarki. Hierarki artinya, di dalam politik domestik, struktur kekuasaan tersusun secara rapi, mulai dari yang memiliki otoritas tertinggi, hingga ke bawah yang tidak memiliki otoritas sama sekali. 

Dalam kondisi hierarki, otoritas kekuasaan ditempatkan pada satu unit yang mendominasi posisi puncak. Bisa presiden, perdana menteri, dan sebagainya. Elemen otoritas tersebut memiliki wewenang sah untuk memaksakan ketertiban dan menegakkan hukum lewat mandat pada unit-unit lain di bawahnya. Di sisi lain, kedaulatan masing-masing individu (warga negara) dilucuti dan diserahkan kepada unit yang berwenang. Individu tidak berhak main hakim sendiri dan karenanya ketertiban bisa terwujud.

Situasi itu bertentangan dengan level politik global. Unit-unit yang menyusun sistem global kata Waltz, adalah “negara-negara berdaulat” yang memiliki fungsi dan tugas serupa dengan kepentingan yang berbeda-beda. Tidak ada pembagian tugas yang jelas dan terintegrasi di antara negara-negara di dunia. 

Lantaran berbeda kepentingan satu sama lain, kondisi anarki dalam sistem internasional rentan menciptakan konflik di antara unit-unit negara yang menyusunnya. Setiap negara akan berlomba-lomba menjadi mandiri dan tidak bergantung kepada yang lain. Masing-masing negara juga akan terus berkompetisi untuk memajukan kepentingannya sendiri-sendiri. 

Itulah mengapa sistem politik di level global disebut sebagai sistem anarki. Sebab tidak ada otoritas tertinggi yang sah untuk melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara. Kondisi ini layaknya unit-unit dalam sistem pasar beroperasi, tiap unit bekerja sendiri-sendiri dan berkompetisi satu sama lain untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dibanding pesaingnya.  

Hal tersebut terjadi karena menurut Waltz, negara sebagai unit yang menyusun sistem global memiliki posisi yang sejajar dan setara. Dalam posisi yang setara, tidak ada negara yang rela dipaksa tunduk kepada yang lain. Alasan-alasan inilah yang akhirnya menciptakan kondisi anarki sebagai situasi self-help. Tak ada cara lain untuk bisa bertahan di dunia yang anarki kecuali bergantung pada kekuatan diri sendiri. 

Peperangan bisa terjadi kapanpun, tetangga dekat bisa menyerang tiba-tiba, dan negara nun jauh di belahan benua lain sewaktu-waktu bisa meluncurkan rudal antarbenua. Semua negara, dalam kondisi anarki, harus terus waspada menghadapi kemungkinan-kemungkinan ini. “Niat dan tindakan masa depan negara lain” merupakan dua elemen dalam kondisi anarki yang menurut Waltz sulit diramalkan. 

Tips Bagi Indonesia       

Kata Waltz, “dalam anarki, keamanan merupakan tujuan tertinggi,” (1979: 126). Karenanya, tak ada cara lain bagi Indonesia untuk bertahan di dunia anarki kecuali dengan memperkuat diri melalui penguatan militer secara proporsional. 

Kekuatan militer harus proporsional sebab kata Waltz (1988), dalam tulisan lainnya yang berjudul “The Origins of War in Neorealist Theory”, baik dalam porsi kekuatan yang berlebihan maupun serba kekurangan, kedua-duanya menciptakan kondisi rentan diserang. Dalam kondisi lemah, negara lain akan dengan mudah mengintimidasi, mengancam, dan bahkan menginvasi kedaulatan wilayah. Sementara dalam porsi berlebihan, kekuatan yang dimiliki akan dianggap sebagai ancaman bagi yang lain. 

Negara-negara yang merasa terancam akan semakin berupaya memperkuat kekuatan mereka, baik secara internal dengan mengembangkan kapabilitas “ekonomi, militer, dan strategi” dalam negeri, maupun eksternal melalui pembentukan aliansi dengan negara lain (Waltz, 1979; Waltz 1988). Kepemilikan porsi kekuatan militer yang moderat, karenanya, adalah tindakan paling rasional untuk mewujudkan keamanan dan survivalitas di tengah kondisi yang anarki (Waltz, 1988). Sebab kata Waltz, “kekhawatiran utama negara bukanlah untuk [akumulasi] kekuatan, tapi keamanan” (1988: 616).  

Tidak ada ukuran pasti mengenai porsi ini. Namun paling tidak, proporsionalitas kekuatan suatu negara dapat diukur dengan melakukan perbandingan (kekuatan relatif) dengan negara lain. Indonesia harus memiliki kekuatan militer proporsional untuk menghadapi kemungkinan terburuk di masa depan.

Tapi yang lebih penting dari itu semua, sebelum Indonesia memperkuat proporsionalitas militernya, Indonesia perlu mengembangkan kemandirian dalam segala sektor, khususnya ekonomi. Ketidaktergantungan, kata Waltz (1979), merupakan perilaku lazim negara-negara untuk bertahan di dunia yang anarki. Hal ini penting sebab negara-negara yang terlalu bergantung pada negara lain akan mendapatkan dirinya dalam posisi daya tawar yang lemah. 

Negara-negara yang masih mengandalkan pasokan energi dari luar, akan dengan mudah terkena imbas krisis energi yang diciptakan. Negara yang masih mengandalkan modal investasi dari luar, akan menemukan dirinya gampang diintervensi. Negara yang masih berpangku peralatan militer dari negara lain, akan dengan mudah ditemukan titik lemahnya. Negara yang masih bergantung pada komoditas pangan impor, amat rapuh ketika impor dihentikan. Berdaulat secara ekonomi merupakan langkah awal menuju kemandirian pertahanan dan keamanan. 

Menjadi negara yang mandiri berarti mengupayakan segala jerih payah  dan kerja keras bangsa untuk dapat memenuhi segala materiil kebutuhan dalam negeri. Maka tak aneh, negara-negara besar yang kini eksis di panggung politik global adalah mereka-mereka yang sudah melewati dan terus berproses untuk menjadi bangsa yang mandiri. Termasuk mandiri dalam hal keamanannya. Sebut beberapa negara besar seperti AS, Cina, Rusia, India. Mereka adalah para pemilik nuklir yang dihasilkan dari proses kemandirian panjang untuk memastikan keamanan dalam negeri sendiri. 

Nuklir adalah simbol kemandirian keamanan sebab faktanya, seberapapun sengitnya konflik dan pertikaian yang terjadi antarkekuatan nuklir, tensi panas hanya akan berakhir di perang verbal. Kalaupun pahitnya serang menyerang tak terhindarkan, eskalasi perang akan terbatas. Konflik India-Pakistan belakangan ini menggambarkan situasi itu. Dan batalnya invasi AS ke Iran juga dilatarbelakangi faktor nuklir. Itulah bukti betapa mujarabnya nuklir dalam mencegah peperangan antarnegara-negara yang memilikinya. Benar kata Waltz, “senjata nuklir mencegah negara-negara untuk pergi berperang dengan lebih meyakinkan dibanding senjata konvensional” (1988: 625). 

Sudah saatnya Indonesia mandiri dalam segala bidang!   

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ahmad Nurcholis
Ahmad Nurcholis
Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...