Masih Pentingkah Publikasi Angka Kemiskinan?
Hasil Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan pada Maret 2025 sebesar 8,47%. Angka ini turun sebesar 0,1% poin dibandingkan September 2024 dan turun 0,56% poin dibandingkan Maret 2024.
Data tersebut juga sekaligus menunjukkan, tren penurunan tingkat kemiskinan dari 10,19% pada September 2020 dan 10,14% pada Maret 2021. Jika dibandingkan dengan periode Maret 2014, ketika tingkat kemiskinan tercatat sebesar 11,25%, terlihat bahwa angka kemiskinan telah mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Kita tentu perlu mengapresiasi pencapaian ini. Saat ini, persentase penduduk miskin, berdasarkan definisi pemerintah, telah mencapai angka satu digit.
Telaah Kritis Definisi Kemiskinan
Meski demikian, kita perlu bersikap lebih kritis terhadap definisi kemiskinan tersebut. Tanpa diragukan, publikasi angka kemiskinan oleh BPS kerap memicu berbagai kritik dari publik. Sepanjang akhir pekan, linimasa media online dan media sosial pun ramai dipenuhi beragam komentar.
Garis kemiskinan nasional sangat berbeda jauh dengan garis kemiskinan versi Bank Dunia. Sejak 2023, Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai upper-middle income country.
Sebagai catatan, garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau Rp20.305 per hari. Angka ini terdiri dari garis kemiskinan makanan (Rp454.299) dan non-makanan (Rp154.861). Artinya, sekitar 75% dari total garis kemiskinan berasal dari komponen makanan.
Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar yang berbeda. Untuk Indonesia, garis kemiskinan yang digunakan adalah sebesar US$6,85 per hari (PPP), atau lebih dari Rp41.000 per kapita per hari. Nilai ini didapatkan dari perhitungan konversi nilai tukar PPP dari website BPS sebesar Rp5.993.
Tanpa perlu perhitungan yang rumit, perbedaan garis kemiskinan yang cukup signifikan ini sudah cukup menunjukkan bahwa angka kemiskinan berdasarkan standar Bank Dunia tentu akan jauh lebih tinggi.
Perdebatan seharusnya tidak berfokus pada sumber data yang digunakan. Bahkan jika data yang dipakai sama-sama berasal dari Susenas, angka kemiskinan yang dihasilkan tetap akan berbeda apabila definisi garis kemiskinannya tidak sama.
Bias dalam Memahami Data
Dengan menggunakan dua garis kemiskinan yang berbeda, di mana salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi, tentu saja hasil yang diperoleh akan sangat berbeda. Perbedaan definisi ini akan terus memicu perdebatan. Namun, perdebatan semacam ini tidak serta merta menyelesaikan persoalan utama.
Apa sebenarnya masalah yang harus diselesaikan? Yaitu perbaikan kesejahteraan warga negara.
Satu hal yang menarik adalah munculnya kritik terhadap penurunan angka kemiskinan yang dinilai tidak sejalan dengan peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup signifikan.
Rilis angka kemiskinan didasarkan pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2025. Sementara itu, data PHK dirilis hingga Juni 2025. Seandainya Susenas juga dilakukan pada Juni 2025, kita mungkin dapat membandingkan pergerakan data secara langsung antara Maret dan Juni.
Namun hal ini tidak dimungkinkan, karena sumber pengumpulan data berbeda. Susenas merupakan data berbasis survei dengan responden lebih dari 300 ribu rumah tangga. Sangat tidak mungkin melakukan Susenas dengan frekuensi terlalu sering karena biaya mahal. Sementara data PHK berasal dari laporan Kementerian Ketenagakerjaan yang umumnya dihimpun dari Dinas Tenaga Kerja di daerah.
Dengan demikian, yang harus dilakukan perbaikan adalah cara membaca data agar tidak menimbulkan bias.
Ibarat kita melakukan tes kesehatan. Dokter biasanya membaca hasil tes kesehatan dengan melihat berbagai indikator. Contohnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium (darah, urine), pemeriksaan radiologi (seperti rontgen), hingga pemeriksaan fungsi organ dalam seperti jantung, paru-paru, hati, dan ginjal.
Hasil dari semua pemeriksaan biasanya dituliskan dalam sebuah laporan medis yang membuat angka dan kondisi pemeriksaan. Kemudian dokter bisa memberikan kesimpulan dengan melihat berbagai macam indikator.
Sayangnya, dalam konteks kemiskinan, kebiasaan membaca berbagai indikator belum membudaya. Pejabat lebih sering hanya mengutip angka dari satu jenis indikator tanpa paham bagaimana kelebihan dan kelemahan indikator tersebut.
Sebagai contoh, ketika perdebatan tentang definisi garis kemiskinan tak kunjung usai, mengapa pemerintah tidak merilis publikasi mengenai jumlah penduduk yang hidup di bawah garis pengeluaran Rp609.160 ribu per kapita per bulan?
Angka ini sejatinya sama dengan garis kemiskinan versi pemerintah, namun disampaikan dengan pendekatan yang berbeda. Menggunakan angka nominal secara langsung dapat memberikan nuansa yang lebih konkret dibanding menciptakan definisi baru yang belum tentu diterima oleh publik.
Selain Rp610 ribu, pemerintah juga dapat secara rutin merilis data jumlah penduduk berdasarkan ambang pengeluaran lainnya, seperti Rp800 ribu, Rp900 ribu, hingga Rp1 juta per kapita per bulan.
Untuk memperkuat koherensi dengan kebijakan upah, pemerintah juga bisa menyampaikan angka hasil pembagian Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan empat. Asumsinya, satu rumah tangga terdiri dari empat anggota keluarga.
Pendekatan ini sekaligus menjadi alat bantu untuk mengukur apakah UMP cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Rata-rata anggota keluarga dengan tepat bisa dihitung dari hasil Susenas, merentang dari 3,3 hingga 4,5 per provinsi.
Sebagai ilustrasi, jika UMP DKI Jakarta sebesar Rp5,4 juta, maka nilai per kapita setara Rp1,35 juta. Secara logika dan intuisi, pendekatan ini lebih mudah dipahami, terutama oleh para pembuat kebijakan.
Jika ingin melihat gambaran nasional, alternatif lain adalah menggunakan rata-rata UMP seluruh provinsi dan membaginya dengan empat, untuk menghasilkan ambang batas pengeluaran per kapita secara nasional.
Merujuk di website BPS, umumnya Berita Resmi Statistik adalah tentang kemiskinan, ketimpangan, dan ketenagakerjaan, umumnya adalah Gini rasio, tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran terbuka.
Informasi mengenai upah rata-rata biasanya hanya muncul dalam laporan Indikator Pasar Tenaga Kerja dan Keadaan Angkatan Kerja, yang harus dicari di puluhan halaman laporan tersebut.
Padahal data ini sangat relevan dan penting untuk diketahui publik secara luas. Dalam konteks daya beli, mengetahui berapa gaji rata-rata justru lebih bermakna dibanding sekadar melihat jumlah penduduk miskin berdasarkan definisi resmi pemerintah.
Sebagai penutup, memang benar bahwa para pengguna data bisa menggali informasi lebih dalam dengan menelaah berbagai laporan resmi secara mendetail. Namun, ketika data yang relevan disimpan dalam dokumen yang rumit dan tersebar, publik akan kesulitan mencerna dan memahami informasi tersebut.
Kuncinya adalah memilih dan menyajikan data yang benar-benar penting secara strategis, yakni menempatkannya di “rak buku” paling depan, agar mudah diakses, dipahami, dan dimanfaatkan oleh pembuat kebijakan maupun masyarakat umum.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
