Indonesia Darurat Demokrasi
Sejarah sering mencatat bahwa demokrasi runtuh bukan karena serangan dari luar, melainkan dari penyakit yang tumbuh di dalam tubuhnya sendiri. Hari ini, Indonesia sedang menyaksikan penyakit itu menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Demonstrasi yang meledak di berbagai kota—dari Jakarta hingga Makassar—bukan sekadar reaksi spontan atas satu peristiwa, melainkan puncak dari akumulasi kekecewaan publik terhadap Polri, DPR RI, dan kebijakan ekonomi pemerintah. Demokrasi kita, yang digadang sebagai warisan Reformasi, kini berada di ujung tanduk.
Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai kota Indonesia sejak Agustus 2025 menegaskan satu hal; ada jurang yang semakin dalam antara rakyat dan penguasa. Dari Pati, Jakarta, Yogyakarta, hingga Makassar, NTB, dan NTT, ribuan mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online (ojol), dan masyarakat sipil turun ke jalan memprotes kenaikan pajak, kebijakan represif aparat kepolisian, hingga kegagalan DPR RI dalam menjalankan fungsi representasi. Mereka membawa narasi kemarahan yang sama, yakni demokrasi sedang terancam berubah menjadi sekadar prosedur tanpa substansi.
Dan sepanjang tahun 2025, tragedi ojol yang meninggal akibat kelelahan bekerja di bawah tekanan sistem algoritmik platform hanya memperlihatkan wajah telanjang ketidakadilan struktural. Data Jaringan Advokasi Ojol Indonesia (JAOI) mencatat setidaknya 17 ojol meninggal akibat kecelakaan dan kelelahan ekstrim. Namun negara absen memberi perlindungan hukum, justru membiarkan pekerja digital ini menjadi “budak algoritma” yang tak punya jaminan kerja, asuransi kesehatan, atau hak berunding. Situasi ini memperlihatkan bahwa “demokrasi” Indonesia telah ditundukkan oleh logika pasar digital yang tidak terkendali, di mana manusia diperas habis oleh sistem yang menguntungkan segelintir elite korporasi.
Represi Aparat dan Krisis Legitimasi
Institusi kepolisian, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru tampil layaknya monster paling menakutkan dari negara. Tragedi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa, menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap Polri. Di mata rakyat, aparat bukan lagi pengayom, melainkan ancaman.
Kekerasan aparat dalam menangani aksi protes bukanlah anomali; ia adalah pola yang berulang. Dari kriminalisasi aktivis, pengawalan korporasi tambang, hingga penyiksaan di ruang-ruang tahanan, Polri telah menjelma sebagai instrumen kekuasaan yang kehilangan akal sehat demokratis. Anggaran raksasa yang terus digelontorkan negara ke tubuh kepolisian hanya memperkuat logika represif, bukan membangun keadilan.
Pada malam 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan—ojol berusia 21 tahun—tewas saat dilindas kendaraan taktis Brimob di tengah kerusuhan demo di sekitar gedung DPR RI. Video kejadian viral, memicu gelombang kemarahan nasional. Komnas HAM menyebut peristiwa ini sebagai extrajudicial killing, tindakan kriminal aparat yang sangat mencederai prinsip demokrasi. Protes pun meledak di berbagai kota dan kabupaten di Tanah Air, menandai lima hari demonstrasi masif yang meletus karena kemarahan atas brutalitas aparat dan tunjangan berlebihan legislatif. Mahasiswa bahkan berjanji akan berlanjut, memaksa Presiden Prabowo memerintahkan penyelidikan menyeluruh.
Dan situasi semakin memanas ketika “demonstran” membakar halte Transjakarta, beberapa kantor DPRD, dan menewaskan beberapa pegawai publik, bahkan terjadi kerusuhan di gerbang gedung DPR hingga Sabtu pagi. Affan bukan hanya korban represifitas–dia adalah wajah nyata ketimpangan ekonomi. Sebelum kecelakaan polisi itu, Gojek dan Grab telah memberikan dukungan penuh kepada keluarga Affan–dari ambulans hingga kompensasi–menunjukkan bahwa sistem yang membiarkan mereka hidup terancam kini malah gagal melindungi mereka secara institusional.
DPR dan Notaris Oligarki Parlemen
Sebelum tragedi itu, DPR RI telah menjadi pemicu krisis: tunjangan rumah anggota legislatif sebesar Rp 50 juta per bulan, hampir sepuluh kali UMP Jakarta, bocor ke publik. Meskipun kemudian diklaim sifatnya hanya untuk satu tahun (Okt 2024–Okt 2025), kontroversi tetap membara karena biaya substansial Rp 600 juta per anggota untuk lima tahun, dan tanpa mekanisme transparansi penggunaan dana. Wacana ini bertepatan dengan pemotongan anggaran daerah sebesar 25%–dari Rp 700 triliun menjadi Rp 650 triliun–oleh pemerintahan pusat. Putaran kebijakan ini dipicu untuk mendanai program seperti makan sekolah gratis, namun mendorong tingginya tarif pajak daerah.
Tidak mengherankan, Indonesia semakin hari semakin menampakkan wajahnya yang elitis. Robert Michels dalam iron law of oligarchy sudah lama mengingatkan bahwa setiap organisasi politik cenderung jatuh ke tangan segelintir elit yang memonopoli kekuasaan. Hari ini, itu terbukti. DPR RI yang seharusnya menjadi representasi rakyat justru menjadi “notaris oligarki,” yang lebih sibuk mengamankan kepentingan kelompok elite ketimbang memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Lihatlah bagaimana rancangan undang-undang kontroversial terus diproduksi–mulai dari revisi KUHP, UU Minerba, hingga UU Cipta Kerja, RUU TNI, semuanya lahir dalam suasana minim partisipasi rakyat, serba terburu-buru, bahkan kerap melanggar prinsip public deliberation. Di sisi lain, DPR RI terus menjadi simbol pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan, mereka justru sibuk mengesahkan undang-undang bermasalah–seperti halnya UU IKN hingga revisi aturan pajak yang kian mencekik. Menurut laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial (LPEM UI), beban pajak konsumtif rakyat naik hampir 12% dalam setahun terakhir, tanpa kompensasi perlindungan sosial yang memadai. Artinya, negara memaksa rakyat menanggung biaya pembangunan yang elitis, sementara oligarki pemilik modal menikmati insentif, tax holiday, dan berbagai bentuk kelonggaran.
Jalan ke Depan: Demokrasi Substantif
Demokrasi Indonesia benar-benar sedang berada di persimpangan yang genting. Di satu sisi, oligarki politik-ekonomi kian menguat dengan menjadikan DPR sekadar stempel kebijakan, Polri sebagai alat represi, dan instrumen pajak sebagai mesin ekstraksi sumber daya publik demi kepentingan elite. Mekanisme demokrasi yang semestinya menjamin akuntabilitas kini justru dipelintir menjadi instrumen kooptasi. Di sisi lain, masyarakat sipil mulai menunjukkan resistensi, meski masih sporadis dan terfragmentasi, untuk menolak dominasi yang melanggengkan ketidakadilan struktural.
Jika demokrasi terus direduksi menjadi sekadar pesta elektoral, maka jurang antara rakyat dan negara akan semakin melebar. Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang substantif–yang memastikan distribusi kekayaan lebih adil, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, aparat benar-benar menjadi pelindung rakyat, dan kebijakan publik disusun melalui partisipasi yang bermakna. Dan tugas besar gerakan rakyat hari ini adalah memperjuangkan demokrasi yang lebih dari sekadar prosedur. Demonstrasi yang marak bukanlah ancaman bagi bangsa, tetapi nafas kehidupan demokrasi itu sendiri.
Pertanyaan mendasarnya bukan lagi sekadar yang hendak “siapa berkuasa?” melainkan “untuk siapa demokrasi ini bekerja?” Jika demokrasi hanya melayani kepentingan sekelompok elite yang bersembunyi di balik jargon kedaulatan rakyat, maka ia tidak lebih dari tirai legitimasi bagi oligarki. Namun, bila keberanian rakyat di jalanan hari ini terus terorganisir, terakumulasi, dan bertransformasi menjadi kekuatan politik alternatif, maka sejarah mungkin akan mencatat momentum ini sebagai titik balik–ketika demokrasi Indonesia kembali menemukan ruhnya sebagai kedaulatan rakyat sejati.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
