Demokrasi yang Rapuh di Tengah Banjir Informasi
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital, belakangan kembali menegaskan rencananya untuk menekan platform media sosial seperti TikTok dan Meta agar lebih sigap mencabut konten berisi disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian. Niat ini lahir dari keresahan nyata, derasnya arus informasi di era digital tidak selalu memberi pencerahan, sering kali justru menghadirkan kekacauan. Hoaks politik menyebar tanpa kendali, fitnah personal merusak reputasi, dan provokasi berbasis SARA mengoyak kohesi sosial.
Namun, di balik tujuan mulia itu tersimpan pertanyaan mendasar: apakah aturan ini tidak berpotensi membungkam kritik terhadap pemerintah? Batas antara disinformasi dan kritik kerap begitu tipis, sehingga risiko salah tafsir selalu terbuka. Di sinilah letak dilema kebijakan sensor digital.
Padahal, sejak reformasi 1998, Indonesia berusaha keras membangun demokrasi yang lebih terbuka. Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi salah satu capaian utama. Media sosial lalu hadir memperluas ruang itu, memungkinkan warga biasa untuk berbicara lantang, mengkritik pemerintah, bahkan ikut serta mengawasi kebijakan. Banyak kasus yang awalnya luput dari perhatian publik akhirnya terbongkar lewat unggahan viral warganet. Mulai dari kasus pelayanan publik yang buruk, dugaan korupsi, hingga isu lingkungan, sering kali justru mendapat sorotan karena media sosial bekerja sebagai pengeras suara rakyat kecil.
Media Sosial sebagai Ruang Publik Baru
Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial menjelma sebagai ruang publik paling vital. Ia bukan sekadar wadah hiburan, melainkan kanal di mana warga bisa bersuara langsung tanpa perantara. Kritik kebijakan, keluhan pelayanan publik, hingga aksi solidaritas sosial sering berawal dari unggahan di Twitter, Instagram, atau TikTok. Fenomena ini seakan menegaskan kembali tesis Jürgen Habermas tentang ruang publik, masyarakat selalu mencari forum untuk berdiskusi dan mengekspresikan pandangan, dan saat ini forum itu bernama media sosial.
Tetapi, sifat cair media sosial juga membuka peluang penyalahgunaan. Hoaks lebih cepat menyebar daripada fakta, ujaran kebencian lebih memikat ketimbang argumen rasional. Meski begitu, solusi berupa sensor berlebihan bukanlah jawaban. Persoalan sesungguhnya terletak pada siapa yang memiliki kewenangan menentukan apakah suatu konten termasuk ujaran kebencian atau kritik sah.
Kita hidup di zaman yang sering disebut “post-truth”, masa ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih menentukan opini publik daripada fakta objektif. Algoritma media sosial memperkuat bias personal dan menciptakan ruang gema (echo chamber) yang membuat orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar.
Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai dunia simulacra, simbol dan representasi dianggap lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Hoaks politik adalah contoh gamblang meskipun palsu, ia nyata bekerja memengaruhi opini publik, bahkan hasil pemilu. Hannah Arendt jauh sebelum era digital sudah mengingatkan bahwa kebohongan politik adalah senjata klasik kekuasaan. Kini, dengan bantuan algoritma, kebohongan itu menjadi lebih cepat, masif, dan sulit dibendung.
Dalam tradisi demokrasi, kebebasan berpendapat bukan hanya hak individu, melainkan fondasi pencarian kebenaran. John Stuart Mill dalam On Liberty menegaskan, membungkam satu opini sama saja dengan merampas hak seluruh umat manusia. Alasannya sederhana: opini yang dibungkam bisa jadi benar, dan kalaupun salah, keberadaannya tetap penting untuk menguji kebenaran.
Hannah Arendt menambahkan, represi terhadap opini publik hanya akan melahirkan masyarakat penuh ketakutan. Sementara itu, konsep “marketplace of ideas” menekankan bahwa kebenaran lahir dari benturan berbagai ide, bukan dari narasi tunggal yang dipaksakan. Maka, ketika pemerintah merancang kebijakan pengetatan konten digital, persoalan ini bukan sekadar teknis, melainkan juga menyangkut fondasi etis demokrasi.
Kebijakan pengendalian konten digital menghadirkan dilema klasik, stabilitas versus kebebasan. Aturan yang terlalu ketat membuka pintu otoritarianisme digital. Kritik mudah dilabeli disinformasi, oposisi dituding penyebar hoaks. Sebaliknya, jika aturan terlalu longgar, masyarakat akan terus dihantam arus hoaks, polarisasi makin tajam, dan persatuan makin rapuh.
Kita seolah dihadapkan pada dua pilihan sulit, hidup dalam kekacauan informasi, atau hidup dalam ruang publik yang dikendalikan secara represif. Dua-duanya sama-sama berbahaya. Karena itu, yang dibutuhkan adalah jalan tengah.
Membangun Mekanisme yang Adil
Regulasi memang diperlukan, tetapi harus dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Kriteria apa yang dianggap disinformasi harus jelas, terbuka, dan bisa diawasi publik. Perusahaan media sosial tidak cukup hanya mengandalkan algoritma sebagai penyaring. Mereka perlu bekerja sama dengan akademisi, jurnalis independen, dan masyarakat sipil untuk menilai konten secara adil.
Selain itu, setiap pencabutan konten harus disertai alasan terbuka. Pemilik akun perlu diberi hak banding, sementara mekanisme pengawasan sebaiknya melibatkan lembaga independen agar tidak mudah diperalat untuk kepentingan politik. Tanpa itu, kebijakan ini berisiko berubah menjadi senjata kekuasaan untuk membungkam kritik.
Sensor saja tidak cukup. Tanpa literasi digital, masyarakat akan terus bergantung pada negara untuk memutuskan mana informasi benar dan mana yang salah. Padahal, tujuan utama demokrasi adalah melahirkan warga yang mampu berpikir kritis dan mandiri.
Literasi digital di sini bukan hanya soal membedakan berita palsu dan fakta, tetapi juga kemampuan mempertanyakan klaim, menguji sumber, dan membaca pola manipulasi. Dengan masyarakat yang kritis, arus informasi deras tidak lagi berbahaya, melainkan menjadi ruang belajar bersama.
Filsafat memberi banyak inspirasi untuk menghadapi dilema ini. Dari Socrates kita belajar pentingnya bertanya. Dari Mill kita belajar membela kebebasan berpendapat. Dari Foucault kita diajarkan untuk mencurigai relasi kuasa di balik klaim “kebenaran”. Semua itu menunjukkan bahwa kebenaran bukan barang jadi yang bisa ditetapkan sepihak, melainkan hasil dialog berkelanjutan di ruang publik.
Karena itu, solusi jangka panjang bukan sekadar menambah regulasi, melainkan menumbuhkan budaya kritis. Regulasi hanya berguna jika dilandasi kesadaran etis dan diawasi publik. Tanpa itu, kita berisiko masuk ke “gua Plato” yang baru—gua di mana bayangan yang kita lihat bukan lagi hoaks biasa, melainkan kebenaran yang sudah diformat oleh kekuasaan.
Pertanyaan mendasar yang perlu terus kita ajukan adalah: apakah negara hadir untuk melindungi warganya, atau justru membatasi mereka? Menghadapi disinformasi, pemerintah memang wajib bertindak. Tetapi jika upaya itu sampai menutup ruang kritik, maka ancaman yang lebih besar sedang menanti: lahirnya demokrasi yang hanya tinggal nama, tanpa substansi.
John Stuart Mill pernah mengingatkan bahwa “keheningan yang dipaksakan” adalah musuh terbesar kebenaran. Demokrasi sejati hanya bisa hidup jika rakyat berani bersuara, meskipun suaranya keras, sumbang, atau tidak nyaman bagi penguasa. Karena itu, kebijakan pengendalian konten harus dijalankan dengan hati-hati, transparan, dan akuntabel.
Pada akhirnya, kualitas demokrasi tidak diukur dari seberapa steril ruang digital dari ujaran kebencian, melainkan dari seberapa bebas rakyatnya berbicara tanpa rasa takut. Jika negara mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan dan kebebasan, maka ruang digital bisa tetap sehat tanpa kehilangan esensinya sebagai panggung kebebasan. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan demokrasi perlahan tereduksi menjadi sunyi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
