Kemarahan Publik dan Urgensi Integritas Elite

Ahmad Nurcholis
Oleh Ahmad Nurcholis
4 September 2025, 06:05
Ahmad Nurcholis
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Melihat eskalasi demonstrasi di berbagai wilayah, serta solidaritas yang muncul dari berbagai kalangan dapat dipastikan aksi ini bukan sekadar buntut propaganda. Meskipun beberapa orang mensinyalir aksi ini dijalankan oleh non-state actor (asing) untuk kepentingan tertentu. Gelombang demonstrasi yang terjadi merupakan luapan tak terbendung kemarahan publik. Di satu sisi akibat tontonan perilaku wakil rakyat yang tak pernah memihak, kesewenang-wenangan aparat, serta pengelolaan negara yang serampangan. Di sisi lain, rakyat selama bertahun-tahun mengalami penindasan dan kehidupan yang sulit. 

Kebencian yang diluapkan kepada dua institusi penting—Kepolisian dan DPR—di banyak tempat merupakan sinyal degradasi kepercayaan dan rasa muak atas kinerja terhadap mereka. Belum lagi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang menjerat rakyat. Aspek ini telah menjadi sumber petaka yang membuat massa semakin beringas. 

Situasi ketimpangan ekonomi berada dalam level darurat dan ekstrem. Reformasi 1998 belum dapat mewujudkan masyarakat yang makmur, adil, dan sentosa. Meskipun demokrasi hadir, tetapi hanya bersifat prosedural melalui pemilu rutin setiap lima tahun sekali. 

Kelas-kelas kaya yang mewarisi privilege masa lalu orba tetap bertahan. Sementara kelas menengah baru yang bermunculan belum memiliki fondasi ekonomi yang kuat. Ketimpangan dua kelas ini, ibarat bom waktu yang suatu saat bisa meletus kapan pun. Kelas menengah yang tersadarkan, terdidik karena sekolah dan tercerahkan lewat ragam wacana kritis di media sosial, akan terus menuntut akuntabilitas dan pengelolaan negara secara lebih transparan dan layak. 

Ketika pemerintah tidak bisa mewujudkan berbagai tuntutan itu, kelas menengah “rentan” yang mudah terdampak kebijakan negara itu, akan dengan mudah bangkit melawan. Perlawanan yang meletus di beberapa tempat beberapa hari belakangan ini dan tersebar di berbagai kota, tidak gampang terobati hanya dengan pernyataan retoris ala politisi. Kekecewaan kadung mendarah daging, emosi publik terlanjur menyembul di ubun-ubun. Semuanya tidak bisa disembuhkan hanya dengan janji-janji yang sering diingkari.

Biang Persoalan Bernegara Kita             

Lahirnya para politisi, birokrat, dan aparat busuk sekaligus nirempati memang bersumber dari hal paling fundamental dari cara kita bernegara. Kita tak akan pernah bisa menjadi bangsa yang besar jika politisi, birokrasi, polisi, dan tentara tidak memiliki pegangan ideologi yang menjunjung integritas dan melaksanakan fungsinya dengan penuh tanggung jawab. 

Unit negara yang berjalan tanpa ideologi yang jelas dan berpegang teguh pada nilai-nilai integritas di dalamnya, akan kehilangan arah. Alih alih bertugas sesuai amanat yang diembannya, ia akan linglung ke mana mesti melangkah. Sehingga banyak di antara mereka yang akhirnya terjerumus dan memanfaatkan posisi kekuasaan yang dipegang sebagai ajang kesempatan memperkaya diri.   

Maka itu, negara yang hanya menggembar-gemborkan ideologi bangsa Pancasila sebagai formalitas dan epistemik hafalan, serta sebagai agenda propaganda, maupun alat pembenaran sepihak pasti akan tergerus pragmatisme dan oportunisme kehidupan yang semakin kompetitif dan kompleks. Unit-unitnya dipastikan akan membusuk sebab hanya bekerja sesuai prinsip kepentingan sempit belaka. Mereka mengimani ideologi sebatas verbal, bukan sikap. Integritas kerap diabaikan karena mereka bertindak tanpa pegangan nilai. 

Padahal ideologi sejatinya merupakan nilai dan pegangan yang akan mengarahkan secara tegas tujuan bernegara dan membatasi perilaku aktor dan unit agar bersikap sesuai koridor nilai yang terkandung di dalamnya. Selama ini, ideologi yang kita yakini, masih sebatas formalitas nihil dalam aksi nyata. Tak heran jika pemerintah yang hanya menganggap ideologi sebagai interior belaka, tanpa mengamalkannya. 

Hal ini menyebabkan anomali bernegara bermunculan. Korupsi merajalela dari struktur hierarki pemerintah tertinggi hingga paling bawah. Dari institusi penegak hukum sampai lembaga agama, bahkan sampai institusi yang mengurus pendidikan warganya. Budaya korupsi telah menjadi semacam parasit yang akhirnya menjalar dan merusak cara bertindak dan berperilaku banyak aktor di banyak tempat. 

Juga tak heran, negara yang jauh dari nilai-nilai ideologis akan diisi oleh wakil rakyat, pejabat-pejabat, dan aparat pemerintahan yang hedon dan pongah. Kekuasaan dipandang sebagai simbol kejumawaan. Makanya hedonisme elite saat ini terang-terangan diperlihatkan tanpa memperhatikan rasa empati dan simpati. Juga kepongahan birokrat dan aparat, yang sekarang marak dipertunjukkan, seolah-olah mereka bukanlah pelayan rakyat namun majikan yang harus dihormati. 

Sekali lagi, semua itu terjadi karena unit-unit di dalam struktur negara, khususnya para politisi kita, tidak muncul dan terlatih dari pendadaran ideologis yang mendalam dan mengakar. Politisi dan pejabat publik kita muncul dari proses transaksional yang instan sehingga tidak memiliki kewajiban bertanggung jawab dan rasa akuntabilitas kepada rakyat (Hasyim Muhammad, 2025). 

Tanggung jawab mereka bertumpu pada modal yang mereka keluarkan, bukan pada misi dan janji  yang mereka usung. Politisi kita dipilih melalui pasar demokrasi yang mahal, sebuah mekanisme kotor yang terus bertahan semenjak Reformasi 1998. Suara rakyat dibanderol dengan harga, bukan dengan pendidikan politik. 

Semakin hari semakin mahal harga suara yang ditetapkan, mengikuti tingkat inflasi ekonomi nasional. Lingkaran setan ini tak pernah berakhir sebab partai telah menganggapnya sebagai sebuah kelaziman. Institusi kepemiluan tak kuasa memberikan sanksi tegas sebab mereka dipilih oleh para wakil partai di parlemen. Ada semacam balas jasa dalam mekanisme seperti itu. 

Makanya, selama pertarungan partai tidak memuat sisi ideologis yang jelas, dan partai-partai tidak berbenah untuk mewujudkan diri sebagai pengejawantahan unit ideologis yang lebih khas dari konstitusi, sampai kapan pun praktik pasar-demokrasi dengan pembanderolan harga suara rakyat saat pemilu akan tetap berlangsung. 

Coba lihat partai-partai yang ada saat ini, apa yang membuat mereka berbeda dari yang lainnya? Tidak ada. Semuanya berjalan berdasarkan logika pasar-demokrasi tanpa garis kebijakan ideologis khas yang paten. Tak heran jika akhirnya suksesi kepemimpinan partai hanya terhenti di sekitar orang-orang kuat bermodal besar, bukan dari pertarungan para ideolog di internal partai. Atau terhenti pada sosok yang mewarisi kekuatan orang tuanya. 

Begitu pun kaderisasi partai. Kader-kader bercorak pengusaha dan artis-artis besar muncul secara instan tanpa melalui pendidikan ideologi partai, yang ditempa melalui pendisiplinan bertahun-tahun. Suara mereka penting sebab modal dan popularitas aktor bisa mendongkrak suara partai tanpa harus bersusah payah melakukan kerja-kerja pengorganisasian pendidikan politik masyarakat.    

Makanya ketika partai gagal mewujud sebagai unit ideologis dalam proses bernegara, pengaruhnya juga terasa dalam wajah birokrasi dan manajerial pemerintahan. Paradoks ini tampak dalam proses perekrutan petinggi birokrasi, polisi, dan tentara yang masih didominasi oleh intrik-intrik permainan belakang meja ketimbang mengedepankan asas meritokrasi dan profesionalisme. Semuanya dinilai berdasarkan jasa politik. Bahkan parahnya lagi, praktik-praktik transaksional perekrutan anggota di tingkat bawah diduga masih mewarnai proses di dalamnya.  

Proses bernegara yang berjalan tanpa nilai, tanpa ideologi, dan hanya mengedepankan pertarungan modal dan bersifat transaksional seperti itu pada akhirnya telah menghasilkan politisi, birokrat, polisi, dan tentara yang pongah dan jumawa. Mereka jauh dari misi kerakyatan. Pengabdian mereka adalah pengabdian pada para tuannya yang telah memberikan posisi dan jabatan. Tugas mereka hanya satu, bagaimana melindungi tuannya dan bagaimana caranya mempertahankan kekuasaan saat ini agar terus lestari.  

Sekali lagi, mereka tidak akan berempati kepada rakyat sebab mereka merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk itu. Rasa akuntabilitas masing-masing ditujukan pada apa yang telah mereka keluarkan sebagai kapital, baik berbentuk modal maupun kedekatan. Tak aneh jika kemudian di era ini—27 tahun setelah Reformasi—wajah birokrat dan pejabat, serta politisi diisi oleh orang-orang yang abai kepada rakyatnya.  

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ahmad Nurcholis
Ahmad Nurcholis
Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...