Seyogianya Yogyakarta: Refleksi 269 Tahun Kota Pelajar
Tanggal 7 Oktober 2025 lalu, pada usianya yang menginjak 269 tahun, Yogyakarta kembali merayakan dirinya. Sebuah perayaan atas sejarah panjang yang terukir, atas denyut kebudayaan yang tak pernah padam, dan atas sebuah citra yang begitu melekat di benak bangsa: “Kota Pelajar”.
Predikat ini adalah sebuah lencana kehormatan, sebuah magnet yang menarik jutaan insan dari seluruh penjuru negeri untuk datang, menimba ilmu, dan merajut asa. Namun, di tengah gemerlap perayaan dan kebanggaan atas identitas intelektualnya, tersembunyi sebuah ironi yang semakin hari semakin sulit untuk diabaikan. Di balik fasad kota para cendekia, teronggok gunungan masalah yang menusuk nalar: darurat sampah yang mencekik ruang hidup dan upah minimum yang terasa mencekik leher warganya.
Maka, momentum ulang tahun ini seyogianya tidak hanya menjadi ajang nostalgia, tetapi juga sebuah titik tolak untuk refleksi kritis. Saya berpendapat bahwa sudah tidak cukup lagi bagi Yogyakarta untuk sekadar berpuas diri dengan status sebagai Kota Pelajar. Tantangan zaman menuntut sebuah evolusi fundamental.
Untuk itu, saya mengusulkan sebuah pembingkaian ulang identitas dari entitas yang pasif (tempat para pelajar) menjadi sebuah organisme yang aktif dan adaptif: sebuah “Kota yang Terus Belajar” (Learning City).
Transformasi ini bukanlah sekadar permainan kata atau latihan penjenamaan kota. Ia adalah sebuah keniscayaan, sebuah prasyarat mutlak agar Yogyakarta dapat belajar mengenali, mengakui, dan pada akhirnya menyelesaikan masalah masalah mendasarnya, sehingga ia dapat menjadi kota yang “seyogianya”: sebuah ruang hidup yang adil, lestari, dan bermartabat bagi semua warganya.
Selama puluhan tahun, citra Kota Pelajar telah menjadi fondasi identitas Yogyakarta. Citra ini dibangun di atas kehadiran puluhan perguruan tinggi dan ribuan sekolah yang menjadikannya sebagai kawah candradimuka pendidikan nasional. Akan tetapi, pemaknaan yang terlalu sempit terhadap identitas ini justru bisa melahirkan jebakan komparasi. Yogyakarta menjadi hebat karena ada banyak pelajar, bukan karena kota itu sendiri adalah sebuah entitas pembelajar.
Padahal, jika kita amati lebih dalam, fenomena pendidikan di DIY sesungguhnya telah berevolusi melampaui sekat sekat sektor formal. Telah tercipta sebuah ekosistem pembelajaran yang holistik, di mana institusi formal seperti kampus dan pemerintah berdialektika dengan komunitas historis ideologis seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah, serta ribuan komunitas kreatif dan hobi yang tumbuh subur. Potensi ekosistem inilah yang menjadi modal dasar untuk menjadi sebuah Kota Pembelajar, namun potensi ini belum tergarap secara optimal untuk memecahkan persoalan riil di depan mata.
Kegagapan dalam belajar ini terpampang paling nyata dalam krisis pengelolaan sampah. Selama bertahun tahun, Yogyakarta hidup di bawah bayang bayang gunungan sampah di TPA Piyungan. Masalah ini bukanlah bencana yang datang tiba tiba, melainkan akumulasi dari kegagalan sistemik, penundaan kebijakan, dan kurangnya inovasi selama bertahun tahun. (Baca: Fenomena Maraknya Kejahatan ‘Klitih’ di Yogyakarta)
Puncaknya pada pertengahan 2023, ketika TPA Piyungan ditutup dan Yogyakarta dinyatakan memasuki fase darurat sampah. Tumpukan sampah yang mengular di depo-depo sementara dan bahkan meluber hingga ke jalanan menjadi tamparan keras bagi sebuah kota yang membanggakan predikat intelektualnya. Bagaimana mungkin sebuah kota yang menjadi rumah bagi ribuan pakar lingkungan, perencana kota, dan insinyur, bisa lumpuh oleh masalah sampah?
Persoalan kedua yang menguji kemampuan belajar Yogyakarta adalah paradoks kesejahteraan. Yogyakarta adalah kota yang kaya akan sumber daya manusia, kreativitas, dan gagasan, namun secara konsisten menempati posisi sebagai salah satu provinsi dengan Upah Minimum Regional (UMR) terendah di Indonesia.
Ini adalah sebuah anomali yang menyakitkan. Sebuah kota yang mengundang talenta terbaik bangsa untuk belajar dan berkarya, justru memberikan apresiasi ekonomi yang paling minimal. Akibatnya, banyak lulusan terbaik yang terpaksa hijrah ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih layak, menciptakan sebuah ironi “brain drain” di jantung kota pendidikan.
UMR yang rendah bukanlah sekadar angka statistik. Ia adalah cerminan dari sebuah model ekonomi yang belum belajar untuk beradaptasi. Sebuah Kota Pembelajar akan secara kritis mengevaluasi dampak sosial dari kebijakan upahnya. Ia akan belajar dari keluhan warganya, dari data tentang biaya hidup yang terus meroket, dan dari model ekonomi kota kota lain yang berhasil memadukan kreativitas dengan kesejahteraan.
Terus menerus berlindung di balik argumen “biaya hidup murah” tanpa melihat realitas di lapangan adalah bentuk penolakan untuk belajar. Ini adalah sebuah kegagalan imajinasi kolektif untuk merancang sebuah model kemakmuran yang lebih inklusif dan adil, yang tidak hanya menguntungkan pemilik modal tetapi juga para pekerja yang menjadi motor penggerak kreativitas kota.
Maka, jalan ke depan bagi Yogyakarta di usianya yang ke-269 adalah dengan secara sadar dan terencana merengkuh identitas sebagai Kota Pembelajar. Ini bukan tugas pemerintah semata, melainkan sebuah gerakan bersama. Konsep Kota Pembelajar ini mensyaratkan adanya dialektika antara policy learning (pembelajaran kebijakan oleh pemerintah) dan civic learning (pembelajaran kewargaan oleh warga). Pemerintah harus membuka diri, belajar dari kegagalan, dan mau mendengar pengetahuan yang tumbuh di masyarakat.
Di sisi lain, warga, yang terorganisir dalam berbagai komunitas, harus terus belajar untuk berpartisipasi, mengkritik secara konstruktif, dan menawarkan solusi dari bawah. Dana Keistimewaan, misalnya, dapat diarahkan tidak hanya untuk preservasi budaya yang statis, tetapi sebagai bahan bakar untuk menstimulasi inovasi dan eksperimen sosial yang menjadi ciri sebuah ekosistem pembelajaran yang hidup.
Pada akhirnya, ulang tahun adalah tentang menatap masa depan. Yogyakarta tidak bisa selamanya hidup dari kejayaan masa lalu dan romantisme citra Kota Pelajar. Untuk menghadapi tantangan nyata seperti sampah dan ketimpangan kesejahteraan, ia harus membuktikan bahwa ia juga merupakan sebuah kota yang cerdas, adaptif, dan berani untuk terus belajar.
Hanya dengan menjadi sebuah Kota Pembelajar, di mana setiap elemen masyarakatnya adalah murid sekaligus guru, Yogyakarta dapat benar benar tumbuh menjadi kota yang seyogyanya: sebuah ruang hidup yang tidak hanya nyaman untuk ditinggali, tetapi juga adil untuk diperjuangkan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
