Menagih Janji Perbaikan Nasib Pekerja Gig
Sebuah langkah besar terjadi di sektor ekonomi digital Asia Tenggara, tetapi nyaris luput dari perhatian publik Indonesia. Malaysia mengesahkan Undang-Undang Pekerja Gig 2025 pada Agustus yang lalu, memberi pengakuan hukum dan perlindungan sosial bagi lebih dari 1,2 juta pekerja digital lepas. Langkah ini bukan sekadar kebijakan ketenagakerjaan baru, melainkan tonggak penting yang mengubah cara negara memperlakukan para pengemudi, kurir, dan pekerja digital independen.
Sementara itu, Indonesia masih berjalan di tempat tanpa kemajuan berarti. Di jalanan, jutaan pengemudi ojek daring dan kurir pengantaran terus menghadapi risiko tinggi, jam kerja panjang, dan pendapatan yang tidak pasti. Banyak yang kehilangan penghasilan secara tiba-tiba karena akun ditangguhkan sepihak tanpa alasan maupun mekanisme banding yang jelas. Riset LPEM FEB UI (2024) mencatat sekitar 1,23 juta pekerja gig di sektor transportasi bekerja rata-rata 54 jam per minggu dengan pendapatan sekitar Rp3,05 juta per bulan, jauh di bawah standar upah layak di kota besar. Padahal, kontribusi mereka terhadap ekonomi digital mencapai miliaran dolar setiap tahun. Namun posisi hukum mereka tetap menggantung, tidak diakui sebagai pekerja, tetapi juga tidak sepenuhnya mandiri.
Fenomena ini menunjukkan paradoks dari apa yang disebut oleh sosiolog Guy Standing (2011) sebagai the precariat, kelas pekerja baru yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa jaminan kerja, pendapatan, atau status hukum yang jelas. Dalam konteks ekonomi digital, “kemandirian” pekerja gig sering kali hanya bersifat semu karena platform mengendalikan algoritma, insentif, hingga akses kerja. Ketimpangan relasi kuasa ini membuat mereka berada di wilayah abu-abu antara pekerja formal dan informal, sebagaimana juga diakui dalam laporan ILO World Employment and Social Outlook 2021, yang menyoroti risiko eksploitasi di ekonomi berbasis platform.
Sebagai contoh pekerja gig di platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan InDriver yang selama ini mengategorikan pengemudi sebagai “mitra”, bukan pekerja. Model ini memang memberi fleksibilitas, tetapi juga menghapus tanggung jawab perusahaan terhadap upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan kerja. Laporan Fairwork Indonesia (2021) menunjukkan sebagian besar platform gagal memenuhi lima prinsip kerja layak mulai dari upah adil, kondisi aman, kontrak transparan, representasi pekerja, hingga kebijakan yang akuntabel. Program inisiatif seperti swadaya atau benefits yang membantu akses BPJS memang patut diapresiasi, tetapi bersifat sukarela dan tidak menjamin keberlanjutan. Sebagian besar pengemudi bekerja lebih dari sepuluh jam per hari tanpa kepastian penghasilan minimum, sebuah bukti bahwa model kemitraan yang ada menyisakan celah besar dalam perlindungan.
Realitasnya, pekerjaan gig bukan lagi pilihan sementara. Menurut Bank Dunia (2024), pekerja gig menyumbang sekitar 6-7% tenaga kerja informal Indonesia, namun 60% kesulitan memenuhi kebutuhan dasar dan hanya sepertiga yang mampu menabung secara rutin. Tanpa perlindungan hukum, pekerjaan gig akan terus menjadi jebakan, fleksibel di permukaan, tetapi rapuh dalam kenyataan.
Pada Agustus 2025, Parlemen Malaysia mengesahkan Gig Workers Act 2025, yang oleh Perdana Menteri Anwar Ibrahim disebut sebagai “hadiah bagi generasi muda.” Undang-undang ini menjamin kontrak kerja tertulis, perlindungan sosial melalui Social Security Organization (SOCSO), perlindungan dari pemutusan akun sepihak, serta keterwakilan pekerja dalam dewan upah tripartit. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi OECD Employment Outlook 2023, yang menekankan pentingnya hybrid labour frameworks untuk menutup kesenjangan perlindungan antara pekerja tetap dan pekerja platform.
Sementara itu, Indonesia dengan lebih dari empat juta pekerja gig belum memiliki satu pun payung hukum yang jelas. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli bersama DPR seharusnya menjadikan isu ini sebagai prioritas nasional yang mendesak. Kementerian Ketenagakerjaan tidak bisa lagi bersembunyi di balik diksi “kajian lintas kementerian” atau “koordinasi antarlembaga.” Sudah terlalu lama pekerja gig diperlakukan sebagai statistik, bukan warga negara yang berhak atas perlindungan. Dalam konteks kepemimpinan baru, publik menanti langkah nyata Menteri Yassierli untuk menunjukkan bahwa keberpihakan pemerintah pada pekerja bukan sekadar retorika. Tanpa dasar hukum yang tegas, jutaan pekerja akan terus hidup dalam ketidakpastian, tanpa perlindungan sosial yang memadai.
Pemerintah perlu segera membangun kerangka hukum progresif yang mengakui pekerja gig sebagai kategori tenaga kerja tersendiri dengan hak, kewajiban, dan perlindungan yang proporsional. Langkah awal dapat dimulai dengan mengatur kontrak standar antara platform dan pekerja, mewajibkan kontribusi bersama untuk BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, melarang pemutusan akun sepihak tanpa alasan jelas, serta menyediakan mekanisme banding independen. Pemerintah juga perlu membentuk forum perundingan tripartit antara Pemerintah, platform, dan perwakilan pekerja, serta mendirikan mekanisme penyelesaian sengketa di bawah Kementerian Ketenagakerjaan.
Kebijakan semacam ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga soal stabilitas ekonomi digital jangka panjang. Ekosistem digital yang sehat membutuhkan kepercayaan dan kepastian hukum, bukan sekadar inovasi teknologi. Malaysia telah membuktikan bahwa perlindungan bagi pekerja gig dapat berjalan seiring dengan pertumbuhan inovasi. Jika Malaysia mampu memformalkan 1,2 juta pekerja gig, apa alasan Indonesia untuk terus menunda? Pemerintah memiliki mandat dan preseden regional untuk bertindak berani. Penundaan hanya akan memperlebar ketimpangan dan memperdalam krisis kepercayaan.
Sudah saatnya pemerintah beralih dari retorika ke aksi nyata. Pekerja gig tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan pengakuan, perlindungan, dan kesempatan untuk hidup dengan aman serta bermartabat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
