Reformasi Pendanaan Iklim Kunci Keadilan Ekologis dan Sosial
Dunia tengah berpacu dengan waktu. Sejak Paris Agreement ditandatangani pada 2015, harapan besar muncul bahwa akan terbentuk mekanisme pendanaan iklim yang adil, transparan, dan efektif. Kesepakatan global untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C sebelum praindustri, seharusnya menjadi momentum perubahan besar dalam cara dunia mengelola sumber daya keuangannya.
Namun, setelah satu dekade, jurang antara janji dan realisasi justru makin lebar. Bagi Indonesia, negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, gagalnya reformasi pendanaan ini bukan sekadar isu lingkungan. Ini adalah persoalan keadilan sosial, kedaulatan ekologis, dan masa depan pembangunan nasional.
Pada Konferensi Iklim di Kopenhagen tahun 2009, negara-negara maju berjanji menyalurkan sedikitnya US$100 miliar setiap tahun untuk membantu negara berkembang menghadapi krisis iklim. Janji itu diabadikan dalam Paris Agreement dengan target pencapaian pada 2020. Hingga kini, jelang konferensi iklim COP 30 di Belem, Brasil pada 10-21 November 2025 mendatang, janji tersebut tak pernah benar-benar ditepati.
Sebagian besar dana yang terealisasi berbentuk pinjaman, bukan hibah, sehingga justru menambah beban fiskal negara-negara paling rentan. Lebih ironis, kurang dari 10% dana benar-benar sampai ke masyarakat adat dan komunitas lokal—penjaga hutan, laut, dan ekosistem dunia.
Pada Konferensi Iklim PBB COP29 di Baku Azerbaijan tahun 2024, negara-negara kembali sepakat menaikkan target pendanaan iklim global menjadi US$300 miliar per tahun pada 2035. Angka ini tampak menggembirakan. Tetapi peningkatan nominal tak akan berarti tanpa perubahan cara kerja. Jika tata kelola pendanaan masih dikuasai lembaga donor, korporasi besar, dan mekanisme pasar yang eksklusif, maka krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi (triple planetary crisis) tak berhenti bergerak semakin parah.
Selama ini, pendanaan iklim dan keanekaragaman hayati berjalan terpisah. Padahal keduanya lahir dari Konvensi Rio 1992 dan saling bergantung satu sama lain. Pendanaan iklim yang berfokus pada penurunan emisi karbon sering menimbulkan masalah baru di lapangan. Proyek “hijau” seperti bioenergy plantation, co-firing biomassa, atau carbon offset kerap memicu deforestasi, merusak habitat, dan menggusur masyarakat adat dari tanah leluhurnya. Mekanisme pasar seperti perdagangan karbon yang tercantum dalam Article 6 Paris Agreement sering dipuji sebagai solusi inovatif. Padahal, banyak skema justru menjadi ruang baru bagi greenwashing—klaim hijau palsu.
Sebaliknya, proyek konservasi keanekaragaman hayati kerap diabaikan dalam kebijakan adaptasi iklim. Akibatnya, dua agenda ini berjalan sendiri-sendiri dan kehilangan efektivitas.
Padahal perubahan iklim mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati, sementara hilangnya keanekaragaman hayati memperburuk iklim. Karena itu, integrasi antara Nationally Determined Contributions (NDC), National Adaptation Plan (NAP), dan Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) menjadi sangat penting agar kebijakan dan pendanaan saling memperkuat, bukan saling meniadakan.
Dalam konteks pendanaan karbon, mekanisme internasional juga terus berevolusi. Pada era Protokol Kyoto, dikenal Clean Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan negara maju membiayai proyek pengurangan emisi di negara berkembang untuk mendapatkan kredit karbon. Fokusnya berbasis proyek—seperti instalasi energi terbarukan atau efisiensi industri—dan menghasilkan Certified Emission Reductions (CER). Namun, karena berorientasi proyek individual dan teknokratis, CDM sering mengabaikan konteks sosial dan ekologi di lapangan.
Sebagai pembelajaran, muncul gagasan baru seperti Reversing Deforestation Mechanism (RDM), yang memberikan insentif bagi yurisdiksi—misalnya negara atau provinsi—untuk memulihkan hutan dan mengurangi emisi dari deforestasi melalui sistem pembayaran berbasis hasil. Tidak seperti CDM yang berbasis proyek, RDM mengukur keberhasilan dari penurunan emisi bersih di seluruh wilayah, dengan pembayaran didasarkan pada karbon yang benar-benar dipulihkan. Mekanisme ini sejalan dengan skema Tropical Forest Forever Facility (TFFF)—usulan Brazil yang akan meluncur pada COP 30 pada 10 November—yang berfokus menjaga hektare hutan yang masih tegak, dengan estimasi potensi penerimaan hingga US$5 miliar per tahun. Bila RDM diterapkan penuh, potensi pembiayaan global bahkan dapat mencapai US$100 miliar, dengan harga karbon sekitar US$50 per ton CO₂.
Berbeda dengan mekanisme pasar karbon tradisional, model seperti RDM dan TFFF membuka peluang baru untuk menghubungkan pembiayaan iklim dengan perlindungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Namun, keberhasilan pendekatan ini bergantung pada penerapan prinsip tata kelola yang baik dan inklusivitas: bagaimana hak masyarakat adat, kepemilikan lahan, dan keadilan distribusi manfaat dijamin dalam pelaksanaannya.
Petani dan Nelayan Paling Terdampak
Di Indonesia, kenaikan suhu satu derajat Celcius telah menurunkan produktivitas padi tadah hujan hingga 14%. Dalam lima dekade terakhir, 40% hutan alam hilang, 70% terumbu karang rusak, dan jutaan masyarakat pesisir kehilangan penghidupan. Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim meningkat dari Rp102,3 triliun pada 2020 menjadi Rp115,4 triliun pada 2024.
Di balik angka itu ada petani, nelayan, masyarakat adat, warga lokal dan masyarakat rentan seperti perempuan, anak, lansia dan warga disabilitas yang paling terdampak, tetapi paling sedikit menikmati manfaat pendanaan iklim. Ironisnya, kebijakan nasional masih sarat proyek ekstraktif seperti tambang nikel di kawasan sensitif dan food estate yang membuka hutan. Skema global pun sering memperkuat pola ketimpangan serupa, mendukung proyek besar berlabel “hijau” tanpa menjamin hak dan partisipasi masyarakat.
Proyek carbon offset kerap dilakukan di atas tanah adat tanpa Free, Prior and Informed Consent (FPIC), menimbulkan konflik sosial, dan mengorbankan hak masyarakat demi kepentingan korporasi. Begitu pula proyek Carbon Capture and Storage (CCS) yang lebih memperpanjang umur industri fosil ketimbang menurunkan emisi secara riil.
Sebaliknya, pendekatan non-pasar dan berbasis masyarakat terbukti lebih adil, dan berkelanjutan. Wilayah adat seperti Tana Ulen di Kalimantan dan Leuweung Titipan di Jawa Barat menunjukkan bagaimana kearifan lokal mampu menjaga hutan, keanekaragaman hayati, dan serapan karbon sekaligus.
Hingga Agustus 2025, tercatat 33,6 juta hektare wilayah adat terdokumentasi di Indonesia, 23 juta hektare di antaranya merupakan kawasan konservasi komunitas atau Indigenous and Community Conserved Areas (ICCAs). Sayangnya, sekitar 7,3 juta hektare masih tumpang tindih dengan izin tambang dan proyek ekstraktif. Tanpa pengakuan hukum yang kuat, capaian ini bisa hilang.
Reformasi pendanaan iklim harus dimulai dengan mengubah logika dasarnya. Selama ini, sistem pendanaan global terlalu teknokratis, berorientasi proyek jangka pendek, dan dikendalikan oleh lembaga donor yang menentukan prioritas berdasarkan kepentingannya. Pendekatan ini menjauhkan pendanaan dari akar masalah dan dari masyarakat terdampak.
Pendanaan iklim harus beralih pada logika berbasis hak. Artinya, dana harus memastikan akses langsung bagi masyarakat adat, komunitas lokal, perempuan, dan generasi muda untuk merancang dan mengelola program sendiri. Instrumen global seperti Loss and Damage Fund, New Collective Quantified Goal (NCQG), Global Biodiversity Framework Fund (GBFF), dan Tropical Forest Forever Facility (TFFF) hanya akan bermakna jika dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi penuh. Dengan cara ini, pendanaan iklim bisa menjadi alat perubahan sosial, bukan sekadar kosmetik hijau.
Konferensi Iklim COP 30 di Belem, Brasil, tahun ini akan menjadi ujian penting: apakah target US$300 miliar per tahun akan benar-benar membawa keadilan, atau sekadar janji baru di meja konferensi. Indonesia memiliki posisi strategis untuk memimpin arah baru ini. Sebagai negara kepulauan mega-biodiversitas hutan tropis, gambut, mangrove, dan padang lamun yang kaya karbon, Indonesia berpotensi menjadi pelopor integrasi kebijakan iklim dan keanekaragaman hayati.
Namun kepemimpinan itu harus dimulai dari rumah: mengesahkan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat, menghentikan deforestasi, meninjau ulang izin ekstraktif di kawasan bernilai ekologis dan keanekaragaman hayati tinggi, serta memastikan sinergi antara NDC, NAP, dan IBSAP. Pendanaan publik di luar skema karbon juga harus diperkuat, dengan menempatkan masyarakat sebagai pusat solusi.
Jawaban atas krisis iklim tak akan datang dari ruang rapat di konferensi internasional, melainkan dari aksi komunitas yang selama ini menjaga bumi. Masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, dan pemuda telah berbuat banyak tanpa dukungan dana besar. Mereka adalah garda depan keadilan iklim yang sesungguhnya.
Dunia membutuhkan keberanian untuk mengubah struktur yang sangat timpang ini. Pendanaan iklim yang adil bukan hanya soal uang, tapi soal hak, martabat, dan masa depan bagi manusia dan alam yang selama ini disisihkan. The answer is us, alias jawabannya ada di kita sendiri—bagaimana kita memilih menyelamatkan bumi bukan hanya menyelamatkan kepentingan sekelompok manusia yang hanya peduli pada diri sendiri.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
