Tantangan Siak Menyeimbangkan Sawit dan Ekologi
Adalah realita bahwa masyarakat Kabupaten Siak, Provinsi Riau dalam keseharian banyak bertumpu pada kebun sawit. Sawit menjadi sumber pendapatan utama bagi banyak masyarakat dan tulang punggung ekonomi daerah. Tak heran bila dibandingkan dengan kabupaten lain di provinsi Riau, pertumbuhan ekonomi Siak lebih tinggi. Pada triwulan II-2025 tercatat sebesar 5,85%, sedangkan rata-rata provinsi yang berada di angka 4,59%. Namun, keberadaan perkebunan sawit juga menuntut perhatian serius terhadap kelestarian lingkungan, keadilan bagi petani, dan diversifikasi ekonomi.
Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Siak, total tutupan perkebunan sawit di wilayah ini mencapai 328.872,68 hektare, sekitar 220.974 hektare di antaranya dikelola oleh petani rakyat dengan jumlah petani mencapai 108.036 kepala keluarga. Sektor ini menjadi motor utama perekonomian lokal: membuka kesempatan kerja, menggerakkan roda ekonomi kampung, dan memperkuat pendapatan petani.
Namun keunggulan ini juga membawa kerentanan. Ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap sawit membuat ekonomi daerah rentan terhadap fluktuasi harga global minyak mentah (CPO), ketergantungan tersebut juga membuat diversifikasi ekonomi lokal berjalan lambat. Di sisi lingkungan, terdapat fakta yang tidak bisa diabaikan, hampir 20.000 hektare kebun sawit di Siak ternyata berada di kawasan hutan, termasuk hutan gambut. Seluas 10.883 hektare di antaranya adalah milik perusahaan dan 9.513 hektare sisanya milik masyarakat.
Siak adalah kabupaten dengan lahan gambut terbesar di Pulau Sumatra. Lebih dari separuh (57%) kawasan Siak berupa gambut, yaitu seluas 479.485 hektare. Perluasan perkebunan di lahan gambut dan kawasan bernilai konservasi tinggi tentu berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem dan bertentangan dengan komitmen daerah terhadap program Siak Hijau yang telah dicanangkan sejak 2016 dan pengendalian emisi karbon.
Perluasan perkebunan banyak berujung kepada konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan. Dari 133 kampung dan kelurahan di Siak, sekitar 90 kampung berada di wilayah yang memiliki potensi atau riwayat konflik lahan, baik dengan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha maupun dengan kawasan izin Hutan Tanaman Industri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tata kelola perizinan dan kejelasan hak kelola masyarakat masih menjadi pekerjaan besar. Belum lagi masalah kelemahan dalam pengawasan dan praktik lingkungan perkebunan, seperti pencemaran air, penurunan kesuburan tanah, serta belum optimalnya penerapan prinsip-prinsip sawit berkelanjutan oleh sebagian pelaku usaha.
Langkah Menuju Sawit yang Adil dan Lestari
Mewujudkan keseimbangan antara ekonomi sawit dan kelestarian ekologi bukan perkara sederhana. Siak punya target tinggi, antara lain Indeks Ekonomi Hijau sebesar 58,81%, Indeks Ketahanan Pangan sebesar 82,24%, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan mencapai 79,12% pada 2029.
Untuk mencapainya, Siak menerapkan instrumen insentif dan disinsentif berbasis ekologi atau Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) yang mendorong praktik perkebunan yang ramah lingkungan dan berpihak pada masyarakat desa.
TAKE merupakan bagian dari visi besar Siak untuk menjaga kualitas lingkungan hidup dan mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan, terutama di kawasan gambut, sesuai dengan misi pembangunan 2021-2026. Menjadikan kampung sebagai ujung tombak dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan. Penerima dana TAKE di Siak meningkat dari 68 pada 2024 menjadi 92 kampung pada 2025, dengan anggaran mencapai Rp1,71 miliar.
Cara lain adalah memperkuat akses dan hak kelola masyarakat atas tanah dan hutan melalui skema perhutanan sosial dan redistribusi tanah yang berkeadilan. Pada 2024, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan Menteri Nomor 617 tentang Penetapan Perubahan Batas Kawasan Hutan atau SK Biru untuk sawit rakyat Rantau Bertuah, Minas, Siak. SK biru tersebut memberi landasan hukum bagi petani sawit kecil di Desa Rantau Bertuah. Mereka telah menggarap lahan lebih dari 20 tahun dan tidak lebih dari 2 hektare per kepala keluarga. Ini merupakan SK Biru pertama di Indonesia.
Tahun ini, Kelompok Tani Hutan (KTH) Berkah Lestari di Kampung Tasik Betung, Kecamatan Sungai Mandau juga telah mengusulkan permohonan pengelolaan perhutanan sosial ke Kementerian Kehutanan seluas 1.010 hektare yang dikelola oleh 109 kepala keluarga, yang telah diverifikasi pusat.
Strategi lainnya, yaitu mendorong diversifikasi ekonomi desa, agar sumber pendapatan masyarakat tidak hanya bergantung pada sawit. Siak memiliki beragam potensi, dengan sektor perkebunan, pulp and paper, hingga konsesi hutan menjadi penopang perekonomian. Sekitar separuh dari luas wilayah Siak merupakan area penggunaan lain serta hutan produksi. Namun, meski mengandalkan sumber daya alam, cita-cita mewujudkan pembangunan yang adil, hijau, dan berkelanjutan tetap berlangsung. Ini dikukuhkan sejak 2016 ketika Siak mendeklarasikan Siak Hijau yang telah dituangkan dalam Peraturan Bupati untuk Kabupaten Hijau dan implementasi visi ekonomi lestari.
Siak memiliki potensi besar dalam sektor pertanian dan perkebunan seperti padi, jagung, ubi, sawit, karet, dan kelapa. Termasuk juga potensi energi baru terbarukan seperti biomassa sawit, PLTS, dan carbon trading. Untuk petani, ada rencana memberikan kredit murah bagi pelaku UMKM dan petani dengan bunga ditanggung pemerintah daerah sehingga pertumbuhan ekonomi juga berputar di kelompok-kelompok yang punya efek langsung ke masyarakat.
Pengembangan Kawasan Industri Tanjung Buton (KITB) juga menjadi prioritas karena kawasan ini diharapkan menjadi motor penggerak baru bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan pesisir Riau yang mampu membuka lapangan kerja baru serta mampu meningkatkan Pendapat Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Siak.
Strategi terakhir adalah meningkatkan kolaborasi. Dalam kolaborasi tersebut, perbaikan tata kelola dan penyelesaian konflik agraria secara partisipatif tidak hanya dimotori oleh pemerintah daerah, tapi juga melibatkan akademisi, pelaku bisnis, media massa, dan masyarakat. Siak sudah membentuk tim fasilitasi penyelesaian konflik hutan dan hak tanah masyarakat pada Agustus 2025, untuk memverifikasi dan mengidentifikasi persoalan konflik lahan yang kerap berlarut-larut tanpa solusi.
Menjaga keseimbangan antara sawit dan keberlanjutan memang bukan perkara yang selesai dalam satu masa kepemimpinan. Namun Siak tetap bergerak menuju pembangunan hijau bisa dengan langkah konkret dan kolaboratif. Keseimbangan antara ekonomi dan ekologi bukan lagi sekadar slogan dalam visi Siak Hijau, melainkan jalan panjang yang sedang dibangun bersama. Di tengah tekanan global terhadap komoditas sawit dan tuntutan keberlanjutan, Siak berupaya membuktikan bahwa daerah penghasil sawit pun mampu tumbuh tanpa harus mengorbankan hutan dan masyarakatnya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
