Masa Depan Desa di Tengah Persimpangan Bencana
Banjir bandang dan longsor yang menerjang sebagian besar wilayah Sumatra dan beberapa daerah di Indonesia pada November dan Desember 2025 ini menyisakan duka mendalam. Lebih dari seribu nyawa melayang, ratusan ribu warga mengungsi, dan desa-desa yang tadinya hidup kini terkubur dalam senyap oleh lumpur dan air bah.
Di tengah ratapan dan upaya pemulihan yang heroik, sebuah pertanyaan fundamental dan mendesak harus kita ajukan bersama: ini takdir atau buah dari kelalaian sistemik kita? Yang lebih penting, ke arah mana masa depan desa-desa kita akan berlayar setelah badai ini berlalu?
Tragedi hidrometeorologi ini bukanlah sekadar peristiwa alamiah yang terjadi tiba-tiba. Salah seorang pakar hidrologi hutan dan konservasi daerah aliran sungai (DAS) dari salah satu perguruan tinggi nasional secara tegas menyebutnya sebagai akumulasi "dosa ekologis".
Laju deforestasi yang brutal, sebagaimana terekam dalam laporan jurnalisme salah satu media cetak nasional menunjukkan begitu menyedihkan hilangnya tutupan hutan di Sumatra sebagai biang keladi utamanya. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan skala besar dan praktik penambangan yang abai terhadap kelestarian lingkungan telah lama menggerus daya dukung alam.
Ketika siklon tropis dan curah hujan ekstrem tiba—sebuah keniscayaan di tengah krisis iklim global—ekosistem yang sudah ringkih itu pun tak kuasa menahan, lalu runtuh menimpa masyarakat di hilir. Terutama, mereka yang mendiami desa-desa di kaki bukit dan bantaran sungai.
Apa yang kita saksikan di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa Barat, bukanlah anomali, melainkan sebuah pola dari model pembangunan yang selama ini kita anut. Pola ini adalah cerminan dari pendekatan "business-as-usual" yang reaktif dan berjangka pendek.
Setiap kali bencana datang, kita sibuk dengan tanggap darurat, menyalurkan bantuan, dan mendata kerugian. Tentu saja, itu semua penting. Namun, setelah itu, kita kembali ke siklus yang sama.
Kita seolah lupa bahwa bencana berikutnya hanya menunggu waktu untuk datang kembali. Kita terperangkap dalam lingkaran setan tanpa pernah menyentuh akar persoalannya secara mendasar. Pola reaktif ini telah mengakar dan perlu diinterupsi dengan pendekatan yang lebih proaktif.
Di sinilah kita perlu meminjam sebuah konsep penting dari studi masa depan, yaitu foresight (pandangan ke depan). Sebagaimana diuraikan dalam berbagai kajian ilmiah global seperti Martin (2010), Rohrbeck dkk. (2015), dan panduan yang dibuat oleh beberapa lembaga global seperti Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP).
Foresight bukanlah sekadar meramal, melainkan sebuah proses terstruktur untuk membayangkan berbagai kemungkinan masa depan, lalu memilih dan merancang jalur menuju masa depan yang paling kita dambakan (preferred future). Ini adalah antitesis dari sikap reaktif. Alih-alih hanya memadamkan kebakaran, foresight mengajak kita untuk merancang bangunan yang tahan api sejak awal.
Dengan lensa foresight, kita dapat melihat dua skenario kontras bagi masa depan desa di Indonesia dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang.
Skenario Pertama: Masa Depan "Business-as-Usual"
Jika kita tidak berniat mengubah arah secara radikal, masa depan desa-desa kita akan semakin suram. Bencana seperti banjir bandang dan longsor November 2025 akan menjadi agenda rutin tahunan dengan skala yang mungkin lebih besar dan destruktif.
Desa-desa, terutama yang kaya akan sumber daya alam, akan terus menjadi arena eksploitasi yang mengabaikan keberlanjutan. Kesenjangan antara desa dan kota semakin menganga.
Urbanisasi tak terkendali karena generasi muda desa tidak melihat ada masa depan di kampung halamannya. Dana desa yang jumlahnya triliunan rupiah mungkin habis untuk pembangunan infrastruktur fisik yang tidak terintegrasi dengan mitigasi bencana dan pengembangan ekonomi lokal yang tangguh. Desa hanya akan menjadi objek, bukan subjek pembangunan. Pada akhirnya, desa menjadi entitas yang rapuh, rentan, dan selalu terpinggirkan.
Skenario Kedua: Masa Depan Berketahanan Iklim dan Berdaulat
Ada jalan lain yang bisa kita tempuh. Sebuah masa depan di mana desa menjadi pusat resiliensi (ketahanan). Dalam skenario ini, tragedi bencana November 2025 menjadi titik balik kesadaran kolektif. Pemerintah, bersama masyarakat sipil dan sektor swasta, melakukan moratorium total terhadap izin-izin industri ekstraktif di kawasan hulu dan daerah resapan air.
Program reforestasi dan restorasi ekosistem tidak lagi bersifat seremonial. Reforestasi dan restorasi harus menjadi gerakan semesta yang dipimpin langsung oleh masyarakat desa sebagai penjaga alamnya serta komunitas ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta perguruan tinggi yang menjadi penyeimbang dan modal pengetahuan bagi semua pemangku kepentingan.
Pembangunan desa tidak bisa lagi diukur dari panjangnya jalan beton tetapi dari meningkatnya indeks ketahanan ekologis dan sosial. Konsep desa tangguh bencana tidak hanya sekadar gimmick, menjadi papan nama di kantor desa.
Konsep ini terinternalisasi dalam setiap perencanaan dan penganggaran. Pengetahuan lokal dan kearifan adat dalam membaca tanda-tanda alam diintegrasikan dengan data sains dan teknologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta BRIN untuk menciptakan sistem peringatan dini yang paling efektif.
Secara ekonomi, desa-desa ini berdaulat. Mereka tidak lagi bergantung pada satu komoditas, melainkan mengembangkan ekonomi sirkular berbasis potensi lokal: agrowisata, energi terbarukan skala kecil (mikrohidro, surya), dan produk-produk hutan non-kayu.
Teknologi digital tidak hanya digunakan untuk hiburan, tetapi untuk menghubungkan produk desa langsung ke pasar global, memotong rantai pasok yang tidak adil. Dalam skenario ini, menjadi petani atau penjaga hutan adalah sebuah profesi yang membanggakan dan menyejahterakan.
Jalan Menuju Masa Depan Pilihan
Untuk beralih dari skenario pertama ke skenario kedua, tentu tidak mudah. Ini membutuhkan kemauan politik yang luar biasa dan perubahan paradigma yang fundamental. Kita harus kritis dan reflektif serta berani mengakui bahwa yang kurang dari kita bukanlah pengetahuan atau sumber daya, melainkan kemauan politik dan kapasitas kelembagaan untuk mengeksekusi visi jangka panjang.
Kita dapat memulainya dengan “back-casting". Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan visi (misalnya, desa tangguh 2035 atau desa berkelanjutan 2035), lalu menarik mundur langkah-langkah konkret yang harus dilakukan dari sekarang. Inisitiaf ini mencakup reformasi tata ruang yang radikal, penegakan hukum tanpa kompromi terhadap perusak lingkungan, dan realokasi insentif fiskal dari industri ekstraktif ke ekonomi hijau di tingkat desa.
Bencana pada bulan November 2025 di Pulau Sumatra adalah pengingat yang sangat mahal. Alam telah mengirimkan tagihannya. Tagihan yang sangat mahal harganya.
Kita bisa secara sadar memilih untuk terus membayarnya dengan nyawa dan air mata setiap tahun, atau kita bisa dengan sadar juga mulai mengubah cara hidup kita, dimulai dari cara kita memandang dan membangun desa. Pilihan ada di tangan kita, dan sejarah akan mencatat di persimpangan mana kita memutuskan untuk berbelok.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
