Rusaknya Rantai Pasok
Tak hanya menghambat mobilitas orang, virus corona juga mengacaukan jaringan distribusi barang di penjuru dunia. Sejak Tiongkok mengunci (lockdown) Wuhan dan karantina beberapa kota lainnya, putaran roda industri di negara tersebut melambat. Sejak itu, banyak negara termasuk Indonesia menghadapi tantangan berat karena kesulitan impor bahan baku produksi.
Chatib Basri menyebut, perlambatan industri di Tiongkok akan menurunkan permintaan terhadap bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi. Sebab, sekitar 29% barang yang diekspor Tiongkok, bahan mentah dan penolongnya berasal dari Indonesia. Barang-barang itu terutama batu bara dan kelapa sawit.
Implikasinya: Indonesia perlu mengantisipasi penurunan permintaan untuk produk-produk tersebut. Harga komoditas dan barang tambang pun berisiko menurun. Secara tidak langsung, daya beli masyarakat akan merosot.
(Baca: Pukulan Dua Arah Virus Corona ke Industri Manufaktur)
Berikut adalah data kerugian akibat wabah Covid-19, dibandingkan dengan pandemi lain:
Dalam Kajian Perdagangan dan Industri, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) edisi Maret 2020 disebutkan, dampak terbesar wabah Covid-19 yang langsung terlihat adalah terhambatnya rantai pasokan.
Mengutip Menteri Keuangan Sri Mulyani, 30-50% bahan baku industri plastik, tekstil, alas kaki, baja dan kimia bergantung pada Tiongkok. Hal itu diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa selama Februari 2020, nilai impor bahan baku/penolong turun 15,89% menjadi US$ 8,89 miliar, dan barang modal turun 18,03% menjadi US$ 1,83 miliar.
Penurunan impor pada Kuartal I 2020 diprediksi dapat mencapai 10%. Di sisi lain, terhambatnya kegiatan industri domestik karena kekurangan bahan baku dapat berakibat berhentinya kegiatan produksi domestik. Ujungnya, kondisi tersebut akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang konsumsi dan pengurangan pekerja.
Dari sisi ekonomi, terdapat beberapa upaya mitigasi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak Covid-19. Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi menyatakan, dalam jangka pendek, pemerintah harus memastikan ketersediaan barang dan stabilitas harga bahan pokok.
Beberapa bahan pokok yang perlu menjadi perhatian misalnya beras, daging ayam, daging sapi, telur, bawang merah, bawang putih, cabe merah/cabe rawit, minyak goreng dan gula pasir.
Selain itu, perlu kemudahan impor untuk bahan baku yang vital bagi produksi domestik, baik yang berorientasi pasar domestik maupun ekspor. Kemudian, pemerintah perlu mengambil momentum ini untuk memaksimalkan produk domestik di pasar dalam negeri.
Untuk itu diperlukan sistem informasi dan logistik yang terpadu. “Sangat disayangkan jika pada saat kelangkaan produk impor seperti ini justru terbetik berita terdapat hasil panen sayuran atau buah-buahan yang tidak terserap oleh pasar karena kesulitan angkutan barang dan tutupnya beberapa toko retail,” kata Fithra.
(Baca: Matahari Tutup Semua Gerai dan Kurangi Jam Kerja Karyawan)
Menghadapi adanya kemungkinan pemberlakuan karantina wilayah dalam beberapa pekan ke depan, pemerintah perlu memastikan protokol logistik yang menjamin kemudahan aliran barang antardaerah.
Kemudian, dalam jangka menengah hingga panjang, diperlukan kebijakan yang lebih strategis dan mendasar. Tujuannya meningkatkan daya tahan ekonomi terhadap guncangan-guncangan eksternal lain yang mungkin terjadi.
Pertama, pemerintah harus melanjutkan upaya diversifikasi negara tujuan ekspor dengan menyasar mitra-mitra non-tradisional seperti negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Eropa Timur.
Di masa depan, peningkatan ekspor dapat dilakukan dengan mendorong investasi pengusaha Indonesia di luar negeri. Investasi keluar ini akan memacu ekspor, sebagaimana yang terjadi pada investasi asing di Indonesia yang menjadi salah satu pemicu impor dari negara investor tersebut.
Selain itu, upaya peningkatan konektivitas antardaerah dan penurunan biaya logistik perlu dipercepat. Hal ini tidak dapat ditawar jika Indonesia ingin memaksimalkan potensi pasar dalam negeri untuk produk domestik.
Covid-19 bukanlah pandemi global yang pertama, dan mungkin juga bukan yang terakhir. Sebagaimana dinyatakan Hans-Joachim Voth dari University of Zurich dalam kajiannya, ‘Trade and Travel in the Time of Epidemics' 2020, mungkin inilah saatnya kita mempertimbangkan opsi untuk membatasi konektivitas global.
Dia bilang, “Dalam situasi wabah, konektivitas global terbukti dapat berakibat luasnya kerugian akibat hilangnya nyawa manusia dan ketergantungan impor.”