Kedua, karena aktivitas ekonomi akan terganggu akibat berkurangnya interaksi, lebih baik pemerintah mengalokasikan fiskalnya untuk program kesehatan. “Misalnya memastikan bila penderita Covid-19 menjadi masif, cukup rumah sakit. Selain itu, cukup dokter, cukup obat, cukup asuransi bagi penderita.” tulis dia. 

PENAMBAHAN RUANG ISOLASI COVID-19
PENAMBAHAN RUANG ISOLASI COVID-19 (ANTARA FOTO/Moch Asim/aww.)

Ketiga, untuk memastikan bahwa kelompok ekonomi menengah bawah memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mungkin karena terganggunya aktivitas ekonomi, program bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non-Tunai, dan Pra Kerja menjadi penting. 

Keempat, mengingat besarnya kebutuhan dana untuk program kesehatan dan bantuan sosial, maka pemerintah perlu melakukan relokasi untuk belanja yang kurang penting, atau bukan prioritas, selain tentunya menaikkan defisit anggaran lebih tinggi.

Kelima, memastikan bahwa stok makanan terkendali. Sebab, kenaikan harga akibat tidak tersedianya stok pangan akan menimbulkan kepanikan. Dalam tulisan lainnya, Chatib menyarankan untuk pemerintah segera mencari negara alternatif untuk impor dan mendorong produk lokal.

“Setelah situasi kembali normal, baru-lah standard counter cyclical fiscal monetary untuk mendorong aggregate demand bisa dijalankan dan efektif,” tulis dia.

Selanjutnya: Data Ekonomi Tunjukkan Pelemahan, Ekonom Berharap Tak Ada Lockdown

Data Ekonomi Tunjukkan Pelemahan, Ekonom Berharap Tak Ada Lockdown

Data neraca dagang Februari menunjukkan potensi pelemahan aktivitas industri dalam negeri. Impor anjlok, baik untuk barang konsumsi, bahan baku, maupun barang modal. Di sisi lain, ekspor beberapa produk juga terpantau turun. Opsi lockdown untuk menghadapi pandemi corona disebut berbahaya bagi ekonomi. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai impor per Februari sebesar US$ 11,6 miliar, anjlok 11,6% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan secara akumulatif Januari-Februari, impor tercatat US$ 25,87 miliar, turun 4,95% dibandingkan periode sama tahun lalu. Faktor penekannya yaitu impor nonmigas yang turun 7,68%.

Berdasarkan golongan, impor tercatat turun serempak baik untuk barang konsumsi, bahan baku, serta barang modal pada Februari dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan juga tampak untuk data kumulatif Januari-Februari dibandingkan periode sama tahun lalu. Hanya barang konsumsi yang tercatat naik. Berikut data lengkapnya:

Golongan BarangJanuari 2020Februari 2020Januari-Februari 2020Pertumbuhan Bulanan (month-on-month)Pertumbuhan Tahunan (year-on-year)
Barang KonsumsiUS$ 1,47 miliarUS$ 881,7 jutaUS$ 2,35 miliar-39,91%5,28%
Bahan Baku/PenolongUS$ 10,57 miliarUS$ 8,89 miliarUS$ 19,46 miliar-15,89%-4,8%
Barang ModalUS$ 2,23 miliarUS$ 1,83 miliarUS$ 4,06 miliar-18,03%-10,64%
Total ImporUS$ 14,27 miliarUS$ 11,6 miliarUS$ 25,87 miliar-18,69%-10,64%

Sumber: BPS (Diolah)

Di sisi lain, nilai ekspor per Februari sebesar US$ 13,94 miliar, naik 2,24% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan secara akumulatif Januari-Februari, ekspor tercatat US$ 27,57 miliar, naik 4,1% dibandingkan periode sama tahun lalu. Meskipun, ekspor migas tercatat anjlok 26,51% seiring penurunan tajam harga migas.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, jika ada perlambatan impor bahan baku saat ini, maka dampaknya pada kegiatan industri akan terasa setidaknya tiga bulan mendatang. Sebab, bahan baku yang diimpor sebetulnya untuk stok. “Tiga sampai lima bulan lagi akan terjadi penurunan tajam (kegiatan) manufaktur domestik dan ekspor,” kata dia.

Penurunan tajam impor, khususnya bahan baku, diperkirakan terjadi karena tiga penyebab. Pertama, terganggunya kegiatan produksi di Tiongkok. Di sisi lain, beberapa negara melakukan lock down. “Rantai pasok terganggu,” ujarnya.

Selain itu, ada kemungkinan industri sengaja mengurangi stok karena ekspektasi permintaan rendah di masa depan. Penyebab lainnya, industri mengerem impor untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar mata uang. Mayoritas mata uang dunia mengalami pelemahan terhadap dolar AS, termasuk rupiah yang kini bertengger di atas Rp 15.000 per dolar AS.

(Baca: Kurs Rupiah Terpukul Paling Dalam di Asia, Apa yang Terjadi?)

Di tengah berbagai tantangan ini, ia menekankan kebijakan ekonomi untuk menopang kegiatan industri tetap diperlukan. Ia menilai masih banyak modifikasi insentif ekonomi yang bisa diterapkan di tengah rantai pasokan industri yang terganggu saat ini alias supply shock.

Modifikasi misalnya dengan memperluas pembebasan PPh21 bukan hanya untuk pekerja di industri manufaktur, namun dengan jangka waktu yang lebih pendek. Kemudian, tarif listrik untuk industri yang lebih murah di jam sibuk ataupun harga gas industri yang lebih murah.

Beragam insentif fiskal untuk menopang industri ini dinilainya tetap penting, meskipun dampaknya penerimaan negara tertekan. “Pemerintah memang harus belanja, supaya industri manufaktur tidak melakukan PHK,” kata dia.

Bhima pun berharap tidak ada kebijakan lockdown alias penutupan wilayah di dalam negeri, melainkan sebatas social distancing. Sebab, lockdown berarti penutupan akses orang untuk keluar masuk ke suatu wilayah. Hal ini dinilai bahaya lantaran mengganggu distribusi bahan baku ke wilayah yang dimaksud.

Berbagai prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia:

LembagaPrediksi Pertumbuhan Ekonomi 2020
Pemerintah Indonesia4,7%-5%
OECD4,8%
Moody’s4,8% (Optimis), 4,5% (Pesimis)
Warwick Mckibbin dan Roshen Fernando dari Austalian National University-Turun hingga 0,3% dari basis bila penyebaran corona sebatas di Tiongkok. Dengan basis 5%, maka prediksi pertumbuhan ekonomi 4,7%-Turun setidaknya 1,3 persentase poin dari basis bila corona meluas menjadi pandemi global. Dengan basis 5%, maka prediksi pertumbuhan ekonomi 3,7%.

Sumber: Pernyataan Sri Mulyani, Publikasi OECD dan Moody’s, Buku Economic in The Time of Covid-19 (Diolah)

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement