Uni Eropa resmi mengenakan bea masuk untuk produk biodiesel Indonesia dengan besaran antara 8-18% atas tuduhan subsidi yang dikucurkan pemerintah. Tarif tersebut berlaku selama lima tahun, terhitung Januari 2020.
Ini bukan kali pertama Uni Eropa berusaha melakukan diskriminasi atas biediesel yang berasal dari minyak sawit Indonesia. Pemerintah pun berupaya menciptakan pasar yang lebih besar di dalam negeri, salah satunya dengan program mandatori B30 yang akan mulai berjalan tahun depan. Program tersebut merupakan peningkatan dari B20 yang berjalan tahun ini.
Dalam paparannya, Uni Eropa menyebut subsidi bahan bakar dalam proses produksi membuat harga biodiesel Indonesia dapat diekspor dengan harga lebih murah. Akibatnya, produsen biodiesel dari minyak nabati lain di Eropa kesulitan bersaing.
Penyelidikan terhadap masalah ini telah dilakukan sejak Desember 2018 lalu. "Ini ancaman pada dunia industri," demikian pernyataan Komisi Uni Eropa dikutip dari laman resminya, Selasa (12/12).
(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah Ingatkan Eropa Soal Pembelian Airbus)
Besaran bea masuk untuk biodiesel Indonesia ditetapkan berbeda untuk setiap produsen. Hal itu mengacu pada hasil penyelidikan, soal sejauh mana mereka dianggap menerima subsidi dari pemerintah.
Untuk PT Ciliandra Perkasa misalnya, bea masuk yang dikenakan sebesar 8%, PT Intibenua Perkasatama dan PT Musim Mas (Musim Mas Group) 16,3%, serta PT Pelita Agung Agrindustri dan PT Permata Hijau Palm Oleo (Permata Group) 18%. Kemudian, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Wilmar Group) sebesar 15,7%, dan perusahaan lainnya dikenakan bea masuk 18%.
Komisi Uni Eropa menyebut, nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa mencapai 400 juta euro atau setara Rp 6,2 triliun pada 2018. Sedangkan, pasar biodiesel Uni Eropa diperkirakan mencapai 9 miliar euro atau hampir Rp 140 triliun per tahun.
Selain itu, dalam 12 bulan hingga September 2018, pangsa pasar gabungan eksportir Indonesia untuk biodiesel UE naik menjadi 3,3% atau 516.088 metrik ton, dari 0,2% pada 2017 dan 0,3% pada 2016.
Tak hanya bagi Indonesia, Uni Eropa juga telah mengenakan bea masuk anti subsidi pada produsen biodiesel Argentina. Namun, Negeri Tango masih memiliki akses bebas tarif sekitar 1,2 juta ton selama tidak menjual lebih rendah dari harga minimum yang ditetapkan.
Berikut adalah negara-negara penghasil biodiesel di dunia:
Diskriminasi sawit bukan kali ini saja datang dari Eropa. Selain isu subsidi dan dumping, sawit juga kerap dituduh sebagai biang deforestasi. Karenanya, Uni Eropa menganggap minyak sawit semestinya tidak digunakan lagi dalam bahan bakar energi terbarukan.
Adanya berbagai tantangan untuk mengekspor sawit dan produk turunannya yang termasuk biodiesel membuat pemerintah berupaya meningkatkan kebutuhan pasar di dalam negeri.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, porsi campuran biodiesel dengan solar akan terus ditingkatkan. Mulai 1 Januari 2020 program campuran biodiesel dengan Solar akan ditingkatan 10 persen menjadi B30.
"Mulai 1 Januari 2020 akan diterapkan B30 karena semua sudah siap. Tahun depan (2021) diterapkan B40," kata Luhut, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
(Baca: Mendag Evaluasi Rencana Balasan Tarif Produk Susu ke Uni Eropa)
Hanya, jika melihat kondisi pasokan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel saat ini, maka penerapan campuran biodiesel dengan Solar hanya dapat dilakukan secara terbatas. "kita berhenti di B50 karena enggak cukup pasokannya," ujarnya.
Namun Luhut menegaskan, kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan Indonesia akan meningkatkan campuran biodiesel dengan solar di atas 50%. Pasalnya, pemerintah akan menerapkan program replanting untuk meningkatkan jumlah produksi minyak sawit.
Sebelumnya, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, jumlah 20% biodiesel yang sudah dicampur dengan solar sampai September 2019 mencapai 4,49 juta kiloliter.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Andriah Feby Misnah mengatakan, dari 6,6 juta kiloliter kuota biodiesel tahun ini yang sudah digunakan 68 persennya atau 4,49 juta kiloliter.
Kuota biodiesel 20 persen biodiesel yang dicampur solar pada tahun ini ditambah pada Agustus 2019 dari sebelumnya sebesar 6,2 juta KL, hal ini untuk menyesuaikan kenaikan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar.
Alokasi biosolar tersebut akan disalurkan ke badan usaha penyalur BBM, untuk dicampurkan dengan solar sebelum dijual ke konsumen. Di antaranya ada PT Pertamina (Persero), PT Exxonmobil Lubricant, PT AKR Corporindo, PT Jasatama Petroindo , PT Petro Andalan Nusantara, PT Shell Indonesia, PT Cosmic Indonesia, dan lain-lain.
Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) memproyeksikan serapan biofuel akan meningkat hingga 50% menjadi 9,6 juta kiloliter seiring implementasi B30 pada 2020. “Tentunya permintaan biodiesel akan meningkat di dalam negeri seiring implementasi B30,” kata Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan.
(Baca: Protes Biodiesel Dikenakan Bea Masuk, RI Siap Adukan Uni Eropa ke WTO)
Ia merinci bahwa kebutuhan biodiesel sebagai bahan bakar implementasi B20 sebesar 6,2 juta kiloliter pada 2019. Angka itu akan naik menjadi 9,6 juta kiloliter pada 2020 dengan implementasi B30. Jumlah itu dinilainya cukup untuk mengompensasi kemungkinan turunnya permintaan Uni Eropa akibat bea masuk yang ditetapkan.
Meski akan ada kenaikan permintaan biodiesel di dalam negeri, Aprobi meminta agar pemerintah tak mendiamkan pengenaan tambahan tarif oleh Uni Eropa. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor menyatakan, masalah ini dapat dibawa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Hal itu dinilainya penting, sebab Uni Eropa dan Tiongkok merupakan pasar terbesar untuk ekspor biodiesel Indonesia. “Kami menargetkan ekspor sebanyak 1,4 juta ton biodiesel ke Uni Eropa, yang tampaknya tak akan tercapai,” katanya, dikutip Reuters.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah Indonesia keberatan dengan adanya keputusan Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk produk biodiesel Indonesia hingga mencapai 18% mulai tahun depan.
Airlangga mengatakan, pemerintah bakal melaporkan keputusan Uni Eropa tersebut kepada organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/WTO). "Pasti akan berproses, ada yang melalui WTO," kata Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/12).