Banyak hambatan selama empat tahun tersebut. Dampaknya, Internux tidak mendapatkan pemasukan, tapi harus tetap menanggung biaya operasional perusahaan. Para pemegang saham telah mengeluarkan investasi hingga Rp 8 triliun dan perusahaan pun terpaksa harus berutang pada banyak pihak.

Cerita bermula ketika jaringan frekuensi yang dimenangkan Internux pada 2009 ternyata belum steril. Masih banyak instansi pemerintah yang menggunakan frekuensi tersebut. Internux harus menunggu dua tahun untuk membersihkan frekuensi tersebut.

Masalahnya belum selesai. Dalam tender disebutkan teknologi yang digunakan untuk pemanfaatan frekuensi tersebut jenis wimax yang belum dimiliki dan perangkatnya pun tidak tersedia di pasaran. Internux tetap menggelar jaringan frekuensi yang telah dimilikinya dengan teknologi seadanya, meski belum bisa dilakukan secara komersial.

Mereka kemudian mengajukan izin untuk menggunakan teknologi netral 4G LTE pada 2012 dan pemerintah pun mengabulkannya. Namun, perusahaan ini harus berinvestasi ulang karena tidak memiliki teknologi tersebut. Perangkatnya pun belum tersedia di Indonesia, sehingga harus membeli dari luar negeri.

Pada saat yang sama, pemerintah mengeluarkan aturan soal penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sekitar 50% perangkat telekomunikasi pita lebar nirkabel harus dipenuhi dari dalam negeri pada 2015. Internux berhasil menggandeng pabrikan domestik untuk memproduksinya.

Akhir 2013, perusahaan ini menjadi pionir teknologi 4G LTE, karena fasilitasnya sudah disiapkan sebelumnya. Ketika mulai beroperasi komersial, hanya Internux yang menyelenggarakan layanan jaringan ini. Sementara beberapa operator pemenang tender frekuensi lain tak melakukannya.

Dengan keterbatasan ini, jaringan Internux tak terkoneksi di luar wilayah yang dizinkannya. Pelanggan Bolt tak bisa menggunakan layanan di luar Zona 4 yang digarap Internux, yaitu Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Banten. Padahal, perusahaan juga mendapatkan frekuensi di Zona 1, yakni Sumatra bagian utara.

Pada 2014 pemerintah memberikan alokasi frekuensi kepada salah satu operator telekomunikasi yang memiliki cakupan layanan hampir seluruh Indonesia. Namun, Bolt tak mampu bersaing dengan produk-produk perusahaan telekomunikasi lainnya, sehingga penjualannya pun turun.

(Baca: Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo)

Sekarang, demi keberlangsungan usaha dan melunasi seluruh utangnya, Internux berencana akan menghentikan bisnis prabayar. Perusahaan akan mengurangi pelanggan Bolt Mobile dengan menghentikan penjualan modem dan perangkat mobile, sehingga fokus pada penambahan pelanggan pascabayar (Bolt Home). Pelanggan prabayar masih tetap bisa dilayani dengan membeli voucher internet dalam jaringan mitra Internux.

Penataan Frekuensi Broadband Oleh Pemerintah

Internux juga akan berupaya merelokasi peralatan telekomunikasi ke lokasi tower yang sesuai dengan karakteristik pelanggan Bolt Home. Langkah-langkah ini merupakan upaya perseroan menekan biaya operasional. Biaya-biaya tower bisa berkurang hingga Rp 300 miliar.

Hasil Penataan Spektrum Frekuensi Radio
(Kementerian Kominfo)
 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement