Acara sosialisasi Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 52 Tahun 2017 tentang Gross Split, di Ruang Sarulla Gedung Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Jumat siang (8/9) pekan lalu, itu seakan mengakhiri pro dan kontra terhadap skema baru kontrak bagi hasil migas tersebut.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menguraikan secara rinci peraturan baru yang mulai berlaku 29 Agustus 2017 itu. Selanjutnya, dia memberikan kesempatan kepada peserta acara sosialisasi tersebut untuk mengajukan pertanyaan. 

Acara itu dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan di industri migas, seperti kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) antara lain Total E&P Indonesie, ExxonMobil dan BP, hingga para pengamat dan akademisi.

Setelah dirasa tidak ada lagi yang mengganjal, Arcandra menutup acara itu sembari mengajak para investor menanamkan modalnya di sektor hulu migas dengan menggunakan skema gross split. “Silakan ambil dokumen lelang blok minyak dan gas bumi," katanya.

Permen ESDM Nomor 52 tahun 2017 ini merupakan perubahan dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 yang diundangkan 16 Januari 2017. Meski baru berlaku hampir delapan bulan, Kementerian ESDM mengubah aturan itu dengan harapan bisa menarik investasi di sektor hulu migas.

Sejak terbit Januari lalu, Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 tahun 2017 memang menuai respons yang kurang memuaskan dari pelaku industri. Untuk itulah Kementerian ESDM mengubah aturan tersebut dengan melibatkan para pelaku industri migas, salah satunya adalah Indonesian Petroleum Association (IPA).

Selain itu, Kementerian ESDM menggandeng Wood Mackenzie, Bank Dunia, Pricewaterhouse Cooper, dan IHS Markit.  “Kami harus membuat iklim investasi lebih baik dari sebelumnya,” ujar Arcandra.

Iklim investasi yang menarik memang diperlukan saat ini. Apalagi Kementerian ESDM tengah melelang 15 blok migas dengan menggunakan skema gross split. Sedangkan lelang blok migas tahun lalu tidak diminati investor. 

(Baca: Semaraknya Investasi Migas di Meksiko dan Sepinya Lelang di Indonesia)

Demi menarik investasi, Arcandra mencoba meyakinkan para kontraktor bahwa manfaat yang diperoleh dari skema gross split tidak berbeda dengan kontrak bagi hasil konvensional. Ini berdasarkan hasil perhitungan  12 lapangan migas di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda-beda.

Menurut dia, pada awal lapangan migas berproduksi, bagi hasil yang diperoleh kontraktor akan sama dengan kontrak bagi hasil konvensional. Namun, setelah lima tahun berproduksi, bagi hasil menggunakan gross split akan lebih besar.

8 poin penting revisi

Keuntungan skema gross split bisa lebih besar  karena ada beberapa tambahan bagi hasil yang diberikan pemerintah kepada kontraktor, meskipun variabel dasar tidak berubah. Setidaknya ada delapan variabel yang menjadi poin penting dalam aturan baru tersebut.

Pertama, tambahan bagi hasil untuk kumulatif produksi. Pemerintah menambah bagi hasil hingga 10% apabila kumulatif produksi kurang dari 30 mmboe. Pada aturan sebelumnya maksimal 5% jika kurang dari 1 mmboe.

Kedua, perubahan formula minyak bumi untuk menentukan tambahan bagi hasil menjadi (85-ICP) x 0,25%. Dengan formula itu, kontraktor berpeluang mendapat bagi hasil lebih besar. Sebagai contoh, apabila harga minyak mencapai US$ 40 per barel, ada tambahan 11,25%. Sebelumnya jika kurang US$ 40 per barel hanya 7,5%.

Ketiga, ada tambahan variabel gas bumi.  Ketika harga gas bumi berada pada level US$ 5 per mmbtu, kontraktor mendapat bagi hasil 5%. Sebaliknya bila harga gas US$ 12 per mmbtu, bagian negara bertambah 5%.

Keempat, tambahan bagi hasil untuk pengembangan lapangan selanjutnya (Plan of Development/ PoD ke II). Dengan aturan baru ini, PoD ke II dapat tambahan bagi hasil 3% dari sebelumnya tidak mendapatkan tambahan bagi hasil. Sedangkan status wilayah POFD atau pengembangan lanjutan atas PoD eksiting di dalam suatu wilayah kerja yang sama sebagai komponen variabel. 

Kelima, pemerintah menaikkan tambahan bagi hasil untuk fase produksi. Untuk fase produksi sekunder mendapat tambahan 6%, dan tersier 10%. (Baca: Saya Mewakili Negara Berdagang, Cost Recovery Itu Abusive)

Keenam,  perubahan persentase bagi hasil pada komponen variabel kandungan hidrogen-sulfida (H2S). Apabila suatu lapangan migas terdapat kandungan H2S sebesar 100-1.000 ppm maka dapat tambahan 1%, dan akan terus meningkat sesuai kandungan yang ada. Jika kandungan H2S lebih besar atau sama dengan 4.000 ppm mendapatkan tambahan 5%.  

Ketujuh, tambahan bagi hasil berdasarkan ketersediaan infrastruktur. Apabila wilayah kerja termasuk terpencil dan berada di darat akan memperoleh tambahan 4%, sedangkan di laut lepas 2%. Pada aturan sebelumnya sama rata yakni 2% baik di darat, maupun lepas pantai.

Arcandra mencontohkan di Amerika Serikat, new frontier di laut lebih mahal dibanding di darat. Namun sebaliknya di Indonesia, new frontier di darat malah lebih mahal dibanding di laut. 

Kedelapan, tidak adanya batasan diskresi Menteri ESDM untuk menambah bagi hasil kepada kontraktor migas yang wilayah kerjanya tidak ekonomis. Pada aturan lama, diskresi ini dibatasi maksimal 5 tahun.

Dengan tambahan tersebut, menurut Arcandra, Internal Rate of Return (IRR) skema gross split tak berbeda jauh dengan bagi hasil yang menggunakan sistem cost recovery, atau lebih besar. Bahkan, ada sebuah lapangan yang dengan tambahan diskresi Menteri ESDM 2% dan efisisensi biaya 5%, IRR-nya bisa mencapai lebih dari 20%.

Selain itu Net Present Value-nya juga tidak jauh berbeda. Dengan asumsi diskresi dan efisiensi yang sama, ada lapangan migas yang NPV-nya mencapai US$ 400.000 miliar.

Respons pelaku migas

Sebagian pihak menilai revisi aturan gross split ini menjadi pendorong investasi. “Menurut saya cukup menjanjikan karena aturan baru tersebut mempunyai fleksibilitas yang dapat menyesuaikan dengan keekonomian lapangan migas,” kata Presiden Direktur Medco Energi Internasional Hilmi Panigoro.

Pandangan yang sama disampaikan Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Syamsu Alam. Menurut dia, aturan baru tersebut cukup baik untuk mendorong investor melakukan eksplorasi. Ini karena ada tambahan bagi hasil untuk kontraktor.

Namun, di sisi lain, ada beberapa poin yang masih menjadi pertanyaan pelaku industri migas. Salah satunya adalah penerapan perpajakan untuk skema kontrak gross split.

Menurut President IPA Christina Verchere, mekanisme perpajakan ini penting untuk memberikan kepastian kepada pelaku industri hulu migas. Apalagi, pajak menjadi unsur yang mempengaruhi keekonomian wilayah kerja yang akan dihitung kontraktor.

“Kami meminta agar mekanisme perpajakan diklarifikasi dan meminta Pemerintah Indonesia berhati-hati untuk membuat lebih banyak ketidakpastian,” katanya.

Permasalahan pajak ini juga sempat ditanyakan oleh President & General Manager Total E&P Indonesie (TEPI) Arividya Noviyanto. Ia menanyakan mengenai kelanjutan diskusi dengan  Kementerian Keuangan mengenai peraturan perpajakan untuk skema kontrak gross split yang pernah dijanjikan pemerintah. “Kira-kira yang keluar seperti apa aturannya,” kata dia.

(Baca: ESDM Tunggu Hitungan Kemenkeu Soal Pajak Kontrak Gross Split)

Selain itu, menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI) Tutuka Ariadji, aturan baru itu masih belum mengubah proses birokrasi. Sebab, dalam pengajuan tambahan bagi hasil untuk tiap-tiap variabel, kontraktor harus mengajukan hal tersebut kepada SKK Migas untuk divalidasi.

Proses tersebut tentu akan menambah waktu. “Secara prinsip permen perubahan gross split tidak megubah birokrasi permen yang sebelumnya,” kata Tutuka.

Hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan Mining Specialist World Bank Bryan C. Land. Meski NPV skema gross split bisa di atas kontrak bagi hasil menggunakan cost recovery, tapi mekanisme ini sangat rumit. Sebab untuk mendapatkan tambahan bagi hasil harus melalui evaluasi berdasarkan karakteristik tiap-tiap lapangan.

"Pada akhirnya pasar akan memutuskan apakah iklim hulu bersifat atraktif dibandingkan dengan negara lain," kata Bryan.

Sementara itu, menurut mantan anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) Fahmi Radi, skema gross split seharusnya bersifat opsional dan tidak perlu diwajibkan. Jadi dalam kurun waktu lima tahun, kontraktor bisa memilih menggunakan skema gross split atau kontrak bagi hasil konvensional.

Jeda waktu tersebut, bisa digunakan pemerintah untuk membenahi perizinan dan mempersiapkan fasilitas perpajakan. Alhasil, skema itu bisa lebih menarik dan ekonomis diterapkan.

Meski ada tambahan bagi hasil, Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto menganggap tidak serta merta bisa menarik investasi. “Semua tergantung bagaimana pasar (kontraktor/investor) melihatnya. Untuk sampai ke tahap menarik dan mendatangkan investasi menurut saya masih perlu pembuktian,” kata dia.

Kontraktor makin efisien

Terlepas dari kekurangan itu, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Amien Sunaryadi berharap kontraktor mau menggunakan skema kontrak gross split. Apalagi nanti dalam perhitungannya wilayah kerja itu tidak ekonomis, mereka bisa mengajukan tambahan bagi hasil kepada Menteri ESDM.

Skema gross split ini juga penting karena pemerintah dan kontraktor memiliki pandangan yang sama, yakni mengurangi biaya. Apalagi hingga 31 Agustus 2017, cost recovery sudah mencapai US$ 7,22 miliar. Sedangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 hanya dianggarkan US$ 10,5 miliar.  

(Baca: Kontraktor Berbiaya Produksi Terbesar: KEI, PHE ONWJ, Medco Natuna)

Mengacu data itu, Amien yakin skema gross split akan membuat proses bisnis semakin efisien. Alhasil bisa menekan biaya. “Saya percaya kita bisa menjadi lebih efisien,” ujar dia.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami