Alhasil, sejumlah analis pasar keuangan meragukan keampuhan suku bunga negatif meski kebijakan itu baru berumur beberapa hari di Jepang. Dalam 11 hari sejak pengumuman kebijakan tersebut, indeks Nikkei di bursa Tokyo telah melorot 8,5 persen. Sedangkan mata uang yen menguat 6,5 persen terhadap dolar AS. Padahal, semestinya deposan mengalihkan dananya ke pasar saham dan yen seharusnya melemah karena investor memilih investasi berdenominasi non-yen Jepang.

Dolar

Yang terjadi adalah kecemasan di pasar saham dan keuangan Jepang, hingga menjalar ke pasar global. Harga saham bank-bank Jepang anjlok 30 persen setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor’s mengestimasi laba operasional bank bakal turun sekitar 8-15 persen. Adapun imbal hasil obligasi Jepang acuan bertenor 10 tahun jatuh di bawah nol persen. "Dampak dari pelonggaran moneter mirip dengan intervensi mata uang. Pertama kali dilakukan ada dampak besar. Tapi setelah itu dampaknya akan berkurang," kata Seiya Nakajima, Kepala Ekonom Niwa di Tokyo, seperti dikutip The Guardian.

Ekonom di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities mengatakan manfaat ekonomi dari tingkat bunga negatif di Jepang mungkin lebih kecil daripada negara-negara kecil di Eropa. Pasalnya, perbankan Jepang mengandalkan 80 persen pendanaannya dari deposito. Berbeda dengan bank-bank di Eropa yang lebih banyak menghimpiun dari pasar modal.

Sebuah jajak pendapat yang dilakukan media massa terkemuka di Jepang, Asahi Shimbun, menunjukkan 61 persen orang Jepang pesimistis tingkat bunga negatif akan membantu perekonomian. "Ini semakin jelas bahwa Abenomics adalah macan kertas," kata Nakajima, mengacu kepada kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memacu perekonomian Jepang melalui paket pelonggaran moneter, memacu pengeluaran dan reformasi.

Helge Pedersen, Kepala Ekonom Nordea di Kopenhagen, Denmark, menilai tingkat bunga negatif tidak dapat merangsang perekonomian suatu negara. "Kami telah belajar bahwa suku bunga negatif adalah alat yang berfungsi untuk melemahkan mata uang tetapi tidak dapat bekerja untuk merangsang pinjaman,” katanya seperti dikutip Bloomberg.

Ia mengacu kepada kebijakan bunga negatif di Denmark untuk menjaga mata uang negara tersebut agar tidak terus menguat. Kebijakan itu digunakan Denmark dan Swiss untuk menghalau para investor yang menimbun dananya di surat utang kedua negara itu yang berperingkat tinggi dan sangat aman, yaitu  AAA-.

Scott Mather, Managing Director Pacific Investment Management Co, juga meragukan keampuhan tingkat bunga negatif untuk mendongkrak inflasi di suatu negara. Sebaliknya, kebijakan yang disebutnya sebagai upaya “putus asa” bank sentral untuk memicu pertumbuhan ekonomi tersebut, akan mengakibatkan kerusakan stabilitas keuangan dan ekonomi.

Efek ke Indonesia

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menepis kemungkinan Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi dengan menjalankan kebijakan suku bunga negatif tersebut suatu saat nanti. “Kita itu suku bunganya (BI rate) masih 7,5 persen. Bagaimana mau negative rate, ambruk dong ekonominya,” katanya di Jakarta, Jumat pekan lalu (13/2). Kebijakan tersebut hanya bisa diterapkan di negara-negara yang perekonomiannya sudah maju, seperti Eropa, Jepang dan AS. “Emerging market mana ada yang negative rate.”

Pergerakan BI Rate 2010 - 2016

Selain itu, kebijakan tersebut dilakukan oleh negara-negara yang sudah kesulitan memacu pertumbuhan ekonominya. Berbeda dengan Indonesia, menurut Bambang, yang memiliki banyak potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Meski begitu, dia menilai kebijakan bunga negatif yang diterapkan beberapa negara besar itu dapat berdampak positif bagi Indonesia. Saat ini peluang bagi Indonesia untuk menarik dana investor asing yang hengkang dari Jepang. Dengan bunga yang masih tinggi dan potensi ekonomi besar, Indonesia tentu semakin menarik di mata investor asing. “Justru ini kesempatan yang kami upayakan menarik investasi dari Jepang ke Indonesia,” kata Bambang. 

Pendiri CRECO Research Institute Raden Pardede juga memperkirakan tingkat bunga rendah, atau bahkan negatif di banyak negara lain, akan membuat Indonesia kebanjiran masuknya dana asing. Namun, mayoritas mengalir ke surat utang, terutama Surat Utang Negara (SUN) karena imbal hasilnya menarik.

Menurut Raden, pemerintah semestinya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI). Sebab, investasi jenis ini lebih aman untuk membiayai defisit transaksi berjalan ketimbang portofolio yang mudah keluar. “Jangan hanya mau menarik investasi portofolio,” kata pengurus Dewan Penasihat Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) ini kepada Katadata, Selasa (16/2).

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement