Persoalannya, di dalam sistem ekonomi global yang saling terhubung dalam rantai pasokan (supply chain), setiap negara akan sulit untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Semestinya pemerintah membuat kebijakan yang dapat memfasilitasi perdagangan. Ini karena di era jejaring produksi global, kinerja ekspor semakin terkait dengan impor. ?Hambatan impor akan mengurangi kemampuan mengekspor juga,? kata dia.

Secara politis, semangat nasionalisme ini memang menjual. Makanya, dalam kampanye politik isu ini sering mengemuka dengan alasan kemandirian dan terbebas dari kepentingan asing. Apalagi, kata Arianto Patunru dan Sjamsu Rahardja, pasca-krisis ekonomi 1998 ada stigma anti-IMF, karena dianggap telah memberikan resep yang salah untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Bukan cuma IMF, stigma ini pun merembet ke investasi asing.

Dalam kajian yang diterbitkan baru-baru ini, keduanya pun menyebut, proteksionisme naik daun seiring dengan turunnya daya saing Indonesia. Terutama setelah merosotnya harga komoditas dunia. Pasalnya, lebih dari setengah nilai ekspor non-migas Indonesia berasal dari produk komoditas. Begitu era ini berakhir, maka daya saing Indonesia pun turun. Pada saat yang bersamaan, industri manufaktur mendapatkan tantangan dari Cina, terutama industri yang berbasis tenaga kerja seperti alas kaki dan tekstil.

Patunru dan Rahardja menyebut, kebijakan pemerintah di bidang manufaktur dalam beberapa tahun terakhir cenderung melihat ke dalam (inward oriented). Pengembangan industri, melalui berbagai kebijakan proteksionis, diarahkan untuk menguasai pasar domestik, yang memang terbesar di kawasan. Namun, itu justru menghilangkan kesempatan untuk menjadi bagian dari rantai produksi global.

Sementara, ekonomi Indonesia sampai saat ini masih menderita penyakit kronis, mulai dari minimnya infrastruktur energi, logistik, kurang berkembangnya sektor jasa, termasuk tidak jelasnya konsistensi aturan dan perundang-undangan di bidang ekonomi. Padahal, investasi dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, mendorong produktivitas dan daya saing, serta mengatasi keterbatasan terhadap teknologi.

?Investasi luar negeri juga dapat membantu neraca pembayaran yang lebih sehat, mengurangi ketergantungan pembiayaan defisit neraca berjalan dari modal portofolio yang bergejolak,? kata Haryo.

Akankah Presiden Jokowi melakukan reformasi kebijakan ini? Saat menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dinilai mampu melakukan terobosan untuk mendorong kegiatan bisnis. Pelaku pasar berharap Jokowi dapat membawa kebijakan ekonomi yang ramah pasar. Persoalannya, yang muncul darinya justru sinyal ketidakkonsistenan.

Di depan forum bisnis dunia, World Economic Forum, dia menyatakan terbuka terhadap investor asing. ?Jika Anda ada masalah, silakan telepon saya,? kata Presiden dalam pertemuan itu. Tapi selang dua hari kemudian, pernyataannya itu berkebalikan. Di forum Konferensi Asia Afrika, dia mengkritik keberadaan lembaga internasional, seperti  IMF, Bank Dunia, serta ADB.

Di satu pihak mendukung investasi dan integrasi ke pasar global, tapi di lain pihak mementingkan kebijakan substitusi impor dan restriksi perdagangan. Padahal seperti pengalaman Indonesia pada era sebelumnya, proteksionisme justru telah membawa kepada kronisme dan perburuan rente.

Halaman:
Reporter: Aria W. Yudhistira
Editor: Arsip
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement