Tak Ada Pembebasan Bunga pada Restrukturisasi Kredit.
Restrukturisasi kredit tersebut terdiri dari penundaan pokok dan subsidi bunga. Sunarso menegaskan UMKM tak akan sepenuhnya mendapatkan pembebasan bunga, melainkan disubsidi pemerintah.
Pemerintah memberikan subsidi 6 % pada kredit UMKM di bawah Rp 500 juta pada tiga bulan pertama dan 3 % pada tiga bulan berikutnya. Sedangkan untuk kredit dengan plafon Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar, subsidi bunga diberikan 3 % untuk tiga bulan pertama dan 2 % untuk tiga bulan berikutnya.
Penundaan pembayaran pokok, menurut Sunarso, berdampak pada likuiditas bank. Sedangkan subsidi bunga membebani pendapatan. “Dengan modal subsidi bunga berjenjang tersebut, BRI membutuhkan subsidi Rp 5,8 triliun, sedangkan seluruh Himbara Rp 12,11 triliun,” ujarnya.
Sementara itu, likuiditas yang dibutuhkan untuk mengganti penundaan pokok kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 91 triliun khusus untuk BRI atau total Rp 144 triliun untuk seluruh bank BUMN.
“Tentu kami akan ajukan kepada pemerintah, tetapi kami juga akan menarik pinjaman,” kata Sunarso. “Saat ini BRI sudah mengantongi komitmen club deal dengan 13 bank asing US$ 1 miliar dan akan ditarik di Juni.”
Saat ini telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional. PP tersebut antara lain mengatur penempatan dana pemerintah pada bank peserta atau penyangga likuiditas. Namun, dalam skema pemulihan ekonomi nasional, uang yang disiapkan untuk penempatan dana tersebut hanya mencapai Rp 35 triliun.
(Baca: Pemerintah Tanggung Bunga Cicilan Nasabah Kecil, Berikut Ketentuannya)
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh menjelaskan, bank peserta yang mendapatkan penempatan dana pemerintah diharapkan dapat memberikan pinjaman ke bank lain atau yang disebut bank pelaksana yang membutuhkan likuiditas.
Pinjaman dapat diajukan dengan jaminan kredit-kredit yang sedang direstrukturisasi. Namun, tak semua bank yang sedang melaksanakan restrukturisasi debitur terdampak pandemi corona bisa serta-merta mengajukan pinjaman ke bank peserta.
Bank hanya dapat mengajukan pinjaman kepada bank peserta jika sudah tak memiliki cadangan surat berharga negara. Jika masih memiliki surat utang negara, maka bank tersebut akan diminta untuk meminjam melalui skema term repo Bank Indonesia terlebih dahulu. Adapun mekanisme perhitungan besaran jaminan tagihan kredit dan pinjaman yang dapat diperoleh diserahkan sepenuhnya kepada perbankan.
“Itu sebabnya ada aturan excess likuiditas 6 %. Jika bank pelaksana memiliki excess likuiditas lebih tinggi dari itu, kelebihannya harus direpo dulu sebelum meminta bantuan ke bank pelaksana,” kata Wimboh.
Pinjam meminjam antar bank dengan jaminan tagihan kredit ini juga dijaminkan oleh LPS. Jika bank pelaksana dinyatakan gagal, pembayaran pinjaman kepada bank peserta akan diprioritaskan oleh LPS dalam proses likuidasi.
Simulasi dan Stress Test
Meski regulator telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menjaga permodalan dan likuiditas perbankan, risiko terdapat bank gagal akibat pandemi corona tetap nyata di depan mata. Hal ini pun telah diperhitungkan pemerintah dan regulator sistem keuangan dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020.
Dalam Perppu tersebut, amunisi OJK dan LPS untuk penanganan bank bermasalah ditambah. Dalam pasal 23 ayat 1 Perppu tersebut diatur bahwa OJK antara lain berwenang untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan guna melakukan penggabungan, pengambilalihan, integrasi, dan atau konversi.
Adapun kewenangan tersebut telah diimplementasikan dalam kasus PT BPD Banten Tbk yang tengah mengalami masalah permodalan dan likuiditas. Saat ini, OJK tengah memproses merger BPD bekas Bank Pundi ini dengan PT BPD Jabar dan Banten Tbk.
Sementara kewenangan LPS ditambah, yakni boleh menerbitkan surat utang sendiri untuk memenuhi kebutuhan likuiditas dalam penanganan bank bermasalah dan mengajukan pinjaman kepada pemerintah. LPS juga dapat mengambil keputusan untuk menyelamatkan atau tidak bank selain sistemik.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menjelaskan, penentuan metode penyelamatan bank gagal akan ditentukan dalam forum KSSK jika bank tersebut masuk dalam kelompok bank berdampak sistemik. Sementara jika bank gagal masuk dalam kelompok nonsistemik, penentuan metode penyelamatan akan dilakukan oleh LPS berkoordinasi dengan OJK.
“Kami juga telah menyiapkan skenario untuk kondisi keuangan LPS saat ini, berapa bank kami mampu tangani,” ujar Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah beberapa waktu lalu.
(Baca: LPS Beri Kelonggaran, Bank Telat Bayar Premi Tak Dikenai Denda)
LPS saat ini memiliki total aset Rp 128 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 120 triliun akan dipergunakan untuk menangani perbankan jika ada yang gagal. Mekanismenya, LPS akan merepokan atau meminjam dengan aset surat berharga kepada Bank Indonesia sebesar Rp 60 triliun, sementara sisanya untuk membayarkan repo tersebut tiga bulan kemudian.
Adapun KSSK dalam laporan kajian stabilitas keuangan BI disebut telah melakukan simulasi pada tahun lalu jika terjadi permasalahan modal pada bank sistemik. Simulasi ini sebenarnya merupakan kegiatan rutin untuk memastikan KSSK siap menghadapi krisis yang mungkin terjadi.
Secara spesifik, simulasi yang dilakukan KSSK terkait proses perizinan dan pendirian bank perantara dengan melibatkan OJK, BI, dan LPS, sementara Kementerian Keuangan bertindak sebagai observer.
Hasil evaluasi simulasi menyimpulkan bahwa secara umum kerangka proses perizinan dan pendirian bank perantara cukup kokoh dan simulasi berjalan lancar.
Pembentukan bank perantara atau bridge bank merupakan satu dari tiga metode penyelamatan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Bank perantara nantinya berperan mengambil alih sebagian atau seluruh aset dan atau kewajiban bank gagal yang masih cukup baik. Sementara aset buruk pada bank gagal akan ditutup.
(Baca: Sri Mulyani Terbitkan Aturan Pinjaman LPS untuk Penanganan Bank Gagal)
Selain metode bank perantara, LPS juga dapat melakukan metode purchase and assumption dan penyertaan modal sementara dalam penyelamatan bank. Pada metode purchase and assumption, LPS akan menawarkan kepada industri untuk membayar kewajiban yang masih cukup baik atau menyatakan bersedia membayar semua kewajiban dari bank yang gagal.
Penyertaan modal sementara ini merupakan metode yang telah dilakukan oleh LPS pada proses penyelamatan Bank Century pada 2009 lalu.
Kepala Eksekutif Bidang Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana menyebutkan terdapat empat hal yang harus dilakukan perbankan agar tak jatuh terlalu dalam akibat pandemi corona. Pertama, mengidentifikasi dengan membuat analisis skenario.
Kedua, memitigasi risiko kredit dan kecukupan likuiditas. Bank harus memahami sektor ekonomi dan debitur terdampak beserta outstanding-nya, mengaktifkan early warning system dan triggers, serta menyusun skenario restrukturisasi dan upaya penyelamatan debitur.
“Ketiga, kami ingin bank-bank melakukan stress test kecukupan modal dan likuidiitas dan keempat, melakukan optimalisasi pengelolaan portofolio," jelas Heru.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menilai kondisi pandemi corona saat ini sebenarnya memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan krisis keuangan 1998. Namun, perekonomian dan sistem keuangan di Tanah Air saat ini memiliki infrastruktur lembaga dan hukum jauh lebih siap untuk mengantisipasi agar krisis tak menjalar ke sistem keuangan.
“Apa yang dilakukan pemerintah dan otoritas keuangan sudah mencukupi, tapi ini akan sangat ditentukan oleh wabah Covid-19,” ujarnya. “Karena kebijakan tentu ada batasnya.”