- Jokowi menargetkan vaksinasi Covid-19 dapat dilakukan pekan depan
- Meski demikian BPOM belum juga mengeluarkan izin darurat
- Pakar berharap pengujian dilakukan berdasarkan kaidah sains bukan politik dan ekonomi
Harapan atas vaksinasi Covid-19 terus disampaikan semua pihak, tak terkecuali Presiden Joko Widodo. Jokowi berharap izin darurat penggunaan vaksin Sinovac dapat dikeluarkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam waktu dekat.
Jika izin keluar, Presiden akan menjadi orang pertama yang disuntik vaksin. Proses tersebut dilakukan satu-dua hari setelah izin terbit dan kepastian kehalalan vaksin itu.
"Kami masih menunggu hasil pengujian dan izin penggunaan darurat dari BPOM. Diharapkan minggu ini atau minggu depan keluar," kata Jokowi saat Pemberian Bantuan Modal Kerja di Halaman Tengah Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (6/1).
Harapan yang sama juga disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Budi, yang baru menjabat dua pekan ini, mengatakan proses perizinan akan selesai dalam satu hingga dua pekan mendatang.
Dengan demikian, lanjut dia, Kementerian Kesehatan dapat melakukan persiapan tahap kedua, yaitu distribusi vaksin ke seluruh pelosok Indonesia. "Saya merasa tahap pertama mengenai penyediaan dan persetujuan vaksin bisa kita selesaikan dalam waktu satu atau dua minggu lagi," kata Budi, Rabu (30/12).
Meski belum memiliki izin, pemerintah telah menyebarkan vaksin yang dikembangkan bersama PT Bio Farma ini ke beberapa daerah. Sanksi juga disiapkan daerah bagi masyarakat yang menolak vaksinasi.
"Warga Jakarta yang menolak divaksin dendanya sanksi sebesar Rp 5 juta," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Rabu (6/1) dikutip dari Antara.
BPOM belum merespons pernyataan terbaru Jokowi. Namun sebelumnya, Kepala BPOM Penny K Lukito menyatakan, izin penggunaan darurat masih diproses. Dia juga mengatakan vaksin tersebut dibuat dari bahan-bahan yang aman bagi manusia.
"Berdasarkan hasil evaluasi mutu yang telah dilakukan, BPOM dapat memastikan bahwa vaksin ini tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya," kata Penny kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/1).
Penny mengatakan untuk menjamin mutu vaksin, pihaknya telah mengevaluasi pengawasan mulai dari bahan baku, proses pembuatan hingga produk jadi vaksin sesuai dengan standar internasional.
BPOM juga telah melakukan inspeksi langsung ke sarana produksi vaksin CoronaVac di Tiongkok dan terus mengawal keamanan vaksin meski telah izin penggunaan darurat keluar. Adapun pengujian dilaksanakan di Pusat Uji Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Aspek Sains Jadi Kunci Vaksin
Meski demikian, kritik disampaikan sejumlah pakar terhadap proses pengujian vaksin. Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menganggap jumlah sampel uji klinis sebanyak 1.620 orang terlalu sedikit.
Menurutnya, pengujian yang dilakukan dalam waktu singkat membutuhkan sampel di atas 10 ribu orang. "Butuh sampel besar karena pengamatan cuma enam bulan," kata Pandu saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (6/1).
Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang menggelar pengujian vaksin Sinovac. Uji klinis juga dilakukan di Turki dengan jumlah 7.000 sampel. Adapun pengujian serupa di Brasil dilakukan kepada 9.000 relawan.
Meski demikian Pandu khawatir hasil uji klinis RI tidak bisa digabungkan dengan uji klinis di Brasil dan Turki lantaran perlu kesepakatan dan kesamaan protokol. Selain itu, ia juga menyayangkan uji klinis hanya dilakukan di Bandung, padahal masyarakat Indonesia bersifat heterogen.
Melihat situasi tersebut, Pandu menilai efikasi vaksin belum bisa dilaporkan kepada BPOM. Semestinya, laporan oleh tim uji klinis baru sebatas kadar antibodi yang dapat diketahui melalui uji klinis fase 1 dan 2.
Adapun, informasi terkait kadar antibodi belum menjamin penerima vaksin tidak akan sakit. Oleh karena itu, perlu uji klinis fase 3 dengan jumlah sampel yang memadai untuk mengetahui efikasi vaksin. "Jadi BPOM harus menunggu hasil," ujar dia.
Sementara, Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menilai uji klinis vaksin Sinovac telah memadai dengan sampel sebanyak 1.620 orang. Apalagi menurutnya hasil pengujian dapat dikompilasi dengan data dari berbagai negara.
Meski begitu, ia menilai EUA terlalu cepat bila diterbitkan pada 1-2 pekan ini. Menurut Dicky, perlu ada laporan awal uji klinis di Indonesia sebelum EUA diterbitkan. Tanpa hal itu, vaksinasi dianggap berbahaya.
Ia pun menilai, preliminary report semestinya baru diterbitkan pada akhir atau pertengahan Januari. Setelah itu, data tersebut masih perlu dikaji oleh BPOM. "Riset vaksin harus dipimpin oleh science, tidak boleh oleh politik, ekonomi, karena ini menyangkut manusia," kata Dicky.
Adapun hasil pengujian di Turki menunjukkan efikasi vaksin Sinovac menapi angka 91,25%. Meski demikian Dicky menjelaskan ada tiga jenis keandalan yang perlu diketahui. Pertama, mengetahui seberapa besar vaksin dapat melindungi dari penyakit.
Kedua, efikasi terkait progress penyakit untuk mengetahui tingkat gejala yang dialami oleh penderita Covid-19 yang telah menerima vaksin. Ketiga, besaran efikasi vaksin untuk mencegah penularan. "Jadi kalau efiasi vaksin tidak ada, vaksin hanya mempunyai fungsi proteksi, tapi tetap bisa menular ke orang lain," ujar dia.
Oleh karena itu, Dicky mengingatkan pemerintah agar pemberian izin EUA tidak mengabaikan atau mempercepat prosedur. Bila hal itu terjadi, ia khawatir ada ketidakpercayaan vaksin Covid-19 di masyarakat.