Pusat Riset Penyakit Tropis

Christian Eijkman lahir pada 11 Agustus 1858 di Nijkerk, Belanda. Usai menuntaskan pendidikan doktoral, ia berlayar ke Semarang pada 1983 ketika mendapatkan tugas sebagai dokter militer. Eijkman sempat berpindah ke Cilacap dan Padang Sidempuan. Namun, tubuhnya ambruk oleh Malaria sehingga harus kembali ke Belanda pada 1885. 

Tiga tahun kemudian, Eijkman kembali di Jawa dengan tugas khusus. Ia mengepalai laboratorium yang baru saja dibentuk di Batavia. Kantornya meminjam satu ruangan di Groot Militair Hospitaal Weltevreden, yang sekarang dikenal dengan nama RSPAD Gatot Subroto. 

Reputasi Eijkman dan lembaga risetnya meroket dengan cepat. Lembaga riset di Batavia menjadi rumah bagi sejumlah terobosan penting di sektor medis. Tidak hanya beri-beri, Lembaga Eijkman juga aktif memburu misteri dibalik penyakit malaria. Guna menghormati kontribusinya, lab itu pun diganti nama menjadi Lembaga Eijkman pada 1938.

Pada 1942, terjadi perubahan besar di Nusantara. Jepang mengusir Belanda dan menjadi penguasa di Hindia Belanda. Tentara Jepang menangkap para dokter dan peneliti Belanda, termasuk W.K. Martens, Direktur Lembaga Eijkman kala itu. 

Tampuk kepemimpinan Lembaga Eijkman lantas diserahkan kepada Achmad Mochtar, dokter lulusan Stovia berdarah Minang. Peristiwa ini jadi perubahan besar di Lembaga Eijkman. Achmad Mochtar adalah orang pribumi pertama yang memimpin lembaga itu. 

Mochtar cuma tiga tahun memimpn Lembaga Eijkman tetapi itu jadi masa paling kelam dalam sejarah lembaga itu. Sangkot Marzuki dan Kevin Baird dalam bukunya ‘Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang’ menceritakan tentara Jepang menuduh para ilmuwan Eijkman menyabotase vaksin tetanus yang diberikan kepada para romusha. Belasan peneliti Eijkman ditangkap termasuk Achmad Mochtar. Belakangan, Mochtar bernegosiasi dengan para penangkapnya. Ia bersedia mengakui keterlibatannya dengan syarat Jepang membebaskan koleganya. 

“Achmad Mochtar telah mati sebagai pahlawan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan bagi Indonesia,” tulis Sangkot.

Lembaga Eijkman masih terus beroperasi setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, kondisi politik di era 1960-an memaksa pemerintah Orde Baru akhirnya menutup institusi itu.

Habibie Wafat
Habibie Wafat ( ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
 

Kelahiran Kembali

Sangkot Marzuki sudah menjadi peneliti terkemuka di Australia tatkala Menristek B.J Habibie memanggilnya pulang pada 1990. Dalam wawancaranya dengan The Conversation, Sangkot menceritakan Habibie mengundangnya ikut upacara kemerdekaan di Istana Negara untuk merayunya. 

Habibie ingin Sangkot berkarir di Indonesia dan membangun pusat penelitian biologi molekuler di Tanah Air. Sangkot lantas mengajukan syarat khusus. Ia ingin agar lembaga itu dibangun untuk melanjutkan warisan Lembaga Eijkman. Habibie berseru girang. Lembaga Eijkman yang mati suri selama puluhan tahun akhirnya dibentuk kembali pada 1992. Sangkot menjadi Direktur Lembaga Eijkman jilid II.

Sejak pandemi melanda Indonesia pada Maret 2019, Lembaga Eijkman punya peranan vital. Eijkman membentuk Tim Waspada Covid-19 (Wascove) dengan tugas dari hulu ke hilir. Mereka mendistribusikan alat tes, mengambil sampel, hingga memeriksanya di lab khusus. 

Eijkman juga menginisiasi penelitian plasma konvalesen untuk meningkatkan kesembuhan pasien Covid-19. Terapi ini dilakukan dengan mengambil darah eks pasien Covid-19 yang sudah sembuh empat minggu sebelumnya dan memberikannya dengan pasien Covid-19 bergejala berat. 

Salah satu kontribusi signifikan lain oleh Lembaga Eijkman adalah pengembangan vaksin merah putih. Vaksin ini disebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan vaksin lainnya. Pasalnya, Eijkman mengembangkan vaksin Merah Putih berbasis protein rekombinan yang diharapkan bisa disimpan di suhu 4 derajat celcius. Adapun vaksin mRNA yang banyak beredar saat ini harus disimpan di suhu minus.

Vaksin Merah Putih ditargetkan bisa diproduksi pada pertengahan 2022. Namun, dengan peleburan Eijkman ke BRIN, sejumlah pihak mengkhawatirkan kelanjutan vaksin Merah Putih. Selain kekhawatiran soal proyek riset strategis, nasib para peneliti di Eijkman juga menjadi kekhawatiran terkait kebijakan integrasi ini. 

Hampir 1,5 abad perjalanan Lembaga Eijkman rupanya harus berakhir di hadapan birokrasi. Bermula dari Christiaan Eijkman dan ayam-ayamnya, di satu sudut rumah sakit militer di Batavia, lembaga itu menghantam tembok tebal dari Istana.

Ironisnya, BRIN yang akan menjadi payung seluruh lembaga riset di Indonesia kini berkantor di Gedung B.J Habibie di Menteng Jakarta Pusat. Ikon sains Indonesia B.J Habibie yang dulu membangunkan Lembaga Eijkman dari tidur panjangnya kini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir lembaga penelitian terkemuka itu. 

Halaman:
Reporter: Rezza Aji Pratama
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement