Gurih Lapak Limbah Elektronik

Namun SAMPAH elektronik yang kian menggunung adalah berkah bagi Waryanto. Ratusan juta rupiah mengalir ke rekeningnya, saban pekan, dari limbah berharga ini. Dia memiliki sembilan karyawan terdiri dari enam tukang sortir dan tiga orang supir, pria 39 tahun ini telah menggelar lapak e-waste sejak 2012 lalu.
 
Waryanto menggandeng 12 pelapak lain yang tersebar di beberapa wilayah di Pulau Jawa, untuk membantu ketersediaan pasokan e-waste. Delapan pelapak memasok limbah dalam bentuk mentah, dan empat lainnya melalui proses penyortiran. Waryanto mengaku banyak mendulang cuan dari bisnis daur ulang komponen plastik yang terdapat pada perangkat elektronik.

Dalam sepekan, lapak Waryanto bisa menghasilkan plastik daur ulang --berbentuk biji plastik-- hingga 25 ton. Sebanyak 15 ton di antaranya dikapalkan ke luar negeri, dan sisanya untuk domestik. Dari jumlah itu, ia bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 100 juta.

"Pemasukan minggu ini Rp 115 juta. Rata rata Rp 100 juta per minggu," katanya saat ditemui di rumahnya, kawasan Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat.

Waryanto, salah satu pelapak limbah elektronik Rumah Tangga saat ditemui di Rumahnya. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021).
Waryanto, salah satu pelapak limbah elektronik Rumah Tangga saat ditemui di Rumahnya. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021). (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Pria asal Cepu, Jawa Tengah ini juga mendapat pendapatan ekstra dari proses pengumpulan berbagai jenis logam yang berasal dari perangkat elektronik. Seperti tembaga, kuningan, dan perak.

Dalam setahun, Waryanto mampu mengumpulkan berbagai material campuran logam hingga mencapai 20 kuintal. Dari lini bisnis ini, dia mendapat tambahan Rp 50 juta.

Masih ada lagi pemasukan dari proses pemanfaatan komponen plastik dan pengumpulan besi. Khusus untuk pengumpulan logam, dia menerapkan sistem bagi hasil dengan para karyawan yang berhasil menjual ke industri peleburan.

Saat memulai bisnis, Waryanto mengaku tak memerlukan perizinan sama sekali. Menurut dia, proses izin diperlukan jika pelapak atau pengepul memiliki mesin pengolahan.

Tanpa mesin, Waryanto hanya mengandalkan jasa pihak lain untuk melakukan proses pencacahan plastik dari perangkat elektronik menjadi biji plastik. "Saya ini nggak ada mesin. Jadi pelapak biasa saja,” ia menuturkan.

Jasa Pengelola Limbah Elektronik

Enam perusahaan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pengolah atau pendaur ulang limbah elektronik. Mereka menawarkan layanan yang berbeda-beda. Ada yang hanya mengumpulkan, dismantling, lantas ekspor. Tapi, beberapa perusahaan telah memanfaatkan logam berat dalam limbah elektronik sebagai bahan baku baru (ingot).

Satu di antaranya adalah Universal Eco. Perusahaan yang memiliki fasilitas pemulihan material di Serang, Banten ini telah mengantongi izin pengolahan limbah elektronik dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Universal Eco menawarkan teknologi ramah lingkungan untuk mengolah limbah domestik dan B3 yang bersumber dari area komersial, industri, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Perusahaan melayani konsumen dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Banten, Jawa Timur, dan lainnya.

Head of Specific Waste Universal Eco, Alifia Intan Safitri, mengatakan pemerintah telah menerbitkan aturan pengelolaan limbah jenis B3, dengan berbagai perizinan yang harus dipenuhi. Universal Eco telah memiliki beberapa izin mengelola limbah B3, mulai dari pengumpulan hingga pemrosesan akhir.

Pertama, proses pengangkutan limbah B3, perusahaan memiliki izin khusus untuk memindahkan limbah B3 dari suatu lokasi pengelolaan ke pengelolaan lain. Kedua, izin Tempat Penampungan Sementara (TPS) skala nasional untuk menampung limbah elektronik yang berkode (B107d).

Ketiga, izin pengolahan limbah B3 dengan metode pembakaran atau insinerasi. Proses ini menggunakan mesin incinerator atau tungku pembakaran yang dapat mengubah limbah padat menjadi abu (bottom ash dan fly ash).

Dalam proses pembakaran, perusahaan mengklaim menggunakan teknologi ramah lingkungan yakni rotary kiln incinerator. Insinerator jenis ini dapat mengurangi massa atau volume limbah, dan menghancurkan patogen berbahaya. Sisa bottom ash dan fly ash dari insinerator akan ditangani oleh perusahaan.

Universal Eco melayani beberapa konsumen industri dan produsen penghasil. Misalnya, bongkaran mesin. "Seperti di rumah sakit alat CT Scan bongkaran yang besar, kemudian mesin-mesin bongkaran dari industri juga ke kami," kata Alifia. "Kebanyakan kami menerima dalam bentuk bongkaran."

Perusahaan berencana memperluas lini bisnis, yang menyasar pengolahan dan pemanfaatan limbah elektronik dari rumah tangga. Proyek ini ditargetkan dapat terealisasi pada awal 2022.

Tujuannya, mempermudah masyarakat yang bingung memperlakukan atau membuang e-waste. "Kalau ditaruh di rumah berbahaya. Mau dibakar di area sekitar rumah, juga nggak bagus," Alifia menambahkan. Ia meyakinkan, teknik insinerasi yang dimiliki perusahaan aman.

Tumpukan limbah elektronik di tempat penampungan sementara limbah elektronik milik Waryanto. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/202
Tumpukan limbah elektronik di tempat penampungan sementara limbah elektronik milik Waryanto. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/202 (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Universal Eco memiliki TPS khusus untuk limbah elektronik yang berlokasi di Bogor dan Serang. Di Serang, tempat penampungan berada di satu kawasan dengan area pengolahan. Perusahaan membuka peluang kerja sama dengan mitra potensial yang telah mengantongi izin pemanfaatan limbah elektronik sektor rumah tangga. Sebab, izin yang dimiliki sejauh ini masih sebatas pada pengolahan.

Untuk jasa pengolahan limbah elektronik, saat ini Universal Eco melayani lebih dari 50 perusahaan skala industri. Perusahaan mampu mengolah limbah elektronik hingga 3 metrik ton dalam setahun.

Pada 2022, perusahaan menargetkan pengolahan limbah elektronik meningkat hingga 5 metrik ton. Tambahan 2 metrik ton diproyeksikan berasal dari pengelolaan limbah elektronik skala rumah tangga. "Insinerator yang kami punya berkapasitas 1 ton per jam. Pembakarannya sesuai jenis limbah," ungkap Alifia.

Selain mengolah limbah elektronik dengan metode insinerasi, Universal Eco juga memiliki program re-use (penggunaan kembali) dan recycle (daur ulang) sampah plastik. Artinya, tidak semua sampah dibakar. "Kalau memang infeksius, nggak bisa dimanfaatkan lagi, harus dibakar." Sebaliknya, sampah yang masih bisa dipakai, seperti plastik, akan manfaatkan.

Peneliti Madya Pengelolaan Sampah di Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sri Wahyono, menjelaskan standar pengelolaan e-waste diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik dan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut dia, kedua beleid tersebut cukup memadai. Namun perlu ketentuan dan pedoman turunan. Dari regulasi itu, pemerintah bisa menyusun peta jalan, petunjuk pelaksanaan (juklak), dan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan e-waste.

Sri menilai perlu ada kebijakan extended producer responsibility (EPR) dalam peta jalan. Ketentuan ini mengatur tanggung jawab produsen dan importir elektronik terhadap produk yang dibuat atau dijual ketika telah menjadi sampah. Misalnya, mewajibkan mereka menarik kembali (take back) produk bekas, dan melakukan proses daur ulang.

Namun, mekanisme penarikan kembali memerlukan fasilitas dropbox, Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS B3), dan pengelola e-waste yang berizin. Selain itu, perlu lembaga keuangan yang mengatur pembiayaan kegiatan daur ulang.

Masyarakat sebagai sumber e-waste juga wajib memilah dan mengumpulkannya. Umumnya, e-waste yang berasal dari rumah tangga masuk ke sektor informal untuk diambil material yang bernilai seperti emas, timbal, logam, dan lainnya. Sisanya, dibiarkan menumpuk begitu saja. Sehingga berpotensi mencemari air, tanah, dan membahayakan masyarakat.

Timbunan limbah elektronik rumah tangga diprediksi terus meningkat setiap tahun. Mengutip keterangan Waste from Electrical and Electronic Equipment (WEEE) Forum via Eurekalert misalnya, produksi e-waste secara global meningkat setiap tahunnya hingga 2 metrik ton atau 3 hingga 4%, bahkan pada 2021 e-waste di dunia diprediksi mencapai 57,4 juta metrik ton.

Sri menilai hal tersebut terjadi seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan perkembangan gaya hidup. Peningkatan jumlah e-waste harus dibarengi dengan upaya pengelolaan yang berkualitas oleh perusahaan. Bukan oleh sektor informal yang ilegal dan justru mencemari lingkungan.

Daur Ulang di Jepang

Kenaikan pertumbuhan ekonomi telah meningkatkan penggunaan peralatan rumah tangga seperti televisi, air conditioner (AC), kulkas, dan mesin cuci. Masalah baru pun timbul ketika orang berganti perangkat elektronik, ke mana perangkat lama harus dibuang?

Pada masa lalu, menurut Sri Wahyono, sebagian besar peralatan rumah tangga di Jepang berakhir di TPA begitu saja. Padahal, di dalamnya mengandung material berharga seperti besi, aluminium, kaca, dan lain-lain. Di sisi lain, peralatan tersebut juga mengandung senyawa kimia berbahaya seperti logam berat dan gas berbahaya chlorofluorocarbon (CFC).

Maka, dibuatlah beleid mengenai Home Appliance Recycling Law (Undang-undang Daur Ulang Peralatan Elektronik Rumah Tangga). Peraturan tersebut diundangkan pada Mei 1988, dan mulai berlaku pada April 2001. Regulasi ini untuk mendukung daur ulang peralatan elektronik rumah tangga. Dan terutama, mendorong konsumen, retailer, industri, dan importir untuk bertanggung jawab.

Merespon aturan baru itu, tujuh industri peralatan rumah tangga membentuk dua kelompok. Grup pertama melibatkan Matsushita-Toshiba. Sedangkan grup kedua adalah aliansi Hitachi, Sanyo, Sharp, Mitsubishi, dan Sony. Pengelompokan ini mempermudah produsen dalam menangani limbah elektronik.

Masing-masing grup kemudian membuat jejaring daur ulang dengan membangun fasilitas depot pengumpulan, fasilitas daur ulang, dan menyusun skema pembiayaan daur ulang. Peralatan rumah tangga yang menjadi subjek regulasi adalah peralatan elektronik berukuran besar. Contohnya, AC, televisi (jenis plasma, LCD, maupun CRT), refrigerator (kulkas) dan freezer, serta mesin cuci dan pengering.



Pembagian tanggung jawab penanganan limbah elektronik.

1. Penghasil Sampah (konsumen dan pelaku bisnis)
Konsumen bertanggung jawab mengirimkan barang bekasnya ke penjual dengan membayar biaya untuk pengumpulan, transportasi, dan daur ulang (recycling fee). Besaran recycling fee bervariasi antara US$ 10 sampai US$ 40.

2. Penjual (retail)
- Penjual wajib mengumpulkan kembali barang yang dijual (take back). Atau dengan cara meminta konsumen membawa barang bekas ketika membeli produk baru.
- Selanjutnya, penjual wajib mengirimkannya ke lokasi take-back yang telah ditentukan produsen.

3. Produsen atau Importir
- Mendaur ulang sesuai kriteria daur ulang. Saat ini telah berdiri sedikitnya 45 industri daur ulang dan 380 lokasi take-back.
- Saat mendaur ulang, produsen wajib menangani CFC yang digunakan sebagai pendingin dan insulasi panas pada AC dan kulkas.

4. Asosiasi Peralatan Elektronik
- Mendaur ulang barang milik produsen dan importir yang tidak diketahui, atau barang yang diproduksi industri kecil.

Menurut Sri, regulasi daur ulang peralatan rumah tangga di Jepang berjalan cukup efektif. Hal itu tercermin dari besarnya laju daur ulang peralatan rumah tangga di Negeri Sakura. Pada 2016 misalnya, tingkat daur ulang AC sebesar 92 persen, TV CRT 73 persen, TV LCD dan plasma 89 persen, kulkas dan freezer 81 persen, serta mesin cuci dan pengering 90 persen. "Jepang cukup bagus regulasi dan aplikasi pengelolaan e-waste-nya," kata Sri.

Pemerintah Jepang, bahkan, membuat aturan khusus tentang pemanfaatan limbah elektronik rumah tangga berukuran kecil. Sebab, sampah jenis ini mengandung sejumlah logam berharga seperti besi, alumunium, tembaga, dan precious metal (logam berharga).

Sebelumnya, sampah ini hanya dipungut kandungan besi dan aluminiumnya. Sisanya, tidak didaur ulang, biasanya langsung dibuang di TPA. Padahal, peralatan elektronik rumah tangga ini juga mengandung timbal dan logam berat lain yang berbahaya bagi lingkungan.

Karena itulah, pada 2012, Jepang menerbitkan peraturan Small Home Appliance Recycling Law (Undang-undang Daur Ulang Peralatan Rumah Tangga Berukuran Kecil). Peraturan itu dikenal juga dengan the Act on the Promotion of the Recycling of End-of-life Small Electronic Devices and Other Electrical Appliances.

Menurut Sri, regulasi tersebut mendukung sebuah sistem yang berorientasi pada insentif. Insentif diberikan kepada konsumen, pelaku bisnis, pemerintah kota, penjual, dan operator tersertifikasi untuk mengembangkan metode pengumpulan dan daur ulang mereka sendiri atau melalui kerja sama.

Di sisi lain, kandungan material berharga pada limbah jenis ini justru memungkinkan untuk meraup keuntungan. Peralatan elektronik yang menjadi subjek peraturan ini antara lain ponsel, komputer, tablet, smartphone, kamera digital atau kamera video. Selain itu, mesin permainan stasioner/mesin permainan portabel, perekam IC pemutar audio kecil, memori USB/hard disk, terminal buku elektronik/kamus elektronik, serta kabel aksesoris.
 
Menurut Sri, regulasi ini mewajibkan masyarakat Jepang untuk memilah dan mengumpulkan limbah elektronik skala kecil. Hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan pengelolaan peralatan elektronik diatur dalam peraturan tersebut.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement