- Pengelolaan limbah elektronik belum banyak mendapat perhatian, padahal merupakan jenis sampah dengan bahan berbahaya dan beracun.
- Daur ulang limbah elektronik menyebabkan berbagai penyakit serius seperti kanker, penyakit kulit, cacat lahir.
- Indonesia dapat mencontoh regulasi industri daur ulang limbah elektronik di Jepang.
Iring-iringan truk berwarna oranye mulai menyebar di kawasan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, menjelang tengah hari, Sabtu, 11 Desember 2021. Aroma tak sedap makin menjadi-jadi.
Gunungan sampah yang semakin hari kian meninggi, seolah diburu untuk menggapai langit yang tengah biru. Dengan luas area 117,5 hektare, Bantargebang memang harus menerima kiriman sampah hingga 7.800 ton, saban hari. Itu belum termasuk sampah ekstra dari sisa banjir yang sekitar 800-1000 ton.
Sampah bekas makanan dan plastik mendominasi. Namun, di antara tumpukan plastik tersebut terdapat beberapa sampah elektronik atau dikenal dengan electronic waste (e-waste).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, e-waste yang dihasilkan rumah tangga di Indonesia sekitar 2 juta ton sepanjang 2021. Pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari total e-waste tersebut.
Pemerintah mengakui penanganan e-waste di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Padahal, pengelolaan e-waste yang kurang tepat bisa berbahaya. Sisa limbah akan mengancam keberlangsungan lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Sebab, sampah jenis ini bisa mengandung zat seperti merkuri, mangan, timbal, lithium, dan kadmium yang berbahaya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun & Berbahaya (B3) Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien Ratnawati mengatakan pemerintah terus berupaya agar pengelolaan e-waste di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dimulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga pemanfaatannya wajib mengikuti tata cara pengelolaan limbah B3.
Pengelolaan e-waste kata dia dapat dilakukan langsung oleh produsen penghasil maupun pihak ketiga, terutama yang telah memenuhi syarat sebagai pengelola limbah B3. "Jika akan diangkut maka harus menggunakan pengangkutan limbah B3," kata Vivien Rabu (21/12/21).
Secara administrasi, setiap pengelola e-waste wajib mencantumkan pengelolaannya dalam dokumen Persetujuan Lingkungan yang dimiliki. Pengelola harus mengajukan persetujuan teknis terlebih dulu ke Direktorat Jenderal pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3).
Mekanisme pengelolaan e-waste yang bersumber dari sampah rumah tangga sedikit berbeda. Tahap penyimpanan dan pengumpulan e-waste rumah tangga tetap mengikuti rezim sampah, sampai pada titik tertentu. "Misalnya di tempat penampungan sampah elektronik sementara yakni dropping point." Tahap selanjutnya, dari dropping point harus diperlakukan sebagai limbah B3.
Pengelolaan limbah elektronik juga dapat dilakukan dengan mengekspornya ke negara lain, terutama yang memiliki fasilitas atau teknologi ramah lingkungan. Namun, mekanisme ini harus mengikuti prosedur notifikasi sebagaimana tertuang dalam Konvensi Basel. Konvensi Basel mengatur tentang Perpindahan Limbah Lintas Batas. Indonesia telah meratifikasinya melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993.
Secara prinsip, e-waste dibedakan dalam dua kategori berdasarkan asalnya yakni industri dan rumah tangga. Limbah elektronik industri, kini, menjadi salah satu aspek yang diperhitungkan dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER). Adapun PROPER adalah tolok ukur kinerja pengelolaan lingkungan perusahaan.
Sedangkan e-waste yang dihasilkan rumah tangga, pengelolaannya diatur dalam peraturan daerah (perda). Pemerintah daerah (pemda) harus mendorong pembangunan dropping point di setiap wilayah. Ketentuan mengenai hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah spesifik.
Pemerintah juga mencanangkan pengumpulan sampah elektronik melalui program-program pengumpulan di dropping point. Salah satunya, tersedia di kantor Kementerian Lingkungan Hidup di Kebon Nanas, Jakarta Timur, dan Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat.
"Kami akan terus berupaya mensosialisasikan dan mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan pengumpulan limbah elektronik," Vivien menambahkan.
Selain itu, ia menghimbau agar pengelolaan e-waste menggunakan teknologi bersih dan memenuhi baku mutu lingkungan. Sebab, jenis limbah ini tidak dapat dibakar begitu saja. “Selain itu juga tidak disarankan untuk ditimbun di dalam tanah,” kata dia. Pasalnya, semua limbah elektronik mengandung logam berat.
Menurut Vivien setiap logam berat mempunyai sifat berbeda, termasuk titik didihnya. Sehingga, bila tidak dikelola dengan benar, maka akan berdampak pada kesehatan manusia. Pencemaran bisa datang dari asap hasil pembakaran (open burning), atau logam berat yang masuk ke tanah dan air tanah.
Awas Pengelolaan Limbah Elektronik Informal
Meski e-waste termasuk sampah dengan bahan berbahaya dan beracun (B3), Ketua Koalisi Persampahan Nasional Bagong Suyoto melihat, pengelolaannya belum terlalu diperhatikan. Peraturan di tingkat daerah pun belum banyak dilaksanakan. Para pemulung, pelapak, tukang sortir belum paham standar penanganan yang sesuai baku mutu lingkungan.
"Mereka enggak paham itu berbahaya atau tidak, Standar Operasional Prosedur (SOP)-nya bagaimana,” kata Bagong. “Sosialisasi ke masyarakat sangat berkurang.”
Di beberapa TPS di Indonesia, Bagong bercerita, daur ulang limbah elektronik masih banyak melibatkan sektor informal. Belum ada tempat penampungan khusus limbah elektronik. Sejauh ini, tempat pengumpulan digagas para pelapak, dengan motif bisnis.
Bagong sendiri tak memiliki data pasti seberapa banyak limbah elektronik yang dikelola oleh sektor informal. Namun ia menekankan bahwa pendataan untuk sektor informal di Indonesia merupakan hal yang sangat penting.
Adapun pada proses penyortiran dan daur ulang, kebanyakan pelapak mempekerjakan orang yang minim pengetahuan. Padahal, zat kimia yang terkandung di perangkat elektronik bekas, mengancam.
Bagong menilai, perlu advokasi atau pembinaan terhadap pengolah sampah elektronik. Mereka harus mengikuti standar prosedur, mengingat bahaya limbah B3.
Dia pun mendorong Dinas Lingkungan Hidup tingkat kota dan kabupaten proaktif turut menangani. Sebab, mustahil jika hanya mengandalkan Kementerian Lingkungan Hidup. Dia pun mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkolaborasi. "Kalau KLHK berjalan sendiri kewalahan.”
Peneliti pada Loka Penelitian Teknologi Bersih BRIN, Widyarani menilai belum ada peraturan atau standar yang mengatur khusus mengenai limbah elektronik. Peraturan pengelolaan lingkungan yang terbaru, PP Nomor 22 Tahun 2021, salah satunya mengatur tentang pengelolaan limbah B3, di mana beberapa komponen limbah elektronik tercantum di dalamnya. "Tapi kalau spesifik mengenai pengolahan limbah elektronik belum ada," ia mengungkapkan.
Secara teknis, tantangan mengolah sampah elektronik ini terdapat pada komponen yang dikategorikan sebagai B3, salah satunya logam berat. Komponen logam jika memungkinkan dapat dimanfaatkan kembali. Umumnya, logam dalam bentuk komposit atau alloy yang perlu teknik khusus pemurnian.
Adapun senyawa organik persisten, secara alami sulit diuraikan secara biologi. Sehingga, opsi pengolahannya lebih ke pengolahan fisik atau kimia. "Pengolahan fisik menggunakan insinerator, pada temperatur tinggi, untuk mencegah munculnya dioksin atau furan yang menyebabkan pencemaran udara," ujarnya.