• Blibli mengincar Rp 8,17 triliun dalam penawaran umum perdana, di mana sebagian besar akan dipakai untuk membayar utang.
  • Seperti Bukalapak dan GoTo, Blibli juga masih merugi hingga Rp 2,4 triliun saat IPO sehingga menimbulkan kekhawatiran akan arah sahamnya.
  • Bayang-bayang resesi global  dan perlambatan ekonomi juga ikut membebani performa saham Blibli.

PT Global Digital Niaga mengincar dana segar Rp 8,17 triliun lewat pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan e-commerce yang dikenal dengan nama Blibli ini akan melepas 17,8 miliar lembar saham atau setara 15 % saham ditempatkan dan disetor penuh.

Harga penawarannya Rp 410 sampai Rp 460 per lembar. Jika tidak ada aral melintang, Blibli berharap bisa resmi melantai di bursa pada 7 November 2022 dengan menyandang nama BELI.

Blibli– yang menurut cerita Komisaris Perusahaan Martin Hartono bermula dari sebuah gudang di 2011– kini sudah menjadi tiga besar e-commerce Indonesia, bersama Tokopedia dan Bukalapak. Sebagai bagian Grup Djarum, Blibli juga sudah beberapa kali melakukan ekspansi. 

Pada 2017 misalnya, perusahaan mengakuisisi layanan online travel agent (OTA) Tiket.com. Bahkan tahun lalu, Blibli mengakuisisi PT Supra Boga Lestari Tbk, pemilik jenama ritel Ranch Market.

Menurut Martin, initial public offering (IPO) ini dilakukan agar Blibli menjadi perusahaan terbuka yang lebih transparan. "Dengan rendah hati dan rasa bangga, saya mengajak hadirin turut serta dalam IPO Blibli," kata Martin.

Saat ini, 98,46 % saham Blibli dipegang PT Global Investama Andala, salah satu gurita perusahaan milik duo orang terkaya RI, Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono. Keduanya, dikenal luas sebagai pemilik Grup Djarum.

Setelah IPO, porsi kepemilikan Djarum akan terpangkas menjadi 83,69 %, sedangkan 14,95 % dimiliki publik dan sisanya dipegang oleh individu-individu. “Komitmen dari sponsor kami [Grup Djarum] akan tetap ada terus. Tidak ada niat untuk keluar,” kata Corporate Secretary and Investor Relations Blibli, Eric Alamsjah Winarta.

Infografik_Target besar Blibli di Bursa Saham
Infografik_Target besar Blibli di Bursa Saham (Katadata/ Nurfathi) 

Risiko IPO Blibli di Tengah Resesi

Momentum IPO Blibli di akhir tahun ini sebetulnya bukan tanpa risiko. Baru beberapa pekan lalu sejumlah lembaga internasional termasuk IMF memangkas pertumbuhan ekonomi global di 2023. IMF bahkan memprediksi sepertiga perekonomian dunia akan jatuh ke jurang resesi.

Sejumlah kekuatan ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Inggris dan Zona Euro diperkirakan akan terseok-seok. Kekuatan ekonomi utama di Timur, yakni Cina, juga diprediksi melambat.

Padahal, menurut CEO dan Co-Founder Blibli Kusumo Martanto, pemodal asing terutama dari AS akan menjadi salah satu target investor dalam masa bookbuilding IPO Blibli. Kusumo sepertinya cukup optimistis dengan perekonomian Indonesia, yang sedikit lebih aman. IMF menyebutkan Indonesia masih bisa bertumbuh hingga 5 %.

Ia menyitir indeks keyakinan konsumen dan Purchasing Managers Index (PMI) yang menurutnya masih cukup baik. Pada Agustus 2022, IKK Indonesia mencapai 124,7 yang artinya masih di zona aman di atas 100. Adapun PMI sektor manufaktur pada September masih ada di angka 53,7. 

“Dari data yang ada, Indonesia masih menjadi negara yang paling baik dari segi pertumbuhan ekonomi," ujar Kusumo.

Kusumo juga mengutip hasil survei Euromonitor dan Frost & Sullivan yang memperkirakan pasar industri barang konsumsi Indonesia bakal tumbuh hingga US$ 436 miliar pada 2025 mendatang. Pangsa pasar ini jauh bertumbuh dibandingkan pada 2020 lalu yang hanya senilai US$ 257 miliar. 

Lebih lanjut, Kusumo memaparkan porsi masing-masing unit usahanya dalam pangsa pasar senilai US$ 436 miliar tersebut. Blibli bisa meraup US$ 150 miliar, Tiket.com senilai US$ 41 miliar, dan Ranch Market di angka US$ 245 miliar. 

Kendati demikian, seperti Bukalapak dan Goto, Blibli masih punya pekerjaan rumah untuk memperbaiki neracanya. Sampai saat ini, perusahaan masih mencatatkan kerugian Rp 2,48 triliun hingga Juni 2022. Angka ini bahkan meningkat tajam dari rugi pada periode yang sama di tahun sebelumnya, senilai Rp 1,18 triliun. 

Di sisi lain, pendapatan Blibli memang meningkat signifikan. Pada paruh pertama tahun ini, pendapatan perusahaan melonjak 123% dari Rp 2,99 triliun pada Juni 2021 menjadi Rp 6,71. Sementara beban pokok meningkat 121% dari Rp 2,77 triliun menjadi Rp 6,15 triliun.  

Dana Segar IPO Blibli untuk Bayar Utang

Salah satu poin menarik dalam IPO Blibli adalah rencana penggunaan dana hasil penawaran umum. Mengutip prospektus, lebih dari setengah dana IPO ini akan digunakan untuk membayar utang ke BCA dan BTPN. Nilainya mencapai Rp 5,5 triliun atau 67% dari total dana IPO. 

Adapun utang dengan BCA akan jatuh tempo pada Oktober 2023 dan dengan BTPN pada September 2023. Setelah membayar utang, sisa dana IPO akan digunakan untuk modal kerja perusahaan. Artinya, dengan tenggat jatuh tempo kurang dari setahun, Blibli memang sedang berpacu dengan waktu agar terhindar dari jurang default (gagal bayar). Apalagi jika melihat total ekuitas, Blibli saat ini hanya mengantongi Rp 8,1 triliun. 

“Apabila dana hasil Penawaran Umum tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan di atas, maka Perseroan akan menggunakan sumber dana lain berupa pinjaman,” tulis Manajemen Blibli dalam prospektus.

Analis pasar modal Kanaka Hita Solvera, Andhika Cipta Labora mengatakan penggunaan dana hasil IPO untuk membayar utang sebetulnya bukan rencana yang baik. Menurutnya, dana IPO seharusnya dipakai untuk ekspansi bisnis, yang justru bukan menjadi prioritas Blibli dalam IPO. 

“Tapi pembayaran utang ini bisa membuat beban bunga utang berkurang, sehingga laba bersih bisa meningkat,” ujar Andhika pada Katadata.

Andhika juga menilai pasar akan cenderung membandingkan saham BELI dengan dua perusahaan teknologi yang sudah lebih dulu melantai, yakni GOTO dan BUKA. Sebagai gambaran, saham GOTO dan BUKA sempat melejit saat IPO tetapi langsung terjerembab. Hingga Kamis (20/10) misalnya, saham BUKA diperdagangkan di kisaran Rp 260 per lembar, sangat jauh dari harga perdana di Rp 850.

Menurut Andhika, tidak menutup kemungkinan tren buruk ini juga dialami oleh Blibli. “Pelaku pasar akan berhati-hati di pasar teknologi. Baiknya investor melakukan strategi jangka pendek terlebih dahulu di BELI, karena sedang ada ketidakpastian ekonomi global,” katanya. 

Sementara itu, Analis Ajaib Sekuritas M. Julian Fadli mengatakan Blibli sebetulnya sangat prospektif karena mendapatkan dukungan dari kekuatan grup besar.  "Blibli didukung oleh GDP Venture yang merupakan modal venture Grup Djarum," kata Julian.  

Julian menuturkan Blibli menyediakan pengalaman konsumen yang terintegrasi, baik secara daring maupun luring. Per 31 Desember 2021, menurut Frost & Sullivan, Blibli.com menduduki peringkat nomor satu dalam kategori makanan segar dan elektronik dalam omnichannel B2C, dan peringkat nomor dua dalam otomotif dan B2B, di antara pelaku e-commerce lain di Indonesia. 

Blibli juga mencatatkan pertumbuhan total processing value (TPV)–indikator yang menghitung total transaksi yang benar-benar terjadi– dari seluruh segmen. Secara Keseluruhan dari tahun 2020 hingga 2021 TPV tumbuh sebesar 44,7% secara tahunan. 

Menurut Julian, pertumbuhan TPV sejalan dengan pendapatan bruto menjadi sebesar Rp 9,51 triliun, atau meningkat 97,7% secara tahunan dari periode yang sama tahun lalu, Rp 4,81 triliun. 

"Meskipun masih memiliki kinerja negatif dari sisi bottom line, Blibli berhasil mencatatkan rasio solvabilitas yang membaik, sehingga akan meningkatkan kinerja keuangan yang positif ke depan," ujar Julian dalam laporan hasil risetnya.

Reporter: Amelia Yesidora

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami