Layanan pembayaran paylater atau buy now pay later (BNPL) semakin populer di kalangan anak muda. Kemudahan akses teknologi untuk membeli barang dengan menunda pembayaran, membuat anak muda tak sadar menumpuk utang dan potensi terjerat kemiskinan.
Paylater merupakan layanan untuk menunda pembayaran yang marak di e-commerce mulai pandemi Covid-19. Paylater terus tumbuh makin signifikan. Lihat saja, dana yang disalurkan perusahaan pembiayaan lewat paylater tumbuh 89% pada Agustus dibanding tahun lalu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat transaksi paylater mencapai Rp 26,37 tirliun per Agustus baik yang disalurkan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Khusus bank, jumlah rekening bertambah sejuta dalam sebulan, menjadi 18,95 juta.
Di balik tren penggunaan paylater, terdapat kekhawatiran over-indebtedness alias penumpukan utang di kalangan muda. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan salah satu lembaga yang menyoroti itu karena berpotensi makin melemahkan ekonomi kelompok muda di banyak negara.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai paylater tumbuh subur di kalangan muda seiring tren nilai YOLO atau "you only live once". Prinsipnya, bersenang-senanglah selagi ada kesempatan. Beda pandangan dengan generasi sebelumnya yang mengikuti pepatah: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Huda menyatakan paylater menjadi salah satu layanan pembiayaan digital dengan potensi yang menjanjikan. Namun, penggunaan paylater masih perlu ditingkatkan terutama dalam memahami manfaat, tanggung jawab, serta risiko dari paylater.
"Dampak paylater juga sangat tergantung dari penggunaannya. Jika digunakan dengan bijak, paylater dapat membantu dalam mengatur cash flow dan memenuhi berbagai kebutuhan, bahkan membantu meningkatkan skor kredit," kata Huda.
Sebaliknya, bila penggunaan paylater atau pinjaman online lainnya tidak dikelola dengan baik, maka malah berdampak negatif. "Termasuk potensi kredit macet hingga penurunan skor kredit," kata dia.
Penggunaan paylater bagi kalangan muda beragam alasan. Gani (24) merupakan salah satu anak muda pengguna aktif paylater yang memilih metode itu demi menyiasati gaya berpakaian sekaligus iming-iming mendapatkan bonus.
Gani sudah lima kali menggunakan fitur Shopee PayLater untuk membeli pakaian. Bulan ini saja dia membeli enam potong kaos dan tiga buah celana dengan harga sekitar Rp 1 juta.
“Kalau langsung bayar sampai Rp 1 juta itu berasa banget (beratnya). Jadi pakai paylater biar enggak berasa banget bayarnya,” ujarnya saat berbincang dengan Katadata, beberapa hari lalu.
Nilai rata-rata belanja pakai paylater Gani sekitar Rp 1 juta dalam satu kali transaksi. Dia memilih skema cicilan tiga bulan, sehingga tiap bulan cicilannya sekitar Rp 350 ribu per bulan. “Saya pilih cicilannya yang masih terjangkau, jadi enggak susah bayarnya,” kata Gani.
Gani sadar betul kalau bunga dan denda keterlambatan pembayaran paylater sangat tinggi. Sehingga dia berusaha selalu membayar tepat waktu setelah gajian.
Bunga paylater ini lebih tinggi dibandingkan kartu kredit. Suku bunga kartu kredit ditetapkan oleh Bank Indonesia secara tahunan, saat ini maksimal 1,75%. Sedangkan bunga paylater tergantung pada perusahaan penyedia layanan mencapai 2,25% - 4%.
Besarnya bunga paylater ini sehingga tak heran membuat mereka yang menunggak, terlilit bunga utang dan denda yang jumlahnya bisa berkali lipat dari pinjaman. Kisah viral di Tiktok bisa menjadi Gambaran jeratan bunga utang paylater. Seorang perempuan muda yang belanja dengan paylater Rp 450 ribu tanpa membayar, setahun kemudian tagihan utang pokok, bunga dan dendanya menjadi hampir Rp 18 juta.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai paylater tumbuh subur di kalangan muda seiring tren nilai YOLO atau "you only live once". Prinsipnya, bersenang-senanglah selagi ada kesempatan. Beda pandangan dengan generasi sebelumnya yang mengikuti pepatah: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Hanya dengan sekali klik di layar, para pengguna bisa membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. “Konsumsi mereka hanya berdasarkan keinginan saat ini dimana mumpung masih hidup dan bekerja mereka akan konsumsi sesuai dengan keinginan mereka,” kata dia.
Ancaman Paylater Buat Anak Muda Terjerat Utang dan Jatuh Miskin
Tren penggunaan paylater yang menjerat anak muda berutang ini menjadi perhatian banyak otoritas negara. Di Amerika Serikat dengan mayoritas pengguna merupakan kelompok milenial dan Gen Z, penggunaan paylater mencapai US$ 2.133 juta atau sekitar Rp 32.990 triliun sepanjang 2023.
Kebanyakan pengguna paylater di Amerika ini merupakan para anak muda yang tak punya akses keuangan. Penelitian Federal Reserve Bank of New York menunjukkan 60% pengguna paylater di Amerika adalah mereka yang kondisi keuangannya rentan atau bermasalah sehingga bank menolak pengajuan kredit mereka.
Riset yang terbit awal 2024 itu menyebutkan terdapat kebiasaan yang berbeda antara pengguna paylater dari golongan ekonomi dan stabil. Biasanya pengguna dari kelompok ekonomi rentan miskin, cenderung menggunakan paylater berulang-ulang, sekitar lima kali dalam setahun. Sedangkan mereka yang stabil keuangannya, hanya sekali saja menggunakan paylater.
“Pengguna yang lebih rapuh cenderung menggunakan layanan ini untuk melakukan pembelian yang sering,” tulis para peneliti tersebut.
Riset dari lembaga keuangan mikro nonprofit di Selandia Baru, Ngā Tāngata, juga mengatakan kelompok masyarakat miskin yang paling bergantung dengan paylater. Kepala Eksekutif Ngā Tāngata Natalie Vincent mengatakan mereka yang miskin ini semakin sulit karena bebannya bertambah membayar bunga dan denda keterlambatan pembayaran.
Paylater ibarat lingkaran setan kemiskinan. Semakin miskin seseorang, semakin besar kemungkinan orang tersebut menggunakan paylater untuk membeli kebutuhan penting buat kehidupan sehari-hari. Dari riset itu, sebanyak 50% pengguna yang termasuk kelompok menengah bawah menggunakan paylater untuk membeli produk-produk kebutuhan yang penting buat mereka.
Pengguna paylater di Indonesia, masuk kategori kelompok unbanked atau mereka yang tak punya akses keuangan perbankan seperti kartu kredit. Jumlah masyarakat yang unbanked mencapai lebih dari 75%. “Kelompok ini yang menjadi pangsa pasar fintech, termasuk paylater,” kata Huda.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan pinjaman online dan paylater bisa dikaitkan dengan kebutuhan dana cepat masyarakat, khususnya mereka yang menjadi kelompok miskin baru karena kehilangan pekerjaan.
Menurut Bhima masyarakat rentan miskin karena kebutuhan mendesak mereka tidak membaca syarat dan ketentuan pinjaman. "Mau bunga tinggi, denda mahal, mau data pribadi diambil, ya mereka pasrah saja."
Kelompok rentan miskin ini yang tidak dibarengi dengan literasi keuangan membuat mereka terjerat dalam lingkaran utang berbunga besar dari paylater dan pinjaman online. “Itu cukup berbahaya. Harus diingatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam lingkaran kemiskinan,” ujar Huda.
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan kelompok yang tak punya akses keuangan pengguna paylater yang berasal daeri ekonomi yang rentan berpotensi terjebak dalam kemiskinan atau kesulitan ekonomi jangka panjang. “Mereka yang literasi keuangannya buruk (dan pengguna paylater atau pinjol) berpotensi masuk dalam lingkaran kemiskinan,"
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan pengguna paylater ini berpotensi terjebak dalam kemiskinan atau kesulitan ekonomi bila mengalami gagal bayar dan tak menyelesaikannya. “Kalau gagal bayar, kondisi mereka makin sulit karena akses keuangan jadi makin terbatas untuk pinjaman jangka panjang seperti Kredit Perumahan Rakyat (KPR),” kata Ester.
Hingga Juli, ada 1,5 juta kontrak pembiayaan bermasalah atas layanan paylater. Mereka berpotensi kesulitan mengajukan kredit di bank seperti Kredit Perumahan Rakyat alias KPR. Adapun Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia atau REI mencatat, sebanyak 40% pengajuan ditolak karena calon nasabah pernah menunggak utang online.
Pengajuan KPR bisa ditolak jika riwayat kredit pada Sistem Layanan Informasi Keuangan alias SLIK diberi label merah atau tidak baik. SLIK menjadi salah satu tolok ukur bagi perbankan untuk melihat karakteristik nasabah yang akan mengajukan kredit rumah.
Huda juga mengkhawatirkan bom waktu ledakan kredit macet dari paylater. Saat ini tingkat kredit macet atau nonperforming financing (NPF) gross paylater berada pada level 2,82%. Tingkat pengembalian kredit masih di bawah ambang batas yang ditetapkan OJK yakni 5 persen.
Huda memprediksi NPF bisa meningkat dalam beberapa bulan ke depan seiring dengan pola konsumsi yang terus meningkat. Ketika pembayaran cicilan utang sudah lebih dari pendapatan para pengguna, pembayaran cicilan menjadi macet. “Maka potensi gagal bayar juga bisa lebih tinggi ke depan,” kata dia.
Aturan mitigasi risiko melalui credit scoring, kata dia, perlu diperketat terutama yang diterbitkan fintech P2P Lending. “Credit scoring masih cukup lemah yang membuat potensi gagal bayar lebih tinggi,” kata dia.
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) OJK Friderica Widyasari Dewi menjelaskan kekhawatiran terjerumusnya kemampuan ekonomi generasi muda memang menjadi perbincangan di forum-forum internasional.
Saat ini, OJK sedang menggodok aturan untuk membuat penyaluran paylater yang lebih bertanggungjawab. "Kami mengimbau kepada Lembaga penyalur agar memberikan inklusi yang bertanggung jawab. Jadi jangan yang sekadar memberikan," kata Friderica yang akrab dipanggil Kiki.
Ke depannya, OJK mensyaratkan agar penyaluran dana melalui tahapan yang lebih ketat. "Anak-anak muda ini kan potential customer-nya bank di masa mendatang , jangan sampai terjerat utang dan tercatat di SLIK itu bisa mengganggu masa depannya," kata dia