“Kemudian ada standar spesifikasi buat penerima insentif. Seperti motor listrik minimum daya listrik 2kWh bisa digunakan untuk berkendara 60 km dalam satu kali pengecasan penuh. Ini sudah harus ditetapkan supaya enggak overpricing,” katanya. 

Sisi manufaktur pun tak lepas dari upaya transisi energi tersebut. Fabby menjelaskan pengembangan industri kendaraan listrik roda dua akan lebih mudah dibandingkan dengan kendaraan listrik roda empat. Pasalnya, komponen motor listrik hampir sama dengan motor konvensional, hanya berbeda di sisi baterai dan sistem kontrol.

“Pengembangan motor listrik lebih murah, lebih populer, dan teknologinya bisa diadaptasi serta dikembangkan. Jadi economic of scale-nya bisa lebih cepat dari industri mobil listrik,” jelasnya. 

Di sisi lain, pemberian insentif bagi mobil listrik belum dianggap perlu. Pasalnya, subsidi justru akan dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang jumlahnya sedikit di Indonesia. Fabby menjabarkan 80% penjualan mobil di Indonesia berada pada rentang harga Rp 500 juta. Sementara, rata-rata harga mobil listrik itu di rentang Rp 600 hingga Rp 800 juta. Bila diberi insentif Rp 80 juta, maka harganya masih di atas Rp 500 juta. 

“Ini enggak masuk tingkat daya beli masyarakat Indonesia. Artinya insentif enggak ada pengaruh dalam penetrasi pasar, pengurangan subsidi BBM, atau transisi energi,” ujarnya. 

Agar Subsidi Tak Bebani APBN

Sudut pandang berbeda diungkapkan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal alias KPBB. Ahmad Safrudin selaku Direktur Eksekutif KPBB berpendapat pemberian subsidi bisa membebani keuangan negara. Pemerintah disarankan memikirkan kebijakan fiskal serupa yang tidak membebani APBN.

Menurut Ahmad, pemerintah harus menetapkan standar emisi bagi kendaraan bermotor yang diproduksi dan dipasarkan di indonesia. Nantinya, standar itu menjadi dasar perhitungan insentif bagi kendaraan yang memenuhi standar yang ditetapkan. Sebaliknya, pemerintah juga bisa menerapkan disinsentif bagi kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi dalam bentuk cukai karbon kendaraan bermotor. 

Insentif dapat menurunkan harga jual kendaraan yang memenuhi standar emisi atau di atas standar emisi. Dana emisi ini diambil dari cukai karbon kendaraan yang gagal memenuhi standar emisi, sehingga harga jualnya menjadi mahal dan tidak membebani APBN. 

“Skema ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing dan penetrasi kendaraan listrik, atau men-trigger penetrasi kendaraan rendah karbon yang diproduksi dan dipasarkan di Indonesia,” kata Ahmad.

Ahmad mencontohkan harga mobil listrik baterai dengan harga pokok Rp 350 juta per unit bisa dijual dengan harga hingga Rp 715 juta.  Ini setelah menghitung PPh impor, PPN, PPnBM, bea balik nama, pajak kendaraan, dan keuntungan penjual atau pabrik. Ini bisa terjadi tanpa skema insentif atau disinsentif standar emisi.

Sama halnya dengan mobil listrik hybrid yang bengkak dari harga pokok Rp 320 juta menjadi Rp 654 juta dan mobil BBM yang bengkak dari Rp 242 juta menjadi Rp 593. Dari angka tersebut, mobil BBM masih lebih terjangkau dari mobil listrik.

Tapi dengan skema insentif dan disinsentif cukai karbon, KPBB menghitung harga mobil listrik baterai bisa turun menjadi Rp 585 juta, mobil listrik hybrid Rp 580 juta, dan mobil BBM lebih mahal di angka Rp 613 juta karena dikenai cukai karbon. 

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement