• Transaksi janggal Rp 300 triliun berasal dari dugaan tindak pidana kepabeanan dan perpajakan yang ditangani Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal.
  • Pengusutan terhadap pertumbuhan harta tak wajar abdi negara harus tetap dilakukan.
  • Tak tertutup kemungkinan pengenaan sanksi pidana TPPU bagi abdi negara dengan harta fantastis yang terbukti menerima gratifikasi dan korupsi.

Selama sebulan terakhir, perhatian publik tersedot pada kasus penganiayaan anak pejabat pajak yang berujung pada penyingkapan harta tak wajar para abdi negara di Kementerian Keuangan. Kasus tersebut bergulir hingga Rabu (8/3) lalu. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyingkap transaksi janggal senilai Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan.

Mahfud juga mengatakan transaksi tersebut melibatkan setidaknya 467 pegawai Kemenkeu dan terjadi sejak 2009. "Sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai," kata dia.

Pernyataan Mahfud diamini oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. "Itu akumulasi dari hampir 200 Informasi Hasil Analisis (IHA) yang kami sampaikan kepada Kemenkeu sejak 2009 sampai 2023," kata Ivan kepada Katadata, Rabu (8/3).

Menteri Keuangan Sri Mulyani kebakaran jenggot. Ia menyatakan tak pernah menerima laporan ihwal transaksi janggal yang ada di dalam tubuh institusi yang ia pimpin. Pernyataan ini ditanggapi PPATK dengan menyerahkan dokumen yang diminta pada Senin (13/3) lalu. Menurut Ivan, dokumen tersebut berisi rekapitulasi data dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sepanjang 2009-2023.

PERTEMUAN PPATK DAN KEMENKEU
PERTEMUAN PPATK DAN KEMENKEU (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp. 

Babak Kedua Transaksi Janggal

Sehari setelah menyerahkan ratusan dokumen IHA, Ivan menjelaskan nilai jumbo itu bukan berarti nilai dari hasil tindak penyimpangan seperti korupsi yang dilakukan oleh pegawai Kemenkeu. Ia mengatakan nilai itu terkait dengan dugaan tindak pidana asal kepabeanan dan perpajakan yang ditangani Kemenkeu sebagai penyidik.

"Ini lebih karena posisi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal, sama seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Nilainya juga besar-besar," ujar Ivan di Kementerian Keuangan, Selasa (14/3).

Tapi, ia tak menampik adanya aktivitas mencurigakan dari pegawai Kemenkeu. “Kami menemukan sendiri terkait dengan pegawai, tapi itu nilainya tidak sebesar itu, nilainya sangat minim," kata dia.

Kekecewaan diungkapkan oleh pakar TPPU dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih. Ia menyayangkan sikap PPATK yang seolah-olah memberikan harapan tinggi bagi masyarakat untuk membongkar harta tak wajar yang dimiliki oleh para abdi negara. "Aneh, tiba-tiba belok ke kejahatan pajak dan cukai. Mengapa baru ngomong sekarang setelah beberapa hari," kata Yenti pada Katadata melalui sambungan telepon, Rabu (15/3).

Menurut Yenti, sikap PPATK tersebut dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas lembaga intelijen negara tersebut. Yenti memaparkan, transaksi janggal yang dimaksud PPATK sebetulnya dapat dikategorikan sebagai TPPU menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam UU itu disebutkan tindakan menyembunyikan, menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, hingga kepemilikan sebenarnya atas hak kekayaan bisa dikategorikan sebagai TPPU. Selanjutnya, harta kekayaan yang diperoleh dari korupsi juga adalah satu dari 26 tindak pidana asal yang dikategorikan sebagai TPPU.

Sementara itu, menurut guru besar, kejahatan pajak dan kejahatan kepabeanan yang disebut oleh PPATK belakangan seolah-olah hendak menutup polemik ihwal harta tak wajar yang dimiliki abdi negara dari korupsi yang dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya. Adapun kejahatan pajak dan kejahatan kepabeanan yang dimaksud dapat berupa penyelewengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh subjek pajak dan penyelundupan barang mewah dari luar negeri untuk menghindari pembayaran cukai. Kedua kejahatan ini bisa saja tak melibatkan pegawai di tubuh Kemenkeu tersebut.

Padahal, menurut dia, publik sangat menginginkan Kemenkeu tegas melakukan bersih-bersih terhadap kejanggalan aset abdi negara. Salah satu contohnya adalah kekayaan eks Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto yang tumbuh lebih dari Rp 1 miliar per tahun seperti ditunjukkan dalam Databoks berikut:

Mengejar Efek Jera dari Pertumbuhan Harta tak Wajar Abdi Negara

Yenti tak ingin kotak pandora ini ditutup begitu saja. "Pengusutan harus berlanjut. Ini dari mana uangnya, apakah mereka menerima gratifikasi atau korupsi?" kata dia. Menurut dia, pelacakan dapat dimulai dari pengusutan harta 25 pegawai yang dikategorikan berisiko tinggi di dalam tubuh Kemenkeu. Dari situ, kata dia, barulah pemerintah dapat menerapkan reformasi di sistem Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara alias LHKPN.

Namun, menurut Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, mengurai unsur pidana dari transaksi janggal itu tak mudah. Ia memberi contoh kasus temuan harta tak wajar Rafael Alun Trisambodo senilai Rp56,1 miliar. "untuk kasus Rafael saja masih penyidikan. Artinya harus dicari tindak pidananya seperti apa,” ujar Yudi pada Katadata, Senin (13/3).

Sementara itu, menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter Kaban, masih ada asa untuk menerapkan sanksi bagi abdi negara yang terindikasi terlibat TPPU. Dalam UU 1/2023 diatur sanksi bagi pelaku TPPU dengan pidana penjara maksimal 15 tahun penjara, dan bagi penerima atau pengguna hasil TPPU diberikan pidana penjara maksimal lima tahun penjara.

Lola mengatakan sudah ada kasus TPPU yang diadili tanpa ditemukan tindak pidana asalnya. Namun, kata dia, kasus itu belum dapat menjadi rujukan untuk proses hukum. “Meski belum pasti apa tindak pidana asalnya, setidak-tidaknya harus ada dugaan dulu. Namun, ada perbedaan standar mengenai dugaan ini di masing-masing penegakan hukum,” kata Lola pada Katadata melalui sambungan telepon, Senin (13/3).

Ia menjelaskan, TPPU biasanya menggunakan sistem penyamaran. Untuk menjalankan aksi ini, butuh minimal dua aktor sebagai gatekeeper atau para profesional yang menjaga pelaku atau klien dengan melakukan manipulasi data. Aktor lainnya adalah nominee atau perantara yang berperan menyamarkan kepemilikan aset pelaku. Ia merujuk pemilik Jeep Rubicon yang tinggal di sebuah gang sempit dalam kasus Rafael sebagai contoh peran nominee.

Untuk menerapkan efek jera dari perbuatan para abdinya yang diakui oleh Ivan dari aktivitas mencurigakan yang dilakukan oleh pegawai Kemenkeu masih berliku. Mantan Kepala PPATK Yunus Husein telah jauh-jauh hari menduga kerugian negara yang ditimbulkan dari transaksi mencurigakan itu tak mencapai triliunan. "Hanya sebagian kecil transaksi mencurigakan yang terbukti menyalahi hukum, tak mencapai 10%," kata dia.

Adapun, bila dihitung-hitung, duit senilai Rp 300 triliun itu setara 11% penerimaan negara pada tahun lalu sebesar Rp 2.262 triliun. Nilai ini diperoleh dari penerimaan pajak, kepabeanan dan cukai, serta pendapatan negara bukan pajak, seperti dirangkum dalam Databoks berikut:

 

Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Dini Pramita

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami