• Polusi udara menyebabkan kenaikan angka penyakit respirasi atau gangguan pernapasan.
  • Usia penduduk Indonesia rata-rata berkurang 1,2 tahun akibat konsentrasi partikel debu halus di udara.
  • Polusi udara di Jakarta menelan biaya ekonomi Rp 21,5 triliun.

Jelang akhir pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar dipanggil Presiden Joko Widodo. Keduanya membahas soal kemarau yang berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hingga polusi udara.

Dalam beberapa pekan terakhir, menurut data IQ Air, kualitas udara di Ibu Kota sangat buruk. Pada Minggu (18/6), kualitas udara Ibu Kota masuk dalam kategori ungu alias sangat tidak sehat.

Hantu Bronkopneumonia pada Anak

Sudah hampir sepekan Ayu Purnama (32) tidak nyenyak tidurnya. Nabila, anaknya yang baru berusia dua tahun menderita infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA hingga harus diopname di rumah sakit di Bekasi, Jawa Barat.

Meski anak ketiganya itu telah diopname selama empat hari, kondisinya belum stabil. "Kadang masih demam dan batuk, susah napas. Masih rewel," kata dia saat dihubungi pada Rabu pekan lalu.

Kondisi serupa juga dialami Margaretha (36). Anak satu-satunya divonis mengidap bronkopneumonia sehingga harus diopname. "Sudah tiga malam kami di rumah sakit. Pasien anak yang kena ISPA dan pneumonia juga banyak di sini," kata dia saat dihubungi Selasa lalu.

Menurut Rere, panggilannya, sudah hampir dua pekan ia berjibaku dengan sakit sang anak. Awalnya, dokter menduga anak semata wayangnya itu hanya menderita flu sehingga hanya diberi parasetamol untuk menurunkan demam dan sejumlah vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Dua hari berlalu, demam sang anak justru semakin tinggi disertai dengan batuk, sesak napas, dan nyeri di dada. Rere bergegas kembali ke dokter. Kali ini, dokter mendiagnosis anak laki-lakinya itu mengidap ISPA dan diminta beristirahat di rumah.

Lewat dari lima hari, menurut Rere, tak ada perkembangan berarti. "Malah demam sampai 40 derajat Celcius, batuk-batuknya enggak sembuh, napasnya makin sesak, nafsu makan hilang, dan tambah nyeri di dada," kata dia.

Ia langsung membawa anaknya yang berusia sembilan tahun tersebut ke rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Setelah melalui beberapa uji laboratorium dan uji swab/PCR, dokter mendiagnosa anaknya mengidap bronkopneumonia.

Bronkopneumonia merupakan infeksi yang terjadi pada bronkus dan alveolus yang menyebabkan pengidapnya mengalami sesak napas karena paru-paru tidak mendapatkan suplai udara yang cukup.

Bronkus merupakan saluran yang memastikan udara masuk dengan baik dari trakea ke alveolus. Sementara itu, alveolus adalah kantong udara kecil yang berfungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida.

Situs Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan menyebut bronkopneumonia merupakan salah satu jenis pneumonia yang paling umum terjadi pada anak-anak. "Penyakit ini bahkan menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak akibat infeksi pada anak-anak di bawah lima tahun (balita)," tulisnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui polusi udara menyebabkan angka penyakit respirasi jadi tinggi. Ada empat faktor risiko penyakit paru yaitu polusi udara, riwayat merokok, infeksi berulang dan genetik. "Polusi udara menyumbang 15% sampai 30%," kata dia.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sekaligus Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Susanto menekankan pentingnya pencegahan dalam upaya mengatasi permasalahan polusi udara. "Upaya pencegahan dengan menurunkan polusi udara harus dilakukan semua pihak sehingga kasus respirasi dapat dikurangi," kata dia.

Budi Gunadi pun mengatakan pemerintah sudah mendorong upaya promotif preventif untuk mencegah masyarakat mengalami dampak dari polusi udara. "Upaya-upaya ini dilakukan dengan melibatkan lintas sektor. Karena ini permasalahan lingkungan dan kita ada di dalamnya, ini harus diatasi bersama-sama," ucapnya.

Polusi Udara Jakarta
Polusi Udara Jakarta (Muhammad Zaenuddin|Katadata)
 

 



Polusi Udara Pangkas Usia Penduduk Indonesia

Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators terdapat lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis, dan asma.

Data tersebut menunjukkan PPOK memiliki 3,2 juta kematian, pneumonia 2,6 juta kematian, kanker paru 1,8 juta kematian, tuberkulosis 1,2 juta kematian, dan asma dengan 455 ribu kematian di seluruh dunia.

Mengutip data Kementerian Kesehatan, di Indonesia dari 10 penyakit dengan kasus terbanyak, empat di antaranya merupakan penyakit respirasi. Penyakit itu antara lain PPOK yang mencatatkan 78,3 ribu kematian, kanker paru dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia dengan 52,5 ribu kematian, dan asma yang sudah mencatatkan 27,6 ribu kematian.

Data yang sama menunjukkan risiko terjadinya PPOK akibat polusi udara mencapai 36,6%, risiko pneumonia mencapai 32%, asma 27,95%, kanker paru 12,5%, dan tuberkulosis sebesar 12,2%.

Selain itu, menurut Kementerian Kesehatan, usia penduduk Indonesia rata-rata berkurang 1,2 tahun akibat konsentrasi partikel debu halus di udara.

Padahal, berdasarkan pantauan Indeks Kualitas Udara (AQLI) yang dirilis University of Chicago, Amerika Serikat, sejak Februari 2023, konsentrasi partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer) atau PM2.5 di udara Jakarta selalu melampaui nilai baku yang ditetapkan WHO.

Adapun indeks AQLI ini didapatkan dari 33 stasiun pemantau milik KLHK, dan 8 stasiun milik BMKG.

Status Udara Lima Kota Besar Indonesia 2022
Status Udara Lima Kota Besar Indonesia 2022 (IQ Air 2022)
 

Pada 20 Mei, konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta tercatat 71,7 mikrogram per meter kubik (µg/m3), sekitar 14,2 kali lebih tinggi dari nilai baku yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

Lalu, pada 29 Mei, konsentrasi partikel yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 µm (mikrometer) itu tercatat sebesar 69,3 µg/m3 atau lebih tinggi 13,86 kali dari standar WHO.

Menginjak Juni, konsentrasinya tetap tinggi. Pada 2 Juni, konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta tercatat sebesar 60,3 µg/m3 atau lebih tinggi 12,06 kali dari standar WHO. Lalu, pada Selasa (20/4) pukul 04.00 WIB, konsentrasi PM2.5 tercatat sebesar 89,6 µg/m3 atau lebih tinggi 17,92 kali dari standar WHO.

Saat ini, WHO memberikan batas PM2.5 yang dapat ditolerir di udara adalah rata-rata maksimal 5 µg/m3. Paparan yang melebihi batas 15 µg/m3 selama 24 jam tak boleh lebih dari tiga sampai empat hari per tahun.

Acuan ini direvisi pada 22 September 2021. Sebelumnya, WHO menetapkan paparan PM2.5 rata-rata di udara yang dapat ditolerir adalah 10 µg/m3 dan paparan 24 jam sebesar 25 µg/m3.

Menurut catatan AQLI, PM2.5 merupakan sumber polusi utama Jakarta dari waktu ke waktu. Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menjelaskan partikel PM2.5 adalah partikel halus yang dihasilkan dari semua jenis pembakaran seperti asap pembakaran kendaraan bermotor, pembakaran PLTU batu bara, pembakaran sampah terbuka, dan dari pengerjaan konstruksi.

Ia mengatakan konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta Raya mencapai 25 µg/m3 atau lima kali lebih besar dari batas aman yang direkomendasikan WHO. "Kondisi ini memprihatinkan karena banyak warga Jakarta yang masuk kelompok rentan seluruhnya harus hidup di tengah udara yang berada di atas ambang batas aman dan tidak menyadarinya," kata dia.

Pada 2022, AQLI menahbiskan Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Bogor sebagai lima kota besar dengan angka polusi udara yang tinggi di negara ini. Selain itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan tingkat polusi udara tertinggi di Asia Tenggara, mengalahkan Laos dan Vietnam.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement