• Kekeringan selalu melanda setiap tahun hingga menimbulkan bencana, namun tak pernah dianggap serius.
  • Kelangkaan air mengancam produk domestik bruto Indonesia.
  • Konservasi air  dan tanah  yang terintegrasi dari hulu dan hilir dapat meningkatkan keberhasilan.

Enam orang di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, meninggal karena kekeringan tepatnya di Distrik Lambewi dan Agandugume. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanganan Bencana Abdul Muhari mengatakan kekeringan membuat gagal panen sehingga warga di dua distrik itu kesulitan mendapatkan bahan makanan sejak 3 Juni 2023.

Selain itu, kata dia, kekeringan juga menyebabkan warga di dua distrik itu mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. "Sehingga mengakibatkan enam orang, terdiri dari lima orang dewasa dan seorang bayi meninggal diduga karena diare dan dehidrasi," kata dia, Senin (31/7).

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pusat Pengendali dan Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Puncak per 30 Juli 2023, bencana kekeringan tersebut telah berdampak pada kurang lebih 7.500 jiwa.

Iklim di Indonesia masuki puncak kekeringan
Iklim di Indonesia masuki puncak kekeringan (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/tom.)
 

Kekeringan, Peristiwa Hidrometeorologi yang Kerap Menjadi Bencana

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika pada Maret 2023 mengumumkan Indonesia akan memasuki musim kemarau panjang. Kondisi ini dipengaruhi oleh fenomena El Nino-Southern Oscillation. "Pada semester kedua terdapat peluang 50%-60% akan menuju fase El Nino," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pada akhir Maret lalu.

Menurut Dwikorita, El Nino akan bertahan sampai Desember 2023 dengan puncak pengaruhnya pada Agustus hingga September 2023.

Fenomena El Nino diartikan sebagai anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, yang lebih tinggi atau lebih panas daripada rata-rata normalnya. Saat sedang dipengaruhi oleh El Nino, daerah pertumbuhan awan bergeser dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudera Pasifik bagian tengah sehingga menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.

Pada akhir Juli 2023, BMKG mengumumkan 63% wilayah Indonesia sudah mengalami musim kemarau. Selain itu, ada 21 daerah di Indonesia yang sudah tidak diguyur hujan selama lebih dari dua bulan, yang tersebar di lima provinsi, yaitu Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali. Puluhan daerah tersebut memiliki curah hujan 0-10 milimeter per bulan sehingga berada dalam kategori rawan kekeringan ekstrem.

Kabupaten Puncak, Papua Tengah, tidak tercantum dalam daftar 21 daerah tersebut. Namun, Papua Tengah termasuk dalam daerah yang sudah mengalami musim kemarau. Salah satunya ditandai dengan berkurangnya curah hujan sejak Juli 2023.

BMKG juga mengumumkan peringatan dini kekeringan meteorologis untuk Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. "Wilayah tersebut berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada klasifikasi siaga dan awas untuk dua dasarian ke depan," dikutip dari BMKG pada akhir Juli 2023.

Kekeringan meteorologis adalah peristiwa kekeringan yang disebabkan curah hujan berada di bawah normal, atau di bawah 100 mm per bulan. Kondisi ini dapat menimbulkan kekeringan hidrologis yaitu berkurangnya kandungan air tanah dan air permukaan.

Menurut peneliti dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional atau PREE-BRIN I Wayan Susi Dharmawan, kekeringan merupakan peristiwa yang sering diremehkan. Padahal, kekeringan dapat berubah menjadi bencana yang mengancam lahan pertanian, persediaan air bersih, mengganggu kesehatan, hingga mengancam nyawa.

Sepanjang 2022, BNPB mencatat ada empat kejadian bencana kekeringan. Dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia yang dirilis BNPB pada 1 Januari 2023, ada 371 kota dan kabupaten yang masuk dalam kategori kelas risiko tinggi dalam Indeks Risiko Bencana Kekeringan.

Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan Tahun 2022
Peta Indeks Risiko Bencana Kekeringan Tahun 2022 (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Berdasarkan laporan PBB dalam Konferensi Air di New York pada Maret lalu, diperkirakan sekitar 3,5 juta orang meninggal setiap tahun akibat kelangkaan air yang mendatangkan berbagai penyakit akibat sanitasi dan kebersihan yang tidak memadai.

Bencana yang diakibatkan oleh kekeringan tak hanya sebatas dehidrasi, diare atau kelaparan akibat kegagalan panen. Kekeringan hidrologis dalam waktu lama akibat pemakaian air tanah berlebih, yang diperburuk oleh musim kemarau, dapat mengakibatkan penurunan muka tanah 1-20 sentimeter (cm) per tahun, yang berpotensi mengakibatkan kerugian sebesar Rp 619 triliun per tahun menurut laporan Yayasan Lahan Basah 2019.

Ancaman terhadap Indonesia Emas 2045

Berdasarkan hasil studi dari Bank Dunia dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengenai ketahanan air Indonesia menuju 2045, berbagai risiko dan ancaman terhadap ketahanan air di Indonesia berpotensi menurunkan angka produk domestik bruto atau PDB sebesar 7,3% di 2045.

Padahal, menurut Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, untuk mencapai target Indonesia Emas 2045, pertumbuhan ekonomi harus di antara 6% sampai 7% per tahun. Salah satu penopangnya adalah sektor pertanian yang harus memberikan kontribusi sebesar 10% hingga 11%.

Studi Bappenas dan Bank Dunia itu menyebutkan berbagai risiko ancaman terhadap ketahanan air Indonesia di masa depan. Ancaman ini antara lain kelangkaan air dan kualitas air baku yang kian menurun, pengambilan air tanah secara tak terkendali yang berkorelasi terhadap potensi penurunan muka tanah, dan degradasi lahan.

Dalam studi itu disebutkan kelangkaan air menjadi tantangan bagi Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Sedangkan Papua, Kalimantan, dan Sumatera berjibaku dengan peningkatan akses ke layanan air, sanitasi dan kebersihan (WASH). Padahal, produksi beras nasional sebagian besar berasal dari Jawa dan Sumatera yang termasuk dalam kelompok rawan kelangkaan air.

Secara umum, menurut studi itu, pasokan air yang tidak memadai dapat mengurangi PDB sebesar 2,5% pada 2045. Selain itu, jika tidak ada tindakan untuk mengatasi pengambilan air tanah yang berlebihan, yang dapat berakibat pada penurunan tanah dan meningkatnya intensitas banjir, diprediksi akan mengurangi PDB sebesar 1,42% pada 2045.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement