- Hampir seluruh partai pendukung Prabowo Subianto adalah pro-pemerintah Jokowi.
- Sinyal hubungan renggang PDIP dan Jokowi terlihat sejak awal pekan ini.
- Ada kemungkinan PDIP gagal hattrick alias menang Pemilu untuk ketiga kalinya.
“Kamu lihat acaranya tidak? Perkuat akar rumput, turun ke bawah bersama dengan rakyat! Karena bagi PDI Perjuangn, politik itu bukan high politics. Politik sebenarnya itu berada di akar rumput,” ucap Megawati Soekarnoputri, diceritakan oleh Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, di sela acara penerimaan penghargaan Museum Rekor Indonesia di Kabupaten Bogor, Selasa (15/8).
Titah ketua umum Partai Banteng ini bukan tanpa sebab. Akhir pekan lalu, tepatnya 13 Agustus 2023, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa menyatakan resmi mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2024.
Padahal, sebelumnya, Golkar dan PAN bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu. “Dengan dukungan resmi PAN dan Golkar ke Pak Prabowo, hari ini otomatis KIB bubar,” kata Ketua Majelis Pertimbangan PPP Muhammad Romahurmuziy dalam pernyataan pers di hari yang sama.
Partai berlogo Ka’bah tersebut sudah menetapkan akan masuk dalam poros PDIP, mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Poros koalisi yang tadinya ada empat, yaitu Koalisi Perubahan, KIB, Kebangkitan Indonesia Raya, dan poros PDIP, kini menjadi hanya tiga.
Berikut peta koalisi politik terbaru:
“Kami punya sejarah panjang sebagai partai yang dididik dan dibesarkan dengan terbiasa dikeroyok secara politik,” kata Ketua DPP PDIP Said Abdullah dalam pernyataan pers, merespon manuver koalisi gemuk Prabowo.
Panas Dingin antara Petugas dan Ketua Umum Partai
Bila jeroan pendukung Prabowo ditilik lebih lanjut, hampir seluruhnya adalah partai pro-pemerintahan. Bahkan saat mendapat dukungan tambahan dari PAN dan Golkar, Prabowo mengatakan, “Kami di sini tidak malu-malu mengatakan bahwa kami tim dari pemerintahan yang dipimpin oleh Bapak Jokowi.”
Namun, ia membantah adanya campur tangan Presiden Joko Widodo di balik manuver dua partai yang mendukungnya itu.
Dari internal PDIP, diwakili oleh Hasto, telah menepis kabar Jokowi memilih Prabowo untuk menggantinya. Menurut dia, PDIP yakin Jokowi adalah sosok yang paham falsafah bangsa.
“Bahwa klaim-klaim yang dinyatakan secara tidak benar, hanya untuk mendapat dukungan elite itu, sudah langsung dibantah oleh Presiden Jokowi,” katanya, seperti dikutip dari Antara.
Tidak berselang lama, pada Selasa lalu, Partai Banteng mengkritik salah satu program pemerintah yakni food estate alias lumbung pangan. Menurut Hasto, program yang berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ini adalah bagian kejahatan lingkungan.
“Kami memberi suatu catatan yang sangat kuat terkait upaya yang dilakukan Presiden Jokowi untuk membangun food estate. Hutan-hutan justru ditebang habis dan food estate-nya tidak terbangun dengan baik,” kata Hasto di Bogor. Ia tidak menyebut pihak yang menyalahgunakan proyek tersebut.
Di hari yang sama, anak Jokowi sekaligus Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka tidak hadir dalam rapat kepala daerah yang digelar DPD PDIP Jawa Tengah. Gubernur Jawa Tengah sekaligus capres usungan PDIP pun tidak hadir dalam acara tersebut tapi mereka berhubungan telepon pada keesokan harinya.
Ketidakhadiran Gibran pun menimbulkan pertanyaan, apakah ini hukuman PDIP untuk trah Jokowi dan respon atas wacana Gibran dipasangkan sebagai bakal cawapres Prabowo Subianto? Gibran merespon kabar tersebut dengan pernyataan bahwa dirinya tengah mengikuti Sekolah Partai di Lenteng Agung saat rapat diadakan.
“Insya Allah hubungan dengan DPP PDIP baik-baik saja. Saya juga baru dipanggil minggu lalu semua kepala daerah di Lenteng Agung,” katanya pada Rabu malam, dilansir dari Kompas. “Aku malah enggak ngerti ada konsolidasi, enggak ada undangan masuk.”
Said Abdullah berkelit Gibran tidak diundang karena ini adalah acara buat bakal calon legislatif. Ketua DPP PDI ini juga membantah tidak diundangnya Gibran dalam agenda ini menandakan ada jarak antara Wali Kota Surakarta dengan partainya.
“Enggak kok. Wong Mas Gibran ketika pelatihan juru kampanye di internal itu penampilannya luar biasa. Masa sampai di luar mau diusik lagi? Kan kasihan Mas Gibran, dia perlu tenang juga jadi wali kota,” kata Said, dilansir dari Tempo.
Peneliti politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal berpendapat, tidak ada keretakan pada internal PDIP. Mulai dari pertemuan Megawati dengan Gibran di Solo hingga ia diangkat menjadi juru kampanye Ganjar, ia menyebut Gibran punya peran penting dalam kemenangan Ganjar. Bahkan nantinya ini bisa menjadi modal politik Gibran di kemudian hari.
Nicky optimistis PDIP tidak akan meninggalkan Jokowi di tengah manuver dan kabar retaknya hubungan mereka. “Ini jelas sekali, karena dia salah satu kader terbaik yang bisa menjabat presiden dua periode,” kata Nicky dalam sambungan telepon dengan Katadata.co.id.
Analisis berbeda dilontarkan pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komarudin. Kejadian awal hingga pertengahan pekan ini menjadi indikator jelas keluarga Jokowi mengambil batas dengan partai pengusungnya.
PDIP pun sebenarnya sudah biasa menyerang Jokowi, meski mereka adalah partai penguasa. Ujang juga mengamati benturan Megawati dan Jokowi ini sudah terjadi sejak periode pertama kepemimpinan 2014. Hubungan naik turun ini biasa terjadi dan ia menilai akan baik bila PDIP beralih menjadi oposisi di pemerintahan.
“Analisa saya, capres yang diusung PDIP belum tentu didukung oleh Jokowi. Hari ini sudah kelihatan, PDIP usung Ganjar, sedangkan Jokowi ke Prabowo. Kita lihat saja, semua masih serba mungkin,” kata Ujang Komarudin.
Jurus Banteng Merah
Para pengamat politik sepakat kepemimpinan Megawati Soekarnoputri masih tetap kuat dan solid di tengah gempuran gemuk koalisi Prabowo. Megawati sudah duduk di bangku tertinggi PDIP sejak 20 tahun lalu hingga sekarang.
Menurut Nicky Fahrizal, hingga kini masih belum ada politisi PDIP yang bisa menggantikan Megawati. Selain itu, partai ini masih akan kuat karena cenderung selektif dalam memilih koalisi. Semakin ramping koalisi, maka semakin efisien anggaran dan strategi yang akan dilancarkan.
PDIP sebagai salah satu partai politik senior di Indonesia juga memiliki sudut pandang berbeda dari partai lainnya. Bila kebanyakan partai memiliki kultur transaksional, alias bakal memperoleh suatu jabatan atau keuntungan lain saat masuk dalam koalisi. PDIP tidak melihat seperti itu.
“Yang mereka lihat itu harus berjuang dulu, tunjukkan bahwa satu barisan, kemudian kalau sudah titik maksimal baru bicara soal koalisi,” kata Nicky, “Ini kan tidak nyambung dengan partai lain.”
Kendati kalah dalam porsi koalisi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menilai PDIP punya kans menang di Pemilu 2024, asal bisa mengelola pemilih. Prabowo dengan modal dukungan lima partai politik, di sisi lain juga tidak bisa menang dengan mudah. Sebab, ia melihat basis massa Golkar, PAN, PKB, hingga Gerindra tidak serta merta memilih elit partai atau capres yang disepakati elit partai.
Salah satu langkah PDIP yang ia nilai cukup tepat adalah ketika Ganjar turun ke basis pemilih Nahdlatul Ulama. Belum lagi Ganjar masuk dengan mendekati sosok Yenny Wahid, anak Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
“Hampir 50% orang Indonesia dekat dengan NU,” katanya. “Yenny Wahid dan ibunya, Sinta Nuriyah, adalah representasi simbolik yang krusial.”
Sama halnya dengan Burhanuddin, pengamat politik Universitas Trunojoyo Surokim Abdus Salam menilai langkah politik koalisi gemuk pendukung Prabowo bisa saja berbalik menjadi simpati untuk PDIP. Apalagi bila kemudian PDIP bisa mencitrakan diri sebagai koalisi yang dikeroyok oleh banyak partai.
Pandangan ini berkaca pada Pilpres 2014. Jokowi yang kala itu maju sebagai calon presiden dikeroyok banyak partai pendukung Prabowo. PDIP pun memperoleh simpati karena adanya pembagian kekuatan yang vulgar dari pendukung Prabowo.
Bila dibawa ke Pemilu 2024, Surokim melihat saat ini pemilh rasional Indonesia sudah kian bertambah sehingga perilaku pemilih pun berubah. Oleh sebab itu, partai harus bisa menjaga perasaan publik agar selalu sefrekuensi.
“Semakin vulgar akomodasi kepentingan partai-partai berbagi kekuasaan tanpa bisa menjelaskan secara memadai kepada publik, maka semakin besar tanda tanya publik,” kata Surokim. “Hal itu akan mempengaruhi citra koalisi sebagai tempat mencari aman dan perlindungan.”
Ujang Komarudin lalu menawarkan sudut pandang lain. PDIP masih punya sisi yang bisa diperbaiki agar koalisi bisa semakin gemuk. “Kelihatannya PDIP terlalu dominan; berkuasa penuh dan terlalu banyak peran. Partai yang ingin bergabung jadi merasa tidak nyaman,” ujarnya.
Salah satu contohnya adalah PAN yang sudah kabur ke koalisi Prabowo, padahal sempat ingin bergabung. Begitu juga dengan Partai Golkar yang, menurut Ujang, bila bergabung dengan PDIP, tidak akan memperoleh keuntungan apapun.
“Capres, cawapres, ketua tim sukses, tidak bisa. Tidak dapat peran apa-apa. Jadi mereka (Golkar) realistis saja ke Prabowo, daripada PDIP yang dominan dan besar sendiri,” jelasnya.
Dengan suasana politik seperti sekarang, Ujang melihat ada kemungkinan PDIP gagal hattrick, menang Pemilu untuk ketiga kalinya. Pendiri Indonesia Political Review (IPR) ini menjelaskan pada Pemilu 2024 nanti akan ada pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Dari dua pemilihan, PDIP mungkin bisa unggul di legislatif. “Tapi kalau pola komunikasi PDIP seperti ini saja, wah itu bahaya bagi Ganjar. Pilpres ini agaknya berat, karena Prabowo dan pasangannya nanti di-backup oleh Jokowi,” tegas Ujang.