Button AI Summarize
  • ThorCon Power menunggu kepastian hukum untuk proyek PLTN Thorium yang akan dibangun di Pulau Gelasa, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
  • Pemerintah telah menunjuk Menko Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan sebagai Ketua Tim Percepatan Persiapan Pembangunan PLTN (NEPIO)
  • Pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan tertunda oleh Pemilu dan belum jelas kelanjutannya

Impian PT ThorCon Power Indonesia untuk segera membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Thorium pertama di Indonesia menghadapi jalan terjal. Perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) yang dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat, ThorCon International Pte Ltd, itu hingga kini belum juga mendapatkan kepastian hukum untuk pembangkit tersebut.

Menjelang pergantian tampuk kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada presiden baru, ThorCon berharap ada kepastian mengenai kelanjutan proyeknya, Perusahaan yang berdiri pada 2021 itu telah menyiapkan dana investasi Rp 17 triliun untuk membangun PLTN berbasis thorium di Pulau Gelasa, sebuah pulau tak berpenghuni yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Namun, mereka meminta kepastian hukum untuk menggelontorkan dana tersebut. “Tentunya kami menaruh harapan besar kepada Dewan Energi Nasional (DEN) yang bisa mengawal proyek ini sehingga anggaplah sesuatu yang sudah berjalan ini kalau tiba-tiba ada pemerintahan baru tidak dibubarkan,” kata Direktur Operasi ThorCon Power Indonesia Bob S. Effendi, pada 25 Oktober 2023.

Ia mengatakan energi thorium dan nuklir merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai ekonomis dan kebermanfaatan yang lebih besar dari batu bara. Dengan demikian, peralihan dari batu bara ke nuklir merupakan suatu hal yang tidak dapat terelakkan.
“Kami sudah melakukan berbagai kajian yang menunjukkan setiap dampak dari PLTN Thorium ini dapat dimitigasi dan tidak memberikan dampak yang permanen bagi lingkungan,” kata Bob.

ThorCon pernah mengusulkan agar pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk proyek PLTN berbasis thorium ini. Terakhir, perusahaan mengajukan agar proyek ini bisa masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Proyek Bernama ThorCon Molten Salt Reactor (TMSR) dengan kapasitas 500 Megawatt (MW) ini bisa beroperasi pada 2030. Oleh karena itu, dalam hitungan ThorCon, pemotongan baja pertama atau first cutting steel TMSR harus dilaksanakan pada tahun ini. Jika tak kunjung ada kepastian, perusahaan energi ini akan mencabut investasinya di Indonesia.

Pemerintah Membentuk NEPIO

Pada awal Februari lalu, pemerintah menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Ketua Tim Percepatan Persiapan dan Pembangunan PLTN di Indonesia atau Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO).
Struktur organisasi percepatan PLTN itu telah disampaikan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 250.K Tahun 2021 tentang Tim Percepatan Persiapan dan Pembangunan PLTN di Indonesia.

Organisasi tersebut akan bertanggung jawab kepada presiden RI dalam rangka persiapan dan pelaksanaan pembangunan PLTN untuk mendukung tercapainya target transisi energi dan emisi tahun 2060. NEPIO diartikan sebagai tim nasional yang bersifat lintas sektoral.
NEPIO beranggotakan Ketua Dewan Pengarah BRIN, menteri/kepala lembaga terkait, Anggota DEN serta Ketua Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN).

Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan struktur NEPIO juga mengakomodasi wakil ketua harian tim atau Ketua Pokja. Terdapat tiga Pokja dalam NEPIO. Pokja 1 urusan strategi, perencanaan dan kewilayahan. Pokja 2 membidangi perizinan, pembangunan, dan pengoperasian PLTN. Pokja 3 mengurusi hubungan kelembagaan dan masyarakat.

“Nuklir ini penting mendapat respons dari masyarakat,” kata Sekretaris Jenderal DEN kata Djoko saat konferensi pers di kantornya, Rabu (17/1).

Djoko mengatakan, pembentukan NEPIO merupakan salah satu dari 19 syarat komersialisasi nuklir oleh International Atomic Energy Agency (IAEA). Saat ini, Indonesia sudah memenuhi 17 syarat komersialisasi nuklir tersebut.

Nuklir Kini Jadi Prioritas

Pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 terkait Kebijakan Energi Nasional (KEN). Dalam Perpres 79 tahun 2014, nuklir disebutkan sebagai alternatif terakhir untuk energi baru terbarukan (EBT). Namun, kalimat tersebut kini dihapus.

“Dalam revisi KEN yang baru, nuklir sebagai pilihan terakhir sudah dihapuskan,” kata Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM yang saat itu masih dijabat Yudo Dwinanda Priadi dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI pada 15 November 2023.

Hal itu menunjukkan pemerintah Indonesia mulai serius membangun PLTN di Indonesia. Perubahan kebijakan tersebut bertujuan untuk mengejar bauran energi baru terbarukan yang masih jauh dari target.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran EBT baru mencapai 13,09% dari target sebesar 17,9% pada 2023. Sementara itu, target bauran EBT pada 2025 mencapai 23%.

Bauran EBT selalu gagal mencapai target dalam enam tahun berturut-turut. Nuklir dianggap sebagai pembangkit listrik yang bisa menggenjot EBT dan membantu mencapai target bauran energi di Indonesia.

 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengatakan pembahasan soal nuklir juga masuk dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Rencananya, nuklir akan dikembangkan secara komersial pada 2032 dengan target penambahan kapasitas hingga 9 Gigawatt (GW) pada 2060. “Pengembangan nuklir direncanakan menjadi komersial pada 2032 untuk meningkatkan keandalan sistem tenaga listrik,” kata Jisman.

Hambatan Energi Nuklir

Namun, pembangunan PLTN masih mengundang pro dan kontra, terutama dalam hal keamanannya. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR) mencatat terdapat sejumlah kecelakaan nuklir yang terjadi di berbagai negara dunia.

Kecelakaan tersebut menyebabkan uranium terlepas ke atmosfer, serta mengakibatkan kontaminasi radioaktif secara meluas di wilayah  dekat pembagkit nuklir. Kontaminasi radioaktif tersebut berpotensi memicu kanker dan katarak.

Oleh sebab itu, Yudo mengatakan, pengembangan nuklir di Indonesia harus diawasi dengan peraturan yang sangat ketat.Terdapat sejumlah lembaga yang akan bertugas untuk mengawasi implementasi energi nuklir di Indonesia.

Halaman:
Reporter: Rena Laila Wuri
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement