Ringkasan
- Menteri Kehutanan Raja Juli dan ahli konservasi Willie Smits mengunjungi lokasi persemaian aren PT ITCI Kartika Utama pada 2024, menilai aren berpotensi sebagai sumber pangan sekaligus bioetanol.
- Pemerintah berencana mengalokasikan 20,6 juta ha hutan untuk pangan dan energi, termasuk 975.000 ha hutan lindung yang dikhususkan untuk produksi bioetanol dari aren.
- Lembaga masyarakat sipil dan pakar kehutanan mempertanyakan lokasi hutan yang dipilih dan berpotensi mengakibatkan deforestasi, padahal hutan lindung memiliki fungsi ekologi dan kebencanaan yang krusial.

Mengenakan kemeja putih dan celana jeans, Raja Juli Antoni berjongkok di lokasi persemaian pohon aren milik PT ITCI Kartika Utama (ITCKU) di Kalimantan Timur pada Desember 2024 silam. Wajahnya sumringah melihat ahli konservasi Willie Smits yang sedang memegang bibit aren (Arenga pinnata). Smits yang juga pendiri Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) itu menjelaskan kepada Menteri Kehutanan soal manfaat aren untuk lingkungan dan ekonomi. Aren menurut Menhut, bisa menjadi sumber pangan sekaligus bioetanol.
“Aren juga dinilai sebagai tanaman ideal untuk rehabilitasi lahan kritis,” kata Raja Juli.
PT ITCI Kartika Utama yang dikunjungi Raja Juli merupakan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Kalimantan Timur dengan luas konsesi 173.000 ha. Perusahaan ini dimiliki oleh Hashim Djojohadikusumo melalui Grup Arsari. Dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) yang diperoleh Katadata menunjukkan PT Arsari Enviro Industri menggenggam 95% saham di PT ITCI Kartika Utama. Hashim sendiri menjabat sebagai Komisaris Utama di perusahaan tersebut.
Selain berbisnis kayu, ITCI Kartika Utama juga disebut mengembangkan budidaya pohon aren. Atas upaya ini, PT ITCI Kartika Utama bahkan menerima penghargaan dari Kementerian Kehutanan, yang diklaim berhasil meningkatkan tutupan hutan hingga 60.045 hektare pada periode 2011-2023.
Sementara itu, Wilhelmus Theodorus Maria Smits atau Willie Smits yang menemani Raja Juli dalam kunjungan itu juga merupakan orang dekat Hashim. Smits sendiri bukan orang baru di kancah konservasi di Indonesia. Ketertarikannya terhadap aren sudah dimulai sejak 1980-an saat ia mulai menetap di Tomohon. Bertahun-tahun kemudian, ia semakin dekat dengan lingkaran Istana.
Smits pernah menjadi penasihat Menteri Kehutanan Djamaluddin Suryohadikusumo di era 1992-1998. Presiden Soeharto bahkan pernah memberikan penghargaan Satya Lencana Pembangunan atas kontribusinya. Ia jadi orang asing pertama yang menerima penghargaan ini. Kedekatan Hashim dan Smits berlanjut hingga beberapa tahun kemudian. Dokumen AHU PT ITCI Kartika Utama menunjukkan ia kini menjabat sebagai Direktur perusahaan.
Hashim dan Smits sudah bertahun-tahun mempromosikan pohon aren untuk pangan dan energi. Keduanya juga berkolaborasi di Samboja, Kalimantan Timur lewat program konservasi orang utan. Saat berpidato di Oxford University pada 2016 silam, Hashim mengklaim telah menjalankan program reforestasi di hutan gundul dengan menanam pohon aren yang dipadukan dengan 1.000 spesies tumbuhan lainnya di wilayah itu. Menurutnya, pohon aren luar biasa unik karena menghasilkan lebih banyak gula dibandingkan dengan tebu dan bisa dikembangkan secara polikultur.
Obsesi Hashim dan Smits terhadap aren tampaknya menular ke Raja Juli. Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto memintanya menanam 2 juta hektare (ha) aren untuk mengejar swasembada energi lewat produksi etanol. Raja Juli juga mengumumkan bakal mengalokasikan 20,6 juta ha hutan– seluas 1,5 kali Pulau Jawa–untuk pangan dan energi. Adapun rinciannya, sekitar 975.000 ha dari hutan lindung, sekitar 7,3 juta ha di hutan produksi terbatas (HPT), sebanyak 8,5 juta ha di hutan produksi (HP), dan 3,83 juta ha lainnya dari hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).
Kepada Katadata, Raja Juli menjelaskan khusus di hutan Lindung akan diarahkan untuk ketahanan energi dan air, bukan pangan. Secara spesifik ia mencontohkan tanaman aren yang akan diolah menjadi bioetanol. Hitungan pemerintah, 1 juta ha aren akan menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol per tahun. Kebutuhan investasinya mencapai Rp150 triliun untuk penanaman 2 juta ha aren dan Rp13,5 triliun untuk pabrik bioetanol.
“Semua jenis hutan yang dipakai adalah hutan yang sudah kritis. Termasuk di kawasan hutan lindung,” kata Raja Juli kepada Katadata, Senin (17/2).
Persoalan lokasi bisa menjadi poin krusial. Sejumlah lembaga berusaha keras mencari tahu detail lokasi hutan ini, tetapi hasilnya nihil. Greenpeace misalnya, sempat bersurat kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian Kehutanan pada 15 Januari 2025. Sebulan kemudian, surat balasan dari Kementerian tiba tetapi tidak memberikan jawaban yang terang benderang. Surat itu hanya menyebutkan data bisa diperoleh di situs www.sigap.menlhk.go.id.
“Setelah kita buka [website Sigap] tidak ada data terkait proyek 20,6 juta hektare itu,” ujar Juru Bicara Greenpeace Iqbal Damanik kepada Katadata, Jumat (14/2).
Ketika Katadata meminta konfirmasi, Menteri Kehutanan mengatakan ia sudah memiliki data terkait. “Kami sudah ada data detail lokasinya, berikut data spasial-nya per lokasi,” katanya melalui pesan singkat.
Katadata juga berupaya meminta data tersebut langsung kepada Raja Juli dan sejumlah pejabat di Kementerian Kehutanan. Hingga tulisan ini diturunkan, Raja Juli belum memberikan data lokasi yang ia maksud. Namun, dokumen presentasi Dirjen Planologi Kehutanan yang diperoleh Katadata pada Jumat (21/2) menunjukkan sejumlah data penting.
Dokumen itu menunjukkan sekitar 975.000 ha hutan lindung akan dimanfaatkan. Ini berbeda dengan dokumen Kementerian Kehutanan yang sempat beredar pada Desember silam, di mana porsi hutan lindung mencapai 2,29 juta ha. Selain itu, dokumen terbaru ini juga menyebutkan alokasi hutan di setiap provinsi. Khusus untuk hutan lindung, Kalimantan Barat dan Lampung akan menyumbang paling banyak, masing-masing 192 ribu ha dan 140 ribu ha.
Deforestasi di hutan Lindung?
Meski belum ada kejelasan soal lokasi hutan, sejumlah lembaga sudah mengkhawatirkan dampak program konversi 20 juta ha ini. Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan sejumlah organisasi nirlaba seperti Walhi, Greenpeace, hingga TrendAsia merilis briefing paper terkait persoalan ini pada 12 Februari 2025. Mereka mengkritik program tersebut dan menyebutnya sebagai ‘legalisasi deforestasi’.
“Rencana ini akan meningkatkan eskalasi konflik dan bencana ekologis di Indonesia,” tulis para aktivis dalam dokumen tersebut.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Iqbal Damanik juga mengkritik transparansi Kementerian Kehutanan soal lokasi yang sudah diidentifikasi untuk pangan dan energi. Ia menyayangkan pihak Kementerian Kehutanan tidak memberikan jawaban jelas meskipun Greenpeace sudah melayangkan surat resmi permintaan data.
“Pembukaan 20 juta hektare hutan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk juga memicu kebakaran dan kabut asap jika alih fungsi lahan ini dilakukan di lahan gambut,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa justru meragukan keberhasilan program konversi 20 juta ha hutan tersebut. “Lupakan soal 20 juta hektare itu. Tidak masuk akal,” katanya kepada Katadata, Senin (17/2).
Andreas berargumen Kementerian Kehutanan akan kesulitan menemukan lokasi yang cocok untuk tanaman pangan dan energi. Ia menyebut pemanfaatan hutan untuk tanaman pangan dan energi harus memperhatikan sejumlah aspek. Pertama, kecocokan tanah dan agroklimat. Kedua, kelayakan infrastruktur dan teknologi. Ketiga, pemenuhan isu sosial dan ekonomi.
“Program [20 juta ha] itu pasti gagal. Karena tidak ada lokasi yang bisa memenuhi ketiga aspek tersebut,” ujarnya.
Pemanfaatan hutan lindung juga berisiko terhadap ekologi dan kebencanaan. Mengacu pada Undang-Undang no.41/1999 tentang kehutanan, hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang berfungsi untuk melindungi sistem penyangga kehidupan. Ini termasuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, hingga memelihara kesuburan tanah.
Hutan lindung juga memiliki kriteria teknis tertentu. Ini misalnya, memiliki lereng lapangan 40% atau lebih, berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut atau lebih, dan memiliki faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan dengan skor melebihi 175.
“Fungsi hutan lindung tidak tergantikan. Kalaupun lahannya kritis, seharusnya dihutankan kembali,” kata Andreas.
Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan Indonesia punya 29,3 juta ha hutan lindung di 2021. Namun, tidak semua dalam kondisi bagus. Pada 2018, sebanyak 7,9 juta ha atau 27% di antaranya masuk kategori lahan kritis. Tidak hanya itu, sekitar 1,25 juta ha hutan lindung juga sudah dibebani izin baik pertambangan, perkebunan, maupun jasa lingkungan. Bahkan jika mengacu pada data Kementerian Kehutanan, total luas hutan lindung yang sudah dibebani izin mencapai 2,59 juta ha.
“Data kami menunjukkan deforestasi di hutan lindung sangat tinggi. Sekitar 400.000 hektare pada periode 2021-2023,” ujar Manajer Riset dan Data Informasi FWI, Ogy Dwi Aulia, kepada Katadata, Kamis (20/2).
Menhut Raja Juli membantah soal risiko deforestasi tersebut. Ia menyebut proyek ini tidak akan membuka hutan baru, melainkan memanfaatkan lahan kritis di hutan yang sudah terbuka dengan wanatani atau agroforestri. Mengacu pada Permen LHK No.10/2022, agroforestri didefinisikan sebagai optimalisasi pemanfaatan lahan dengan sistem kombinasi tanaman berkayu, buah-buahan, atau tanaman semusim sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis di antara komponen penyusunnya.
“Selain ditanam tanaman pokok dan buah-buahan, juga dapat ditanami tanaman musiman seperti padi gogo dan jagung,” kata Raja Juli Januari silam.
Namun, koalisi masyarakat sipil meragukan klaim tersebut. Mereka menyebut hutan lindung dan produksi yang akan dialokasikan merupakan kawasan yang belum dibebani izin, sehingga hutan tersebut masih memiliki tutupan yang bagus. “Akan sangat sulit dibayangkan penanaman pangan tanpa didahului deforestasi atau pembukaan lahan,” tulis para aktivis dalam briefing paper.
Secara regulasi, pemanfaatan hutan lindung untuk tanaman pangan dan energi diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.7/2021 dan No.8/2021. Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Adam Putra Firdaus mengatakan kedua beleid ini memperbolehkan pelepasan hutan lindung untuk pangan dan energi. Bedanya, Permen No.7/2021 mengatur penetapan ini dikelola oleh pemerintah, sedangkan Permen No.8/2021 memperbolehkan kerja sama dengan badan usaha baik milik pemerintah maupun swasta.
“Saya sih ragu. Pasti ada pembukaan hutan alam, apakah itu di hutan produksi atau hutan lindung,” katanya.
Aren, Si Tanaman Rakyat
Budidaya aren sebetulnya hal yang jamak dilakukan masyarakat. Ini biasanya dilakukan dalam skala kecil di lingkup desa atau komunitas. Data Direktorat Jenderal Perkebunan menyebutkan terdapat 62.324 ha kebun aren di Indonesia pada 2022, di mana seluruhnya diusahakan oleh masyarakat. Mengacu pada data yang sama, tidak ada kebun aren yang diupayakan oleh pemerintah maupun swasta.
Meskipun Hashim melalui Grup Arsari sudah mempromosikan aren sejak bertahun-tahun lalu, data pemerintah justru mengindikasikan belum ada perkebunan aren dalam skala industri yang diupayakan. Katadata sudah bertanya kepada Ariseno Ridhwan, VP Corporate Communications Grup Arsari, perihal luasan kebun aren milik PT ITCI Kartika Utama. Namun, ia hanya menjawab perusahaan masih terus mengembangkan aren, termasuk luasannya.
“Kami selalu siap mendukung program pemerintah,” ujarnya kepada Katadata, Jumat (21/2), merespons soal rencana pemerintah mengembangkan aren di kawasan hutan.
Di situs resmi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, PT ITCI Kartika Utama dikabarkan memang pernah melirik budidaya aren di wilayah tersebut pada 2017. Kala itu, Willie Smits yang menjabat sebagai Direktur PT ITCI KU menemui Wakil Bupati Kukar Edi Damansyah dan Wakil Ketua DPRD Kukar Rudi Rudiansyah untuk menyatakan ketertarikan perusahaan mengembangkan aren di Desa Kedang Ipil. Namun, tidak ada kejelasan bagaimana akhirnya proyek ini dijalankan.
Di sisi lain, penelitian terkait aren sejatinya sudah mulai banyak dilakukan, baik oleh universitas maupun lembaga pemerintah seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN Suzanne Laura Liwu misalnya mengembangkan teknologi pengolahan aren. Ia menjelaskan pohon aren akan matang pada umur 6-12 tahun dan penyadapan terbaik dilakukan pada umur 8-9 tahun pada saat keluar mayang. Produktivitasnya berkisar antara 8-22 liter/ pohon/hari.
“Semua bagian tanamannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan maupun non pangan,” katanya, dikutip dari situs resmi BRIN, Desember silam.
Meski demikian, Suzanne menjelaskan saat ini produk utamanya masih terfokus pada nira sebagai bahan baku gula. Batang aren sebetulnya juga bisa diolah menjadi tepung. Akarnya mengandung senyawa organik yang bermanfaat bagi kesehatan. Adapun buahnya bisa diolah menjadi kolang-kaling yang digemari di saat bulan puasa. Di Minahasa, warga lokal mengolah aren menjadi minuman beralkohol yang dikenal dengan nama Cap Tikus.
“Dalam perkembangannya, nira aren juga dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol,” ujar Suzanne.
Sementara itu, dosen Departemen Silvikultur (IPB) Irdika Mansur optimistis sistem agroforestri aren yang dicanangkan bisa dilakukan tanpa membabat hutan. Ia menjelaskan aren yang akan ditanami adalah tumbuhan yang justru butuh hidup di bawah naungan pepohonan. Jadi, penanam tinggal membersihkan lahan dari semak-semak.
Kepala Laboratorium Riset Unggulan IPB ini juga menilai aren adalah pilihan yang baik sebagai sumber biomassa. Ia secara spesifik menyebut satu varietas aren genjah, endemik Kalimantan Timur yang bisa dipanen dalam waktu lima tahun. Ini dua kali lebih cepat dibanding aren di Sumatera dan Jawa yang biasanya butuh waktu sekitar 10 tahun untuk berbuah.
“Salah kalau hutan lindungnya dibabat. Malah arennya tumbuh jelek. Kalau sampai ada yang menebang pohon di hutan lindung untuk menanam aren, berarti modus,” ujar Irdika dalam sambungan telepon dengan Katadata, Jumat (21/2).
Persoalannya, agroforestri tidak selalu bisa menyelamatkan lahan kritis di hutan lindung. Penelitian Rommy Qurniati dan koleganya dari Fakultas Kehutanan Universitas Lampung menjabarkan praktik agroforestri di Hutan Lindung Batutegi seluas 58.174 ha di Lampung belum optimal menopang fungsi ekologinya. Padahal, agroforestri telah merambah sekitar 29.000 ha atau setengah dari luas kawasan.
Indikasi ini terlihat dari seratus titik longsor yang masih terpantau di Hutan Batutegi. Selain itu, fungsi tata air juga belum optimal yang terlihat dari rendahnya kapasitas penampungan di bendungan Batutegi. Saat ini, bendungan tersebut hanya mampu mengairi 45.000 ha sawah dari kapasitas irigasi yang mencapai 63.000 ha sawah.
Salah satu penyebabnya adalah penanaman pohon yang belum optimal. Saat ini jumlah rata-rata pohon di Hutan Batutegi hanya 100 pokok per hektare. “Agar rehabilitasi lahan bisa optimal, suatu area setidaknya harus memiliki dua ratus pohon per ha,” tulis Rommy, seperti dilansir dari The Conversation Indonesia, Januari silam.
Hal ini diamini oleh Guru Besar IPB Dwi Andreas Santosa. Ia bercerita pernah membantu Perhutani menerapkan agroforestri tanaman pangan di 15.000 ha hutan lindung di Jawa. Namun, program ini tidak berhasil karena persoalan teknis seperti kecocokan tanah dan agroklimat.
“Belum lagi soal hama. Ini bisa jadi masalah besar,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, Andreas menyebut agroforestri biasanya dilakukan skala kecil dengan melibatkan komunitas sekitar. Ini sangat berbeda dengan gaya food estate yang diadopsi pemerintah dengan melibatkan perusahaan dalam skala besar, melibatkan investasi hingga triliunan rupiah, dan mengedepankan efisiensi.
Jika mengacu pada pada kondisi terkini di mana aren masih diusahakan dalam skala kecil oleh masyarakat lokal dengan total luas lahan hanya 62.000 ha, ambisi menanam 2 juta ha aren bisa menjadi perubahan besar. Apalagi Raja Juli juga sempat menyebut program ini akan ‘menyempurnakan pola food estate yang saat ini sedang digulirkan pemerintah’. Bahkan, jika mengacu perkiraan investasi yang mencapai Rp150 triliun, sulit membayangkan jika proyek ini tidak dijalankan lewat skema food estate.
“Agroforestri tidak bisa diterapkan dalam skala besar ala food estate. Kalau dilakukan, pasti gagal,” kata Andreas.
***
Catatan Redaksi: Laporan ini didukung oleh AJI Indonesia melalui program beasiswa peliputan 100 Hari Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.