2019, Internet Cepat di Semua Kabupaten

Image title
Oleh Tim Redaksi
9 Juli 2018, 11:25
Rudiantara
Ilustrator: Betaria Sarulina

Sama halnya Go-Jek dimana ratusan ribu driver-nya memiliki NPWP. Saya salut kepada mereka. Semua driver Go-Jek tidak perlu pusing membayar pajaknya sendiri, semua langsung dipotong dan dibantu oleh perusahaan Go-Jek. Tokopedia juga begitu, dibantu oleh perusahaan. Sistem ini sekaligus memberi edukasi pada masyarakat bahwa pajak adalah suatu kewajiban dalam bisnis. Kemudahan yang lebih penting, tidak njlimet.

Apa yang diharapkan terhadap Jack Ma sebagai penasihat di Indonesia?

Indonesia berkompetisi di tataran internasional untuk menarik investasi dan Jack Ma ini menjadi advisor dari steering committee yang beranggotakan para menteri. Jack Ma tidak mendikte apa yang seharusnya dilakukan Indonesia, hanya memberi saran dan masukan kepada para menteri. Jika ingin berkompetisi di taraf internasional, kita harus menggerakkan ekonomi dan yang paling cepat saat ini adalah investasi dan ekspor. Secara tidak langsung Jack Ma menjadi endorser bagi Indonesia. Dia akan bicara kepada para investor di luar bahwa Indonesia serius dan sedang menyiapkan banyak hal.

Kita bahkan mengirim pejabat pemerintah ke Alibaba campus untuk belajar, apa sih dunia ini? Kita relatif baru dalam hal ini, lalu kalau kita tidak belajar kita akan tahu dari mana? Ini difasilitasi oleh Alibaba campus, oleh Jack ma. Bahkan Jack Ma sendiri mengajar ke pejabat eselon satu pemerintah. Kalau seluruh pejabat pemerintah, mulai dari eselon satu hingga menterinya memahami dan mengerti dinamika ini, maka diharapkan mereka juga bisa bergeser. Tidak hanya menajdi regulator tapi juga fasilitator.

Rata-rata orang Indonesia mengakses internet 8 jam 51 menit. Seberapa efektif ekonomi digital menaikkan perekonomian dalam lima tahun mendatang?

Pengguna internet kita 140 juta di akhir 2017, yang 97-98% dari mereka mengakses melalui ponselnya. Memang masyarakat Indonesia pengguna aktif internet —apakah itu surfing, chatting, atau untuk media sosial dan lain sebagainya. Kalau dilihat dari sisi potensi ekonomi digital, proyeksi kita tahun 2020 adalah US$ 130 miliar, sekitar 11% dari GDP (Gross Domestic Product) kita. Bayangkan, angka itu bahkan lebih besar daripada GDP negara-negara tertentu di ASEAN.

Apa langkah pemerintah dalam menjaga keamanan data para pelaku ekonomi digital Indonesia?

Secara struktural, pemerintah sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Namun, tahun 2017 lalu kalah prioritas untuk masuk di Prolegnas (Program Legislasi Nasional 2018). Semakin ke sini ternyata Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi ini semakin diperlukan. Kominfo telah berkordinasi dengan Menteri Hukum dan HAM (sebagai perwakilan pemerintah) dan akan membicarakan RUU ini dengan DPR dan Balegnas agar dimasukkan sebagai prioritas.

Tahun ini kita memiliki tambahan lima undang-undang yang dibahas dan disepakati pemerintah dengan DPR. Kalau salah satunya selesai, mudah-mudahan rencana Undangan-Undang Perlindungan Data Pribadi ini bisa masuk. Mengapa ini penting? Karena Eropa tidak mengizinkan negaranya, masyarakatnya atau platformnya untuk transaksi e-commerce dengan negara lain yang tidak memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Jadi ini (UU) memang sesuatu yang mutlak.

Apakah pemerintah akan mendorong percepatan pengesahan UU ini karena besarnya potensi penyalahgunaan data pengguna media sosial seperti pada skandal Cambridge Analytica?

Per 30 April Program Registrasi Sim Card Prabayar ini berakhir, angka finalnya (kartu yang teregistrasi) sebesar 245 juta pelanggan. Telah dilakukan rekonsiliasi antara operator dengan Dukcapil (Kependudukan dan  Pencatatan Sipil), jadi tidak ada lagi angka yang aneh-aneh.

Sementara terkait  Perlindungan Data Pribadi, pemerintah memang sudah harmonisasi dengan DPR untuk segera membicarakannya, namun Kominfo tidak menunggu adanya RUU Pribadi. Saya menandatangani Peraturan Menteri Perlindungan Data Pribadi Tahun 2016, mengacu kepada Undang-Undang ITE. Sanksinya mulai kepada penyelenggara sistem elektronik, bisa platform e-commerce, media sosial, macam-macam.

Kalau kita melakukan penyalahgunaan, sanksi dimulai dari teguran lisan, teguran tertulis sekali—bahkan Facebook sudah dua kali, dan ketiga penutupan operasi sementara yang artinya bisa di-suspend. Tanpa harus menunggu undang-undang sebetulnya sudah ada dan bisa, walaupun sebaiknya memakai undang-undang.

Apakah pemerintah benar-benar akan menutup Facebook atas kebocoran data penggunanya, padahal banyak masyarakat yang memanfaatkannya?

Saya berterima kepada Katadata karena saya anggap ini sebagai bagian dari edukasi kepada masyarakat. Facebook itu tidak hanya dipakai untuk mencari berkah tetapi juga masalah. Nah kalau urusannya masalah apalagi memecah-belah bangsa, tidak ada urusan bagi saya. Saya katakan, “I have no hesistation.”

Berarti akan diblokir?

Kalau sampai memecah, iya. Saya sudah melakukan hal itu untuk yang instant messaging. Telegram saya block. Satu, aturan harus ditegakkan tetapi approach kita juga harus baik. Waktu itu saya mengirim e-mail pribadi ke Founder Telegram Pavel Durov, saya katakan approach saya adalah approach bisnis. Kebetulan saya berasal dari swasta dan korporasi, jadi sudah biasa menegakkan aturan dan mem-block. Saya katakan ke Pavel, Indonesia adalah pasar besar bagi Anda, silakan datang ke Indonesia untuk melihat-lihat pasarnya dan tolong perbaiki.

Soal Cambridge Analytica, memang terjadi penyalahgunaan data terkait user Indonesia. Ada satu juta lebih. Kami sudah sampaikan kepada Facebook tentang apa yang terjadi sampai dengan auditnya. Permasalahannya sekarang menjadi kompleks karena yang mengaudit bukan Facebook sendiri, melainkan otoritas Inggris terhadap perusahaan Cambridge Analytica. Eh, perusahaan Cambridge Analytica-nya failed bankruptcy. Ini menjadi kompleks, tetapi saya bilang ke Facebook bahwa mereka tidak bisa buang badan begitu. Memang kenyataannya begitu, tetapi Anda tetap harus bertanggung jawab.

Bisakah kita mendorong aplikasi nasional?

Memang didorong. Saya bicara kepada teman-teman bahwa saya memakai instant messaging. Semua kan memakai Whatsapp di Indonesia, beberapa teman-teman—terutama jurnalis yang suka bertanya isu—saya beritahu kalau mereka bertanya menggunakan Whatsapp tidak akan saya jawab. Tetapi kalau bertanya memakai produk nasional akan saya jawab. Aplikasi nasional ada Pesan Kita, ada CALLIND, ada BBM. Nah pakailah itu.

Berkaca pada Youtube yang menerapkan sistem sharing revenue kepada penyedia konten, apakah Kominfo akan membuat regulasi agar media sosial seperti Facebook dan Google juga menerapkan sistem yang sama?

Bisa saja kalau kita sampaikan dengan bicara, itu bisa, Tapi kita ini nomor 4 (penguna terbesar Facebook). Apakah nomor 4 cukup besar untuk model bisnisnya Facebok? Lebih penting bagi kita kalau Facebook membayar pajak terlebih dahulu.

Bagaimana dengan pajak?

Di dunia ini tidak lebih dari 10 negara yang sudah bisa dan mampu memajaki platform model begini dan Indonesia salah satunya. Google itu membayar pajak sampai dengan 2015. Kemudian tahun 2016-2017 mereka sedang self assessment. Saya juga bicara kepada Google bahwa mereka harus mengubah model bisnisnya, karena mereka tidak bisnis iklan di Indonesia. Jadi kalau ingin memasang iklan di Facebook, kita membayarnya bukan di Indonesia, kita menggunakan kartu kredit langsung ke Irlandia.

Mereka memang melihat aturan-aturan pajak yang ada di dunia. Nah sekarang kita mau mengubah, tidak bisa begitu, harus ada di Indonesia. Jadi pajaknya harus bayar di Indonesia. Google sudah mau, tapi Facebook belum. Ini masalah waktu saja, kita siapkan nanti waktunya di kuartal ketiga ini keluar.

Bagaimana strategi memberantas maraknya hoax melalui media sosial?

Hoax masuk kategori konten negatif.  Ada dua caranya, pertama di hulu yaitu dengan meningkatkan literasi dan kemampuan masyarakat Indonesia untuk memilah dan memilih (informasi). Soal kemampuan ini kita kalah dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Jadi masyarakat Indonesia mudah dipengaruhi oleh hoax. Yang kedua adalah di hilir. Untuk yang di hilir, yakni dengan memberi batasan-batasan: take down, blocking dan lain sebagainya. Ini jangka panjang dan tidak sehat.

Yang sehat untuk jangka panjang adalah meningkatkan literasi. Tetapi untuk jangka pendek tetap harus dilakukan (Batasan-batasan) karena jika tidak dilakukan maka masyarakat akan terpapar. Bahkan saat peristiwa bom dan lain sebagainya, ada 4.000 lebih konten yang sudah diblok. Ada 20.000 lebih akun yang telah disisir dan diverifikasi, walaupun sekarang sudah turun.

Untuk hoax, kami melakukan pendekatan dari sisi legislasi maupun dari sisi regulasinya, yakni diblok. Sekarang kami sedang memikirkan pemberian pinalti. Kalau platform dianggap melakukan pembiaran terhadap adanya hoax, diberikan pinalti saja. Di Jerman ada undang-undang khusus untuk hal ini. Di negara tetangga juga ada. Di Indonesia belum ada. Saya katakan ke teman-teman, karena membuat undang-undang akan lama lagi, kita buat aturan di pemerintah saja. Kita turunkan dari undang-undang yang ada, UU ITE. Sekarang sedang disiapkan dan Insha Allah tahun ini akan keluar aturannya.

Bagaimana menyikapi konten negatif dan yang terkait terorisme?

Untuk counter terrorism harus banyak promosi, sosialisasi atau apapun tentang radikalisme, terorisme, ekstrimisme di dunia maya. Contoh, ada 4.000 konten. Misalnya saja Al Fatihin adalah konten berseri, ada seri 1,2, dan banyak lagi. Kami turunkan hingga 80 konten atau lebih.

Lalu Majalah Dabiq. Itu juga ada lebih dari 70 konten kami turunkan. Pokoknya kami sikat saja yang ada kaitannya dengan trorisme dan radikalisme. Kami berprinsip tidak boleh terlambat karena ini masalahnya nyawa bagi kita semua. Kalau 1 jam terjadi pembiaran akun, lalu akan berapa banyak orang yang terpapar? Kami sih langsung jebret-jebret saja.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...