Peluang Hilang, kalau Hanya Berpikir Politik

Yura Syahrul
3 Mei 2018, 12:44
jokowi
Katadata | Arief Kamaludin

Kami sudah merancang agar industri kreatif terkoneksi dengan pariwisata. Ini nanti core business kita ke depan. Menurut saya, kita ada di sini, industri kreatif yang dikoneksikan dengan pariwisata.

Apa saja program untuk itu?

Kita membangun yang namanya “10 Bali Baru”. Ini masih dalam tahap pembenahan infrastruktur, airport, jalan, listrik, kemudian investasi. Saya kira yang sudah mulai masuk sekarang ini jelas ke Mandalika. Itu jelas masuk, mengantre.

Kita akan buat lagi yang kedua, Danau Toba. Mau kita buat, juga antre, tapi fasilitasnya harus kita (bangun) dulu. Prasarana penunjang siap, otoritas yang ada di situ pun harus siap melayani, sehingga kita akan memiliki Bali Baru-Bali Baru di tempat-tempat yang lain.

Kalau ini dikoneksikan dengan kekuatan industri kreatif rakyat maka akan memunculkan aktivitas-aktivitas ekonomi di kampung, di desa. Iini kekuatan kita, tenun, handicraft, kemudian kafe-kafe.

Itu sebabnya Anda kerap berkunjung ke kafe?

Saya ingin kita memiliki kafe. Kenapa saya datang, misalnya ke Tuku Kafe (Toko Kopi TUKU), Sejiwa Coffee. Kita ingin brand lokal itu bisa bersaing dengan brand internasional dengan segala keterbatasan yang dimiliki.

Masak di negaranya sendiri tidak bisa bersaing. Mereka (brand internasional) jual kopi Rp 80 ribu, masak di TUKU jual Rp 18 ribu tidak bisa bersaing, padahal rasanya sama. Saya melihat sama saja...he-he-he.

Kayak di Sejiwa, harganya Rp 26 ribu. Ini hanya soal keberanian pengusahanya. Berani tidak misalnya ekspansi ke negara-negara ASEAN dulu. Memang harus seperti itu. Saya kira dengan harga yang kompetitif seperti itu, kok saya meyakini kita bisa.

Data terakhir menyebutkan, sumbangan industri kreatif terhadap perekonomian nasional sudah Rp 1.000 triliun...

Ya, itu kekuatan. Kita memiliki daya saing, memiliki daya kompetitif di harga. Menurut saya, (industri kreatif) punya prospek yang jelas, apalagi dengan e-commerce, dengan mulai masuk ke digitalisasi. Saya kira lebih memudahkan mereka untuk memasarkan produk-produknya.

Hanya kita ini, saya perintahkan Bekraf untuk membenahi yang terkait dengan kemasan, packaging. Membangun brand setiap produk agar barangnya terlihat bagus, tapi kalau kemasannya tidak menarik atau namanya tidak unik maka akan menjadi jelek juga. Kita perlu mengarahkan produk-produk ke sana.

Soal kontroversi Freeport, kabarnya Anda sendiri yang sangat mendorong negara punya 51% saham?

Itu kan keinginan rakyat, agar kita memiliki mayoritas (saham). Saya kan berusaha untuk memenuhi itu. Kita juga harus tahu, seperti (Blok) Mahakam, sudah 100 persen kita ambil. Sudah diserahkan ke Pertamina. Terserah Pertamina mau B2B (business to business bermitra) dengan siapa pun.

Freeport juga sama. Yang penting, ini kan pendekatannya business to business. Tidak ada pendekatan nasionalisasi. Tidak ada. Tapi kita ingin kepemilikan mayoritas. Itu saja keinginan kita, masak sih tidak bisa? Pendekatan saya pendekatan bisnis, tidak ada pendekatan memaksa.

Tapi mengapa ini berlarut-larut?

Ya, sudah 3,5 tahun kan (negosiasinya)? Dulu (katanya) negonya dua minggu saja rampung, ini sudah 3,5 tahun belum rampung. Karena saling ngotot. Kita juga ngotot. Tapi ini proses bisnis. Jangan juga dua minggu negosiasinya rampung, tapi kita kalah, untuk apa?

Beralih ke soal politik. Dalam wawancara kami, Wapres Jusuf Kalla menyatakan peluang Anda melanjutkan pemerintahan besar sekali. Tanggapan Anda?

Ya terserah masyarakat lah, (saya) mengikuti kehendak rakyat saja. Hehehe... Sekarang saya masih fokus dan konsentrasi di pekerjaan.

Tapi 3-4 bulan mendatang sudah harus menyampaikan calon pendamping yang ideal...

Ya, calon pendamping dicari...

Apa kriterianya?

Kita ini sekarang masih santai banget. Kayak nama, aduh masih jauh banget. Tiga bulan masih jauh.

Padahal nama calonnya sudah ada di kantong?

Ya, kantongan punya lah, bukan di kantong. He-he-he...

Anda sudah menjalankan birokrasi dari level kota, provinsi dan nasional. Apa persoalan terberat?

Ya, manajemen sama saja. Manajemen di perusahaan, manajemen di korporasi, manajemen di kota, manajemen di provinsi, manajemen negara. Ini sama saja. Hanya, skalanya yang berbeda.

Ada skala kecil kota, skala sedang provinsi, ada skala besar negara. Sama saja, manajemennya sama saja. Kalau di sini dibantu Kepala Dinas, di sini dibantu Kepala Daerah, di sini dibantu Menteri.

Kompleksitasnya?

Kompleksitasnya jelas berbeda mengelola negara sebesar Indonesia dengan 263 juta penduduk dan 17 ribu pulau. Betul-betul manajemen merangkul harus kita lakukan ke seluruh wilayah yang kita miliki, ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang kita miliki.

Setiap wilayah, setiap daerah, setiap provinsi memiliki karakter yang berbeda-beda. Memiliki persoalan spesifik yang juga berbeda, karena masalah geografis, masalah kepulauan, masalah yang berkaitan dengan budaya dan tradisi masyarakat yang juga berbeda-beda.

Tidak semudah yang dibayangkan orang. Kompleksitasnya berbeda. Manajemen korporasi itu lebih manajemen sisi ekonomi saja. Ini kan manajemen sosial politik, ekonomi, budaya, semuanya.

Anda getol berkunjung ke daerah. Seberapa banyak yang sudah dikunjungi selama menjabat Presiden?

Kalau provinsi sudah semuanya. Kalau kota/kabupaten sudah lebih dari 300. Jadi masih banyak juga (yang belum dikunjungi). Kan kita memiliki 514 kota/kabupaten.

Karena itu Anda masih butuh periode kedua?

He-he-he...

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...