Jaringan Gas Suatu Saat Seperti Jaringan Air Bersih

Arnold Sirait
19 Oktober 2017, 23:30
jaringan gas
Ilustrator: Betaria Sarulina

Kita bersiap, kebutuhan sekarang 1,7 juta barel per hari. Pertumbuhan kebutuhan BBM kita sekitar 3-4% per tahun, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5%. Kalau pertumbuhan 4% saja per tahun maka kebutuhan BBM pada 2024 mencapai 2-2,1 juta barel. Jadi, kita membutuhkan tambahan kapasitas kilang 1,2 juta barel.

Kebutuhan ini dihadapi oleh Pertamina dengan enam program, yaitu dua Grass Root Refinery dan empat RDMP. RDMP adalah kilang existing ditingkatkan, seperti Kilang Cilacap dan Balikpapan di-upgrade ke EURO 4 atau EURO 5. Jadi, kalau Solar dan Diesel berlebih, maka bisa kita ekspor.

Kita juga melihat standar dunia yang mengharapkan kita ikut green energy sehingga Kilang Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai di-upgrade. Sedangkan yang Grass Root (kilang baru), ada Tuban dan Bontang.

 

Upgrade kilang juga bertujuan agar kita punya fleksibilitas impor dengan spektrum lebih luas. Kilang yang ada sekarang untuk minyak tertentu saja. Minyak Iran dicoba diolah 1 juta barel di Kilang Cilacap, ternyata tidak pas. Spesifikasinya beda. Jadi, kebijakan itu harus terkait dengan teknikal. Tidak bisa kebijakan hanya lihat sisi registrasinya saja.

Bagaimana dengan masalah pendanaan Pertamina untuk proyek kilang?

Saya panggil Direktur Mega Proyek dan Direktur Keuangan Pertamina. Saya tanya, (penggunaan) ISAK 8 (Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan No 8) untuk Pertamina bermasalah atau tidak (untuk pendanaan proyek kilang)?

Menurut Pak Arief (Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman) tidak ada masalah. Menyangkut pendanaan, Pertamina pun tidak harus mayoritas di proyek kilang, seperti juga disarankan oleh Presiden. Minoritas boleh lewat joint venture.

Sebenarnya ada strategi lain kalau seandainya benar ada ketentuan ISAK 8 sehingga (batasan) ada covenant pinjaman sebesar 3,5 kali EBITDA.

Berdasarkan ISAK 8, kalau offtaker 100 persen maka kewajiban dari joint venture tersebut ditanggung Pertamina. Ini membuat covenant-nya besar. Salah satu solusinya adalah proyek kilang tidak jadi pada satu waktu yang bersamaan. Diaturlah waktunya, Kilang Balikpapan dulu, kemudian Bontang, sehingga tidak sampai covenant-nya 3,5 kali.

Cara kedua adalah 100 persen hasil produk kilang itu dibagi masing-masing. Pertamina tidak menjadi offtaker semuanya (menyerap produksi kilang), misalnya Pertamina 55 persen dan mitranya 45 persen. Sebelumnya, semua hasil produk kilang diserap Pertamina.

Dengan begitu, kewajiban yang ditanggung Pertamina hanya 55 persen. Agar mitra mau ikut jadi offtaker, saya mengusulkan dibuat marketing agreement dengan Pertamina. Jadi, untuk yang 45 persen itu, Pertamina yang nanti akan memasarkannya, meski bukan sebagai offtaker.

Opsi mana yang akan diambil?

Masih dikaji. Bisa kedua opsi tersebut. Keputusannya juga termasuk proyek kilang yang harus diundur.

Jadi, Pertamina tak harus mayoritas dan kendalikan joint venture proyek kilang?

Tidak harus. Kalau beban tidak memungkinkan, boleh dong (Pertamina) 15 persen. Arahan Presiden juga sama, Pertamina tidak harus mayoritas. Kenapa harus punya kendali? Ada skema offtaker dan marketing agreement. Kalau nanti harga dibuat mahal (oleh mitra), kan ada marketing agreement. Pertamina juga boleh melihat struktur biayanya.

Apakah sudah ada penjajakan dengan pihak swasta untuk skema ini?

Ada dari dalam dan luar negeri. Ada beberapa kilang yang mungkin meng-exercise ini.

Adakah proyek kilang yang selesai pada 2019 saat akhir pemerintahan Jokowi?

Saya rasa belum ada yang selesai pada 2019. Kami berharap Kilang Balikpapan paling cepat. Dulu berharap awal 2020 selesai, tapi karena ada re-evaluasi maka akhirnya tertunda.

Bagaimana perkembangan program BBM Satu Harga untuk pemerataan?

Kami harus bangun infrastruktur dulu untuk BBM satu harga, yaitu SPBU dan agen penyalur yang resmi. Dari data yang ada, kami berharap tahun ini sudah 58 lokasi yang menerapkan BBM satu harga. Tahun depan, direncanakan bertambah 52 lokasi dan pada 2019 sebanyak 46 lokasi. Jadi, rencananya total ada 156 lokasi yang sudah BBM satu harga.

.

Mengapa programnya BBM satu harga?

Ini untuk pemerataan. Kalau harga listrik sama, tapi kalau BBM tidak, bagaimana melakukan pemerataan. Kalau ini disamakan, bisa mengendalikan inflasi di daerah juga. Hal ini penting karena di Papua misalnya, harga BBM sampai Rp 50 ribu sehingga inflasinya tinggi dan akan merembet ke mana-mana.

Dari sisi rasa keadilan, pantas tidak saudara kita di Papua menikmati BBM yang sama dengan di Pulau Jawa? Harusnya pantas. Negara harus hadir, ini yang dinamakan Energi Berkeadilan. Bagaimana energi berkeadilan, sementara ada saudara kita tidak mendapatkan listrik dan BBM masih mahal.

Apakah program ini sudah membuahkan hasil?

Harga barang-barang di beberapa lokasi sudah turun. Kami pantau setiap saat. Kalau per daerah, berapa dampak inflasinya. Memang rata-rata nasional kontribusi inflasi di sana mungkin kecil. Tapi at least, we do something. Tentu tidak mungkin mengharapkan negara tetangga membantu kita.

Apa tantangan membangun infrastruktur?

Infrastruktur yang pertama. Yang kedua dan lebih berat adalah membangun mindset, karakter bangsa ini bahwa program pemerintah tersebut bertujuan untuk menurunkan harga. Praktik di lapangan kadang-kadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kami tidak menutup mata soal itu. Misalnya, tiba-tiba di tingkat SPBU harga segitu, tapi pengecer membeli lebih dulu. Akibatnya, harga di masyarakat tinggi juga.

Ada cost Pertamina?

Ada, karena ini memang penugasan. Tapi tidak berarti biaya tersebut tidak kami kompensasikan dengan cara yang baik. Kami sedang cari caranya yang lebih elegan untuk mengkompensasi biaya itu. Kami juga melihat Pertamina itu BUMN dan juga patuh terhadap UU BUMN (yang harus profit).

Apakah BPK tidak akan mempersoalkannya?

Ini penugasan. Tentu ada biaya untuk yang ditugasi. Secara governance saya rasa correct. Yang sedang kami cari itu soal komersialnya.

Ada kemungkinan swasta ikut BBM Satu Harga?

Kami sedang evaluasi dampaknya seperti apa. Karena kebijakan tidak bisa tiba-tiba keluar tanpa evaluasi. Karena ini penugasan, apakah Shell, misalnya, bersedia ditugasi untuk jual rugi? AKR mau, tapi harus dilihat secara komprehensif.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...