Berharap Kejayaan Arun Bisa Kembali di Aceh
Beberapa pekan lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said resmi melantik Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Marzuki Daham yang merupakan putra Aceh, terpilih dari tiga calon yang diusulkan Gubernur Nangroe Aceh Darusalam untuk memimpin BPMA.
BPMA akan menggantikan fungsi dan tugas SKK Migas, khusus wilayah Aceh kedepannya untuk mengelola sumber daya migas di Aceh. Pembentukan lembaga ini sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Marzuki memang tidak asing dengan dunia migas. Sejak 1977 dia sudah bekerja dengan Mobil Oil Indonesia (sekarang ExxonMobil) di ladang gas Arun, Aceh. Kemudian pada 2006 pindah ke Chevron dan pada 2013, dia bekerja di PT Perusahaan Gas Negara (Persero).
Pemerintah memberikan waktu kepada Marzuki selama enam bulan sejak dilantik untuk menyiapkan semua kebutuhan organisasi BPMA, mulai dari kepengurusannya hingga kantor di Aceh. Di tengah kesibukannya ini, Tim Katadata mendapat kesempatan melakukan wawancara khusus dengan Marzuki di Wisma Mulia, Jakarta, pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang membuat Anda tertarik ingin bergabung dengan BPMA?
Selama ini kalau kita teriak-teriak saja mengenai pengelolaan migas di daerah, tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang sudah diberikan kesempatan, kenapa tidak dicoba. Lolos atau tidak, itu bukan masalah. Yang penting sudah menunjukan itikad baik untuk membangun daerah. Bagaimana pengelolaan sumber daya migas di Aceh itu bisa dimanfaatkan untuk masyarakat. Amanat dalam Undang-Undang Aceh itu juga seperti itu.
Bagaimana pengelolaan migas di Aceh nanti, setelah dipegang BPMA?
Ada atau tidak ada BPMA, industri migas akan berjalan seperti biasanya, seperti saat masih dipegang oleh SKK Migas. Tapi karena kami orang Aceh yang mengelola sumber daya migas kami sendiri, pastinya berharap pengelolaan migas bisa memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Mengenai bagi hasil kan selama ini sejak ada Undang-Undang Aceh tahun 2006 sudah besar porsinya untuk Aceh. Dari bagi hasil yang didapat negara, 70 persen itu untuk Aceh dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Sekarang, untuk yang diatas 12 mil dari daratan itu, Aceh mendapat 30 persen. Sebelumnya tidak ada bagian. Sepengetahuan saya, tidak ada daerah lain yang mendapatkan seperti ini.
Apa harapan Anda dalam pengelolaan hulu migas di Aceh?
Harapan saya ada discovery (penemuan cadangan baru) yang lebih besar di Aceh. Kejayaan di Arun dulu bisa datang lagi saat ini. Tapi jangan sampai membuat kesalahan yang sama. Dampak pengelolaan hulu migas di Aceh terhadap masyarakat harus lebih bagus lagi. Kan sayang fasilitas pengolahan Arun itu kalua tidak diapa-apakan, akan menjadi besi tua. Sekarang fasilitas itu harus bisa dimanfaatkan kembali. Pemerintah Aceh juga sudah ingin kembali mengembangkan itu. Harapannya ada yang bisa kami perbaiki dan benahi agar pengelolaan migas di Aceh bisa lebih baik dan memberikan banyak manfaat terhadap masyarakat.
Sekadar informasi, industri migas Aceh sempat berjaya dengan adanya kilang gas alam cair di Arun. Kilang yang berdiri sejak 1974, bermula dari temuan cadangan gas sebesar 17,1 triliun kaki kubik di ladang Arun oleh Mobil Oil Indonesia pada 1971. Puncaknya pada 1994, kilang ini mampu menghasilkan 224 kargo gas yang bisa dikirim.
Gas yang dihasilkan kilang ini banyak diekspor, sehingga perekonomian Aceh dan nasional bisa terangkat. Kilang Arun mampu mengubah hutan dan payau-payau yang berada di dekat Kota Lhokseumawe menjadi industri besar yang menopang ekonomi bangsa Indonesia. Kejayaan Arun surut seiring berhenti beroperasinya kilang karena sumber gasnya sudah habis pada Oktober 2014.
Bagaimana kondisi hulu migas di Aceh sekarang?
Dulu banyak yang tanya, masih banyak enggak minyak di Aceh itu. Itu berarti bicara cadangan. Cadangan itu kalua belum dieksplorasi bisa dikatakan cadangan, bru mimpi. Mimpi itu harus jadi kenyataan. Caranya dengan mencari investor untuk bisa menggarapnya.
BPMA akan memasarkan dan mempromosikan blok migas Aceh ke investor?
Ini fungsi penting yang dijalankan BPMA. Saat mereka sudah produksi, kita sama-sama lihat kerjanya. Bagaimana ongkos produksi bisa ditekan. Mereka juga punya kepentingan untuk menekan ongkos ini. Dengan pengetahuan yang kami miliki, otomatis tidak akan ada yang ditutup-tutupi.
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih penyelewengan cost recovery (penggantian biaya operasional blok migas)?
Mudah-mudahan kami jangan sampai kecolongan. Sebenarnya cost recovery itu kan ada benchmark (patokannya), jadi bisa mengacu pada itu, bagaimana penggunaan tenaga asingnya, dan biaya lainnya, hal-hal itu yang harus dikontrol. Kita harus tahu betul pemanfaatannya (biaya-biaya) dari awal.
Apakah BPMA bisa melakukannya?
Pengalaman saya 40 tahun di industri migas, sudah cukup paham mengenai biaya dan cost recovery ini. Misalnya ongkos driliing itu kan diajuin kontraktor kontrak kerja sama. Kita harus kompeten biar enggak kelabakan nanti dana yang keluar. Setelah organisasi BPMA sudah ada, nanti ada pelatihan dan training mengenai fungsi dan bagaimana mengelola industri migas. Training ini tidak hanya dilakukan oleh BPMA, tapi akan berdampingan dengan SKK Migas. Menurut saya bisa dilakukan, apalagi blok migas di Aceh tidak terlalu banyak.