Hermanto Dwiatmoko: Ada Politik di Belakang Kereta Cepat

Muchamad Nafi
15 Februari 2016, 08:00
No image
Ameidyo D. Nasution|KATADATA
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko

Bagaimana umumnya proses pembangunan proyek infrastruktur yang melibatkan Kementerian Perhubungan?

Biasanya dalam suatu proyek, kami merekrut konsultan. Misalnya untuk proyek MRT. Hal ini masuk dalam blue book. Setelah blue book diumumkan, nanti kami tahu negara mana yang sanggup membiayai. Misalnya Jepang atau Thailand. Biasanya Jepang melakukan studi yang diperlukan. Dalam kontrak awal dengan mereka pun disebutkan bahwa dokumen harus berbahasa Indonesia atau Inggris, tidak boleh berbahasa Jepang. Tapi untuk proyek kereta cepat ini, mereka hanya datang membawa dokumen dan hasil studi. Ini kasusnya berbeda. Ini baru sama sekali, dengan skema berbeda.

Benar-benar baru ya?

Memang. Makanya jangan diburu-buru. Di satu sisi kami diburu-buru, tapi di sisi lain mereka dari Cina tidak mau buru-buru. Buktinya, mereka bisa pulang dan santai.

Memangnya siapa yang memburu-buru Kementerian Perhubungan?

Ya tidak tahu. Kalau mereka menyebut Kementerian Perhubungan belum juga mengeluarkan izin, itu kan sama artinya dengan memburu-buru kami. Seolah-olah kami dipersalahkan. Padahal yang minta izin saja tidak serius. Ini kan swasta saja, full swasta.

Menurut persepsi Anda, apakah proyek kereta cepat ini memiliki nilai urgensi?

Kami sesuai regulator ya menjalankan regulasi yang ada. Jika ada yang mau berinvestasi tanpa ada biaya dari negara ya silakan. Untung-rugi tanggung sendiri. Kami hanya memeriksa perizinan. Namun sebagai orang transportasi, saya menilai kereta cepat ini pasti rugi jika Cuma mengandalkan angkutan. Di Jepang dan di mana pun, tidak ada kereta api yang untung. Mana ada? Paling nanti membangun perhotelan dan supermarket di kawasan stasiun. Ini yang bisa menolong.

Tapi rute ini juga bersinggungan dengn rute yang dioperasikan PT Kereta Api Indonesia (KAI)?

Tidak masalah. Biarkan saja bersaing sendiri di pelayanan. Bisa juga KAI pindah menjadi angkutan barang. Biar masyarakat sendiri yang memilih. Lebih fair begitu. KAI juga jangan monopoli terus. (Baca: Kantor Staf Presiden "Damaikan" Kontroversi Kereta Cepat).

Apakah proyek ini bisa dikatakan prematur? Program pembangunan kereta di mana saja yang sebenarnya lebih mendesak?

Saya tidak bisa bilang begitu karena ini kebijakan. Namun memang ada banyak program. Tahun ini bahkan sejak tahun lalu kami banyak melakukan pembangunan di luar Jawa. Misalnya Trans-Sumatera, Trans-Kalimantan, Trans-Sulawesi dan Papua. Untuk di Pulau Jawa, ada proyek jalur ganda. Sehingga untuk proyek seperti kereta cepat ini kami serahkan kepada swasta saja dan tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kereta serupa pernah mengalami kecelakaan di Cina. Bagaimana tanggapan Anda?

Sebenarnya begini. Asalkan satu, teknisnya memenuhi standar. Kemudian, perawatannya benar dilakukan dan sumber daya manusianya disiplin. Kereta api kita sekarang ini mengalami backlog perawatan dan manusianya tidak disiplin. Selain itu, jalur juga belum steril.

Bagaimana jika terjadi overbudget?

Ketentuan finansial itu akan menentukan jangka waktu pengembalian uang. Kami tidak mau tahu. MisalnyaUS$ 5,5 miliar dianggap sebagai 40 atau 50 tahun. Jika dalam perjalanannya naik, ya tetap segitu saja. Setelah kami hitung 50 tahun. Kalau setelah tahun 2019 investasinya melebihi perkiraan, ya tetap saja 50 tahun konsesinya.

Anda sudah mengadakan pertemuan lagi dengan pihak dari Cina?

Ini kami mau memulai lagi tapi mereka masih merayakan Imlek dan libur. Kita juga tidak mau kan kalau diganggu saat hari raya.

Halaman:
Reporter: Maria Yuniar Ardhiati, Ameidyo Daud Nasution

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...